"Ini bukan bagaimana membuat anak didik menjadi anak berpendidikan seperti di Finlandia. Tapi ini panggilan jiwa, mencerdaskan anak bangsa, kesamaan dan kesetaraan, kecerdasan itu bukan terletak di Kota dan di desa, setiap anak itu unik, dia menjadi cerdas, menjadi dirinya sendiri."Â
Terakhir kali, Aku mengajar anak ini saat di bangku kelas 4 SD, yang berada di kampung Karangan. Anaknya pendiam, namun berbakat di bidang Matematika. Katanya, anak pendiam, pintar di bidang ilmu sains dan ilmu pasti. "Bisa jadi?."Â
Namanya, Ramli. Ia jadi muridku saat bertugas di kampung karangan, di tahun pertama. Aku tidak lama bertugas di sana, sekitar dua tahun. Setelah itu, Aku tidak pernah bertemu lagi dengan Ramli, anak yang jago Matematika tersebut.
Aku sadar, banyak anak yang berada di pelosok, jauh dari perkotaan, tetapi mempunyai potensi diri yang tinggi, mempunyai kecerdasan dan berbakat.Â
"Pak guru, nanti malam jalan-jalan kerumah. Tadi siang, saya mencabut singkong di kebun. Buat kita ngobrol di rumah, sambil nonton televisi, dan juga ngopi Pak guru, hehehe." tutur Pak Hama, dengan ketawanya yang khas.
Beliau sangat ramah, dan selalu mampir kerumahku yang berada di pinggir jalan umum. Selepas pulang dari kebun, atau sekedar bertamu di malam hari selepas magrib.Â
***
Ingatanku sepuluh tahun yang lalu, serasa terbangun kembali. Sosok anak muda, menegurku setengah berbisik. Aku duduk tepat berhadapan, saat menaiki sebuah angkot.Â
"Pak Riduan ya?," sapa anak muda itu sambil tersenyum.
"Iya, siapa ya?," jawabku sambil mengingat-ngingat.Â
" Saya Ramli, Pak!. Murid bapak waktu kelas 4, anaknya Pak Hama," jawabnya sambil membantu ingatanku.
"Oh ia, saya baru ingat. Ramli yang jago Matematika, kalau bapak suruh mengerjakan di papan tulis, selalu duluan, mengacungkan tangan."Â
"Iya Pak?," jawabnya sambil tersenyum.Â
"Sekarang sudah kuliah?, kuliah dimana Ramli?, Prodi apa?," tanyaku lagi bersemangat.Â
" Di Universitas Mulawarman Pak, ambil Prodi S1 Matematika." jawabnya.
"Hebat, sudah bapak duga."Â
Ramli, akhirnya turun dari angkot, tepat di depan perpustakaan daerah. Sesaat belum turun, ia mengucapkan salam, dan salim dengan mencium tanganku.Â
"Rupanya tabiat, dan sopan santun anak ini tetap tidak berubah." gumamku dalam hati.Â
***
Saat menjadi muridku di kelas 4, dia sering bertanya, bagaimana menjadi seorang guru. Dia tidak tertarik bercita-cita seperti temannya yang lain. Ada yang ingin jadi polisi, tentara, Dokter dan perawat.
"Mengapa kamu mau menjadi Guru, Ramli?," tanyaku, sambil ngobrol santai di teras rumah dinas sekolah.Â
Rumah dinas yang sudah rusak dimana-mana itu di tempati oleh Ibu Mimi, guru kelas 1 yang berasal dari Kota Balikpapan. Dia tinggal bersama dua anaknya di rumah tersebut.Â
Ramli bersama temannya di hari minggu pagi, membantu Ibu mimi mengangkat air menggunakan ember plastik dari anak sungai kecil yang berada tepat di belakang rumah dinas sekolah.
Anak-anak di kampung, biasa di mintai gurunya membantu pekerjaan di rumah pada hari libur. Kadang anak-anak juga ikut membantu menanam padi, dan mengetam padi saat panen di ladang. Bisa juga membantu Ibu Kepala Sekolah memanen lada di kebun.
"Saya tertarik, karena menjadi guru menyenangkan Pak, seperti Bapak," katanya sambil diikuti dorongan di bahu oleh temannya.
"Ah Rizal, kamu ini, memang salah saya menjadi guru?," protes Ramli terhadap temannya.
"Bagus Ramli, jadi guru, atau apapun, yang penting setiap orang harus punya cita-cita." jawabku.
Begitulah si Ramli, siapapun guru di sekolah ini menyenanginya. Selain pintar, anaknya juga ringan tangan.Â
***
Pertemuan di angkot, tanpa sengaja dengan si Ramli hanya sekali. Sampai dia lulus dari Universitas Mulawarman. Dan mendapatkan gelar Sarjana Matematika. Ia menyampaikan pesan berbalas melalui WhatsAap, minta maap. Tidak sempat kerumah dan sekarang pulang ke Berau, dan setelah lulus mengikuti Seleksi PNS di daerah Kalimantan Utara.Â
"Alhamdulillah Pak, sekarang saya sudah lulus seleksi Pak, dan ditempatkan di Pulau Sebatik, daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia." ujarnya melalui pesan voice note, pesan suara melalui WhatsAap.
"Syukurlah, semangat Ramli, akhirnya cita-citamu tercapai." Jawabku balik.
"Doakan Pak, saya bisa menjadi guru yang baik, ikhlas, seperti Bapak. Walaupun di tempatkan dari jauh kampung halaman. Saya terinspirasi dengan Bapak, ditugaskan di kampung saya, tapi bisa berbaur dan di senangi oleh warga kampung." balasnya.
"Baik Ramli, Bapak doakan kamu sukses di perantauan." jawabku kembali melalui voice note. Percakapan suara, melalui whatsAap terhenti. Tidak ada balasan lagi dari si Ramli.
Sebuah cita-cita bila diniatkan, disertai dengan usaha yang ulet dan sungguh-sungguh, tentu akan mencapai keberhasilan. Langkah Ramli menjadi guru di daerah perbatasan merupakan niat yang mulia.
Dia berkabar perlu perjuangan yang luar biasa menuju tempat kampungnya bertugas, melalui sungai dengan mengendarai kapal kecil, karena hanya itu transportasi menuju ketempat tugas. Di lanjutkan berjalan kaki puluhan kilometer, melalui jalan setapak, dan batu-batuan tajam di sekitar jalan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H