Polisi II pun buka kartu. Kalau dengan lembar biru, kami cukup membayar denda yang disebutnya, berkisar antara Rp 70 ribu hingga Rp 90 ribu, seperti halnya jika ikut proses sidang di pengadilan. Kata Polisi II, "Ancaman dendanya memang sampai Rp 500.000, tapi kalau sidang, paling kena Rp 90 ribu."
Saya pun membalas begini, "Kalau begitu, gimana kalau kami kasih uang Rp 100 ribu?"
"Tidak bisa. Karena sudah telanjur ditulis di sini (sambil menunjuk blangko surat tilang berwarna merah jambu)," kata Polisi II.
Saya: Kan dendanya cuma tujuh puluh ribu sampai sembilan puluh ribu, Pak. Mbok kami titip seratus ribu, biar kami cepat pulang.
Polisi II: Gak bisa, Mas. Kalau seratus ribu, kami tombok.....
Kami bertiga yang duduk bersebelahan saling beradu pandang. Polisi itu melanjutkan.....
Polisi II: Terus terang ya, Mas. Ini saya buka-bukaan saja. Saya ambil bundel berkas (tilang) ini tidak gratis. Nanti kami harus setor ke bagian tilang Rp 150 ribu untuk kesalahanmu tadi.
Kami tetap menawar Rp 100 ribu. Tapi Polisi II bilang, kalau dibayar seratus ribu, dia mengaku torok (nombok).
Saya pun meninggalkan polisi itu, menyeberang jalan memotret matahari terbit yang sinarnya merah kekuningan di atas persawahan. Usai motret, saya kembali mendatangi polisi tadi.
Saya: Pripun? Bagaimana, Pak, kalau seratus saja?
Polisi II: Gak bisa, Mas. Saya tombok kalau segitu...