Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Gaya Hidup adalah Maut, Fraud Media Sosial dan rendahnya Literasi Finansial

6 Oktober 2024   10:34 Diperbarui: 7 Oktober 2024   09:18 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar seorang Ibu yang bercerita tertipu ratusan juta dari tawaran bekerja paruh waktu (Dokpri)

Gaya hidup di era digital membuat setiap orang harus berhitung dalam pengelolaan sumber keuangan. Istilah pribahasa lama, "jangan sampai besar pasak daripada tiang." Namun godaan aktualisasi diri, terlihat modis, dan gaya hidup berlebihan, membuat seseorang menjadi lupa diri.

Secara umum, gaya hidup adalah cara hidup seseorang menjalani kehidupannya sehari-hari, mencakup kebiasaan, aktivitas, dan pilihan hidup. Gaya hidup seseorang juga berbeda dan sangat bervariasi antara individu, tergantung pada nilai, budaya, dan lingkungan tempat tinggal.

Gaya hidup Flexing yang sering diperlihatkan di media sosial oleh para publik figur seperti artis, bahkan keluarga pejabat negara. Menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat yang hidup pas-pasan, namun ingin bergaya hidup mewah.

Pamer gaya hidup mewah palsu di medsos, membuat seseorang terjebak dengan prilaku yang merugikan dirinya dan keluarga secara finasial. Fenomena ini telah menjadi tren yang semakin marak di era serba digital, dimana seseorang berlomba-lomba menunjukkan gaya hidup mewah mereka.

Dengan gaya hidup flexing yang di pamerkan di media sosial, membuat masyarakat miskin dan kelas menengah, berdampak negatif berupa kecemburuan sosial, tekanan finansial berupa memaksakan diri membeli barang mewah sampai dengan berhutang, untuk mengikuti tren dan gaya hidup diatas kemampuan.

Selain itu terjadi distorsi nilai, yang dapat mengubah nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dimana keberhasilan seseorang diukur berdasarkan materi dan penampilan. Bukan didasarkan atas kualitas kemampuan intelektual pribadi, atau konstribusi sosial.

Gaya hidup adalah maut

Sahabat Kompasianer yang budiman, gaya hidup adalah maut, hanyalah istilah yang mengungkap bahaya di balik trend modern. Gaya hidup merupakan cerminan dan kebiasaan, minat, dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang.

Namun, ada kalanya gaya hidup tertentu dapat membawa dampak negatif yang serius, bahkan mematikan. Istilah "gaya hidup adalah maut" menggambarkan bagaimana pilihan gaya hidup yang tidak sehat atau berlebihan dapat berujung pada konsekuensi fatal.

Penyebab gaya hidup berbahaya, sebagai berikut :

  • Konsumsi berlebihan : Gaya hidup konsumtif yang berlebihan, seperti makanan cepat saji, mengkomsumsi minuman beralkohol, merokok, dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung dan kanker.
  • Kurangnya aktivitas fisik : pola hidup yang minim aktivitas fisik, seperti terlalu banyak duduk dan bekerja di depan komputer tanpa aktivitas olahraga, dapat menyumbang resiko obesitas dan penyakit.
  • Stress dan kesehatan mental : tekanan untuk selalu tampil wah dan sempurna, terlihat sukses di media sosial dapat menyebabkan stress, kecemasan, dan depresi.

Cara mengatasi gaya hidup berbahaya, bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  • Edukasi dan kesadaran : Meningkatkan kesadaran diri tentang pentingnya gaya hidup sehat, dan tidak terjebak dengan fleksing di media sosial melalui edukasi dan kampanye kesehatan.
  • Aktivitas fisik : Mengintegrasikan aktivitas fisik dalam rutinitas harian, dengan berolah raga seperti berjalan kaki, bersepeda, ataupun berolahraga secara teratur.
  • Manajemen stres : Mengembangkan teknik manajemen stres dengan melakukan kegiatan seperti meditasi, yoga, atau konseling, untuk menjaga kesehatan mental dan emosional. Dimedia sosial seperti youtube, juga banyak konten creator yang membantu mengatasi stress akibat gaya hidup berujung penipuan.

Fraud Media Sosial

Tangkapan layar cerita seorang korban fraud Judol di Media sosial, yang membuatnya hidup di jalanan dan terlilit hutang (Dokumen pribadi)
Tangkapan layar cerita seorang korban fraud Judol di Media sosial, yang membuatnya hidup di jalanan dan terlilit hutang (Dokumen pribadi)

Media sosial dengan berbagai jenis aplikasinya dan modelnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Di balik berbagai kemudahan  dan kesenangan yang di tawarkan, media sosial juga menjadi lahan subur bagi para penipu untuk menjalankan aksinya.

Penipuan di media sosial atau fraud telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menimbulkan kerugian finansial yang tidak sedikit dan dampak psikologis yang serius bagi korbannya.

Misalnya, seorang pelaku judi online (judol) bercerita di sebuah chanel media sosial, yang terlilit hutang milyaran, baik di bank ataupun terjebak pinjaman daring (pindar). Hidupnya menjadi kacau, rumah dan kendaraan pribadinya habis terjual. Anaknya 4 orang, mengalami putus sekolah. Dan dengan isterinya juga bercerai.

Pelaku judol, dan terjebak pindar tersebut, sekarang tidak mempunyai apa-apa lagi. Hingga hidup menggelandang, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dan menginap di masjid untuk beristirahat.

Jenis-jenis Fraud di media sosial beragam jenisnya, diantaranya :

Penipuan Investasi 

Penipu menawarkan peluang investasi dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat. Biasanya untuk meyakinkan korban dengan menampilkan testimoni palsu dan bukti pembayaran untuk meyakinkan korban melalui media sosial. 

Sepanjang tahun 2023, beberapa kasus fraud investasi yang menonjol telah diungkap oleh pihak berwenang , diantaranya : kasus lebah kenceng, yang melibatkan 4000 korban dengan total kerugian mencapai Rp.217 miliar. 

Yang paling menyita perhatian masyarakat umum, kasus Robot Trending NET 89, yang memakan korban mencapai 2.388 dengan nilai kerugian sebesar Rp. 217 miliar. Dan 9 tersangka ditetapkan dalam kasus ini.

Selain itu kasus Auto trade Gold (ATG), yang melibatkan 1.514 korban dengan total kerugian mencapai Rp.448,65 miliar. Di kasus ini ditetapkan 4 orang tersangka.

Kasus fraud investasi ini juga merugikan sekitar 1.701 korban dengan nilai kerugian sebesar Rp.205,37 miliar yang dilakukan oleh Koperasi Ilegal KSP Pracico inti Sejahtera.

Penipuan Belanja Online

Biasanya yang terjadi di media sosial, membuat toko online palsu atau akun penjual palsu di platfom media sosial. Ada juga dengan mengiklan barang yang mau di jual melalui medsos berbalas berupa percakapan, ataupun saling share konten. 

Dengan modus ingin jual barang, karena perlu dana, ataupun ingin upgrade gadget baru. Setelah korban melakukan pembayaran, barang yang dijanjikan tidak pernah kunjung dikirim.

Penipuan Love Scamming

tangkapan layar percakapan seorang korban Love Scamming kepada pemilik akun aslinya yang merasa rugi ratusan juta (Dokpri)
tangkapan layar percakapan seorang korban Love Scamming kepada pemilik akun aslinya yang merasa rugi ratusan juta (Dokpri)

Penipuan romantis (Love Scamming), jenis fraud yang sering terjadi di Media sosial. Pelaku membangun hubungan romantis dengan korbannya, dengan mengaku bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji besar. Ataupun bekerja di profesi tertentu yang membuat lawan jenis tergiur, dan tampilan yang mempesona. 

Pelaku love scamming, menggunakan poto profile palsu, ataupun membuat akun medsos duplikasi, cloning, bisa juga dari akun hasil fhishing dari pemilik aslinya.

Penipu juga  lebih intens menghubungi korbannya melalui pesan berbalas, sok perhatian, sopan, terkadang perhatian yang berlebihan. Sehingga terbangun komunikasi yang baik sesuai keinginan pelaku.

Biasanya pelaku juga mengalihkan ke akun berbalas berupa percakapan sifatnya pribadi melalui Whatsaap dan telegram. Setelah hubungan romantis jarak jauh terbangun baik dengan korbannya, mulailah meminta uang dengan berbagai alasan. Seperti biaya perjalanan atau kebutuhan darurat.

Phishing

Penipuan ini dilakukan dengan mengelabui korban melalui email, pesan media sosial yang tampak sah, bisa juga dengan cara bagi-bagi hadiah di akun media sosial dan korbannya harus mengklik link yang di bagikan oleh si pelaku.

Bila link tersebut di klik bisa berakibat fatal, terjadinya pencurian informasi pribadi atau keuangan, yang dapat merugikan si korban uang ratusan, bahkan milyaran rupiah dari rekeningnya yang telah dikuras.

Penipuan kerja paruh waktu (Kerja Freelance)

Tangkapan layar seorang Ibu yang bercerita tertipu ratusan juta dari tawaran bekerja paruh waktu (Dokpri)
Tangkapan layar seorang Ibu yang bercerita tertipu ratusan juta dari tawaran bekerja paruh waktu (Dokpri)

Penipuan jenis ini biasa disebut juga penipuan berkedok paruh waktu atau penipuan kerja freelance. Modus ini paling banyak menyasar pada Ibu-ibu yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan dengan cara berkerja dari rumah.

Penipu menawarkan pekerjaan paruh waktu dengan imbalan yang menggiurkan. Hanya dari rumah, sambil online mengklik tautan, menyukai dan berlangganan konten di media sosial. Setelah beberapa tugas awal di selesaikan, penipu mentransfer imbalan uang sebesar 40-100 ribu rupiah. 

Selanjutnya korban sasaran diminta untuk menyetor uang sebagai deposit untuk tugas berikutnya. Setelah selesai tugas berikutnya, si korban bisa mencairkan uang yang diharapkan sebagai imbalan dari tugas tersebut dengan melakukan deposit kembali yang nominalnya makin besar.

Misalnya, seorang korban di Jakarta timur mengalami kerugian uang sebesar Rp.878 juta setelah mengikuti tautan yang mengarahkan ke group whatsApp penipu. Dan berlanjut ke aplikasi telegram yang jumlah pesertanya lebih sedikit. Namun di dalam group telegram tersebut penipu semua, yang telah berhasil menjebak korbannya. 

Beberapa kasus penipuan kerja paruh waktu juga melibatkan jaringan Internasional. Pelakunya beroperasi dari luar negeri dan menggunakan teknologi canggih untuk menipu korbannya.

Sahabat Kompasianer yang Budiman, pentingnya prinsip kehati-hatian, melakukan pengecekan lebih lanjut dan hindari menyetor uang sebelum memastikan keaslian tawaran, membuat terhindar dari penipuan. 

Apakah Sahabat Kompasianer pernah mengalami hal serupa, dan menjadi bagian korban sindikat ini?. Silahkan tinggalkan dikolom komentar tanggapannya, untuk berdiskusi dengan sesama kompasianer.

Rendahnya Literasi Finasial

tangkapan layar seorang mahasiswa bundir karena terlilit hutang di media sosial X (Dokpri)
tangkapan layar seorang mahasiswa bundir karena terlilit hutang di media sosial X (Dokpri)

Literasi finansial adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan berbagai keterampilan keuangan, termasuk manajemen keuangan pribadi, penganggaran, dan investasi.

Di Indonesia,masih tergolong rendah literasi finansial, yang berdampak meningkatnya kasus penipuan finansial. Dampak rendahnya finansial mengakibatkan :

Penipuan Investasi Bodong

Banyak masyarakat diberbagai kalangan terjebak penipuan investasi yang diakibatkan kurangnya literasi finansial. Janji berupa keuntungan besar dalam waktu singkat tanpa memahami risiko yang diakibatkan investasi tersebut. 

Beberapa kasus investasi bodong yang dialami masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi yaitu kasus binomo, kasus Indosuryo, kasus arisan bodong di Bogor, dan kasus Lucky Star Group yang telah merugikan puluhan milyar.

Kurangnya Perencanaan Keuangan

Individu dengan literasi finansial rendah cenderung tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik. Selain itu juga tidak memiliki anggaran yang jelas dan tidak tahu cara mengelola pendapatan dan pengeluaran mereka dengan efektif.

Pengambilan keputusan yang buruk

Ilustrasi pengambilan keputusan yang buruk berakhir dengan bundir gantung diri (Dokpri)
Ilustrasi pengambilan keputusan yang buruk berakhir dengan bundir gantung diri (Dokpri)

Tanpa memahami produk keuangan, banyak seseorang mengambil keputusan yang buruk. Seperti mengambil pinjaman dengan bunga yang tinggi. Atau berinvestasi dalam produk yang tidak sesuai dengan profil risiko yang dijalankan.

Misalnya berutang di aplikasi pindar dengan bunga pinjaman yang tinggi. Berakibat sulitnya menata keuangan, yang tidak sesuai dengan penghasilan atau gaji yang diterima setiap bulannya.

Banyak kasus juga terjadi akibat tidak bisa mengembalikan pindar, dan ditelpon terus menerus oleh Desk collector, mengalami tekanan psikologis dan mental berakibat bunuh diri (bundir).

Kasus terakhir terjadi pada seorang Mahasiswa unes yang melakukan bundir dengan cara gantung diri akibat terlilit hutang pindar dan diduga juga terlibat judol. 

Diakhir tulisan ini, gaya hidup yang berbahaya dan tidak sehat, berdampak kepada pengelolaan keuangan yang buruk. Selain itu rendahnya literasi finansial mengakibatkan seseorang terjebak fraud. 

Fraud di media sosial yang merajalela saat ini, perlu menjadi perhatian kita semua, tidak menjadi bagian korban penipuan tersebut. Berbagai macam cara pelaku kejahatan media sosial mencari keuntungan dengan cara apapun. 

Patut curiga, bila seseorang di media sosial yang tidak kita kenal, tapi intens mengirim pesan, dan mengajak berbalas pesan di akun pribadi. Bagaimana pendapat sahabat Kompasianer yang budiman, menanggapi fenomena ini?, silahkan tinggalkan komentar di artikel tulisan ini. Salam Kompasianer!. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun