Yang saya bayangkan, taruh kata Pak Jokowi berhasil memimpin DKI, adalah tak sampai tiga tahun sudah banyak cercaan dan hujatan karena capaian-capaiannya dianggap tak bisa terasakan. Zona-zona pedagang kakilima yang dikuasai kelompok-kelompok yang bersinggungan dengan perilaku premanisme, tentu tak mudah ditertibkan seperti halnya di Solo. Pak Jokowi, saya yakin tak mudah mengajak para pentolan preman untuk makan-makan seperti halnya dulu dilakukannya bersama ratusan simpul-simpul pedagang kakilima. Di Jakarta, PKL tak pernah mandiri, sebab ada hukum tak tertulis tentang pembagian 'zona kekuasaan' aneka kelompok.
***
Mungkin terlalu simpel jika premanisme dijadikan tolok ukur keberhasilan. Silakan saja. Tapi saya meyakini pendapat ini, apalagi jika mengingat premanisme yang ada di Jakarta berbeda anatominya dibanding di kota-kota kecil seperti Solo. Ada banyak kekuatan politik dan modal yang turut bermain di sana, dengan pola patronase yang kuat karena terjalin selama puluhan tahun.
Memutus patronase dan mata rantai premanisme berarti harus memberi solusi alternatif pendapatan yang sepadan bagi setiap 'stakeholders'. Ini riil, meski juga ada faktor eksistensialisme yang perlu diakomodir.
Semua orang Jakarta menginginkan adanya perubahan. Tapi, sayang, perubahan yang diharapkan pun cenderung instan. Membawa Jokowi ke DKI diasumsikan seolah sebagai satu-satunya solusi, lantas lupa prasyarat apa yang yang harus dimiliki dan bekal apa saja yang harus disiapkan. PDI Perjuangan, sebagai partai besar di level nasional, toh hanya memiliki 11 kursi di DPRD DKI.
Realitas di lapangan pun, kue ekonomi jejaring PDIP juga tak mendominasi. Di tingkat akar rumput, ada banyak kelompok kepentingan yang berafiliasi dengan sejumlah tokoh dan partai. Organisasi kemasyarakatan seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forkabi, FPI, Pemuda Pancasila, pun sangat nyata kekuatan dan penguasaan wilayahnya. Belum lagi organisasi-organisasi tak resmi yang berbasis kedaerahan, yang belum tentu bisa diajak duduk bareng dengan rival-rival kepentingan mereka di lapangan.
Bagi saya, biarkan Pak Jokowi menyelesaikan tugasnya di Solo. Masih banyak yang harus dibenahi. Saya kuatir, jika beliau di DKI, kelak akan dikenang karena kegagalan yang memang dipengaruhi banyak faktor di luar jangkauan nalar dan moral etis yang selama ini diyakini dan dijalankannya.
Catatan tambahan:
Mengurus perkara PAM Jaya, saja, saya yakin Pak Jokowi akan segera garuk-garuk kepala. Sebagai pengusaha, beliau pasti tak habis pikir mengenai beban utang PAM Jaya yang luar biasa besar, operator minta tarif naik terus, sementara pelayanan tak kunjung membaik. Keberpihakannya kepada rakyat pasti akan membuatnya 'galau', apalagi jika mengingat Pemerintah DKI yang tak punya saham.
Pembelian saham PAM oleh dua raksasa air mancanegara pada akhir 1990-an, dengan beban utang tetap dibebankan kepada Pemerintah DKI, pasti membuatnya miris. Sementara, PDAM Solo, bahkan sukses mengembalikan utang yang pernah 'dipaksakan' pemerintah pusat, walau manajemen tak butuh duit utangan. Patgulipat kepentingan model demikian, pasti tak sanggup dihadapinya, sebab di belakangnya ada monster-monster raksasa yang sewaktu-waktu tega melumatnya.
Ongkos politik dalam arti riil pun pasti tak bakal dikeluarkannya, misalnya dengan cara membeli suara rakyat pemilih. Pak Jokowi bukan tipe orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara kotor. Dia lebih suka berpolitik dengan hati, dengan tenggang rasa, seperti ditunjukkannya dalam pemilihan periode keduanya, di mana dia justru meminta pendukungnya tak perlu pamer dukungan lewat aneka poster, baliho dan sejenisnya, sementara dia sendiri memberi contoh untuk tak mengeluarkan anggaran untuk pembuatan dan (apalagi) pemasangannya.