Mohon tunggu...
Blontank Poer
Blontank Poer Mohon Tunggu... -

Senang motret, tapi sekarang sedang belajar blogging. Berharap teman-teman mau mengajari saya nge-blog yang baik dan benar, supaya bisa memberi manfaat dan kelak bisa jadi bekal masuk surga (http://blontankpoer.my.id/)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Jangan ke DKI

9 Maret 2012   09:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak orang meletakkan harapan terlalu tinggi kepada Jokowi, yakni memimpin DKI. Seolah-olah, jika Pak Jokowi mampu memenangi pemilihan kepala daerah di Jakarta, maka ia akan bisa sesukses perannya menata kota dalam kapasitas sebagai Walikota Surakarta. Harapan demikian sah adanya, meski saya menyebutnya sebagai berlebihan. Saya tak setuju beliau bertarung berebut kursi DKI-1.

Realistis saja. Persoalan DKI Jakarta tak serumit Kota Surakarta atau Solo.  Secara politik/ekonomi, yang berkepentingan dengan Solo tak sebanyak di ibukota. Belum lagi jika kita bicara tentang jumlah mafianya. Pertautan kepentingan politisi, birokrat, preman dan pengusaha sudah sedemikian parah. Dalam konteks ini, saya yakin Pak Jokowi tak bakal sanggup menghadapi. Mau disebut naif pun tak soal. Yang saya pahami, sejauh pengenalan saya terhadap kepribadiannya, Pak Jokowi bukan tipe orang yang mudah diajak kolusi.

Kebanyakan orang Jakarta, terutama kelas menengahnya, sudah pasti gerah dengan kemacetan yang terjadi di sana-sini. Mereka sudah terbiasa dengan budaya kerja moderen, di mana ketepatan waktu kehadiran menjadi penanda reputasi dan harga diri. Kelas menengah Jakarta ingin lancar di setiap perjalanan, baik ketika naik taksi atau membawa kendaraan pribadi, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalan-jalan.

Membenahi sistem transportasi, termasuk urusan penyiapan infrastruktur, sudah bukan perkara mudah untuk saat ini. Bukan soal mahalnya biaya semata, tapi cukup banyak wilayah yang bukan menjadi wewenang pemerintah provinsi semata. Pemerintah pusat, misalnya, juga harus terlibat di jalan-jalan negara, seperti kawasan jalan Thamrin-Sudirman.

Jujur, saya kaget juga ketika Pak Jokowi ikut fit and proper test kandidat gubernur DKI di PDIP. Tapi, sejenak kemudian saya bisa memahami, bahwa beliau sedang 'membantu' DPP PDIP untuk menunjukkan eksistensinya sebagai partai besar. Agak riskan jika PDIP tak menampilkan calonnya sendiri, meski saya yakin, sejak awal sudah diperhitungkan matang-matang, mengenai kemungkinan menang/kalahnya, termasuk untuk atau ruginya.

Nono Sampono yang bersama Jokowi turut fit and proper test di kantor pusat PDIP di Lenteng Agung, belakangan dilirik untuk dipasangkan dengan Alex Noerdin oleh Partai Golkar. Sementara calon incumbent, Fauzi Bowo masih menimbang akan berpasangan dengan siapa, tergantung nilai 'strategis' yang akan didapatnya. Partai Demokrat, sepertinya masih menginginkannya. Partai Golkar pun, menurut saya, masa ada kemungkinan terbelah dukungannya, mengingat faktor sejarah kedekatan Fauzi Bowo dengan senior-senior partai kuning.

***

Jika ada yang menyebut popularitas Jokowi lebih tinggi dibanding Fauzi Bowo, saya tak yakin itu akan seturut dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) di DKI. Jokowi populer di tingkat lokal hingga nasional karena terlalu banyak berita positif tentangnya, sebagai akibat capaian hasil dari kebijakan-kebijakannya yang dinilai pro-rakyat. Sebaliknya, Fauzi Bowo 'hanya' dikenal di tataran capaian prestasinya dalam skala 'lokal', dan celakanya, persepsi negatif telanjur kuat terbentuk akibat perilaku bermedia kaum kelas menengahnya.

Bahwa Jokowi banyak dipuji kelas menengah Jakarta, pun ada benarnya. Arus media utama dan medis sosial menempatkan Jokowi seolah-olah lebih tinggi dibanding Fauzi Bowo. Padahal, menurut saya, persepsi demikian sangatlah subyektif. Orang yang merasa terganggu kenyamanannya akan menimpakan kesalahan kepada Fauzi Bowo semata, sebab dialah penanggung jawab merah-hitam-nya Ibukota negara.

Jokowi dengan segenap prestasinya lantas dijadikan alternatif berpaling dari Fauzi Bowo. Pertimbangannya, saya duga, cuma kurang-lebih demikian: daripada masih Fauzi Bowo dan tak akan menghasilkan perubahan signifikan, apa salahnya mencoba yang lain?

Benar, bahwa moralitas kepemimpinan Jokowi bisa dijadikan rujukan bersandar. Tapi, apakah seorang Jokowi bakal sanggup menghadapi dan berkompromi dengan perilaku kolutif para pengusaha-pengusaha di Jakarta? Andai Pak Jokowi bisa pun, saya tak jamin beliau mampu membereskan (aparatus) birokrasi di bawahnya, yang memiliki kewenangan-kewenangan teknis.

Yang saya bayangkan, taruh kata Pak Jokowi berhasil memimpin DKI, adalah tak sampai tiga tahun sudah banyak cercaan dan hujatan karena capaian-capaiannya dianggap tak bisa terasakan. Zona-zona pedagang kakilima yang dikuasai kelompok-kelompok yang bersinggungan dengan perilaku premanisme, tentu tak mudah ditertibkan seperti halnya di Solo. Pak Jokowi, saya yakin tak mudah mengajak para pentolan preman untuk makan-makan seperti halnya dulu dilakukannya bersama ratusan simpul-simpul pedagang kakilima. Di Jakarta, PKL tak pernah mandiri, sebab ada hukum tak tertulis tentang pembagian 'zona kekuasaan' aneka kelompok.

***

Mungkin terlalu simpel jika premanisme dijadikan tolok ukur keberhasilan. Silakan saja. Tapi saya meyakini pendapat ini, apalagi jika mengingat premanisme yang ada di Jakarta berbeda anatominya dibanding di kota-kota kecil seperti Solo. Ada banyak kekuatan politik dan modal yang turut bermain di sana, dengan pola patronase yang kuat karena terjalin selama puluhan tahun.

Memutus patronase dan mata rantai premanisme berarti harus memberi solusi alternatif pendapatan yang sepadan bagi setiap 'stakeholders'. Ini riil, meski juga ada faktor eksistensialisme yang perlu diakomodir.

Semua orang Jakarta menginginkan adanya perubahan. Tapi, sayang, perubahan yang diharapkan pun cenderung instan. Membawa Jokowi ke DKI diasumsikan seolah sebagai satu-satunya solusi, lantas lupa prasyarat apa yang yang harus dimiliki dan bekal apa saja yang harus disiapkan. PDI Perjuangan, sebagai partai besar di level nasional, toh hanya memiliki 11 kursi di DPRD DKI.

Realitas di lapangan pun, kue ekonomi jejaring PDIP juga tak mendominasi. Di tingkat akar rumput, ada banyak kelompok kepentingan yang berafiliasi dengan sejumlah tokoh dan partai. Organisasi kemasyarakatan seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forkabi, FPI, Pemuda  Pancasila, pun sangat nyata kekuatan dan penguasaan wilayahnya. Belum lagi organisasi-organisasi tak resmi yang berbasis kedaerahan, yang belum tentu bisa diajak duduk bareng dengan rival-rival kepentingan mereka di lapangan.

Bagi saya, biarkan Pak Jokowi menyelesaikan tugasnya di Solo. Masih banyak yang harus dibenahi. Saya kuatir, jika beliau di DKI, kelak akan dikenang karena kegagalan yang memang dipengaruhi banyak faktor di luar jangkauan nalar dan moral etis yang selama ini diyakini dan dijalankannya.

Catatan tambahan:

Mengurus perkara PAM Jaya, saja, saya yakin Pak Jokowi akan segera garuk-garuk kepala. Sebagai pengusaha, beliau pasti tak habis pikir mengenai beban utang PAM Jaya yang luar biasa besar, operator minta tarif naik terus, sementara pelayanan tak kunjung membaik.  Keberpihakannya kepada rakyat pasti akan membuatnya 'galau', apalagi jika mengingat Pemerintah DKI yang tak punya saham.

Pembelian saham PAM oleh dua raksasa air mancanegara pada akhir 1990-an, dengan beban utang tetap dibebankan kepada Pemerintah DKI, pasti membuatnya miris. Sementara, PDAM Solo, bahkan sukses mengembalikan utang yang pernah 'dipaksakan' pemerintah pusat, walau manajemen tak butuh duit utangan. Patgulipat kepentingan model demikian, pasti tak sanggup dihadapinya, sebab di belakangnya ada monster-monster raksasa yang sewaktu-waktu tega melumatnya.

Ongkos politik dalam arti riil pun pasti tak bakal dikeluarkannya, misalnya dengan cara membeli suara rakyat pemilih. Pak Jokowi bukan tipe orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara kotor. Dia lebih suka berpolitik dengan hati, dengan tenggang rasa, seperti ditunjukkannya dalam pemilihan periode keduanya, di mana dia justru meminta pendukungnya tak perlu pamer dukungan lewat aneka poster, baliho dan sejenisnya, sementara dia sendiri memberi contoh untuk tak mengeluarkan anggaran untuk pembuatan dan (apalagi) pemasangannya.

Di DKI Jakarta, seberapa banyak warganya yang mau memilih secara sukarela tanpa terpengaruh serangan fajar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun