Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Guru Penggerak, Kok Di-bully?

19 April 2024   08:44 Diperbarui: 19 April 2024   09:03 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beberapa guru sedang berdiskusi diolah menggunakan Ai Bing (Dokumentasi Pribadi)

"Jadilah guru, seperti akar pohon yang kuat menembus tanah. Daunya menari-nari mengikuti irama angin, dan cabangnya memberikan tempat berteduh bagi siapa pun yang membutuhkan. Jadilah guru, yang menggerakkan hati dan pikiran, seperti aliran sungai yang mengalir terus, tanpa henti"

"Iya mas Hidayat, saya paham. Kadang saya jengkel juga. Selalu, apa yang diperbuat Guru Penggerak salah!." 

"Kudu sabar, Mbak?. Biasalah namanya sebuah program pendidikan, pasti ada yang tidak suka.Udah dari dulukan?."

"Betul itu, kata Pak ketua, sampeyan mesti jadi katak tuli, Mbak !, hahaha." timpal Gita, sambil tertawa.

Mereka terlibat percakapan hangat. Biasa, setiap sebulan sekali para guru penggerak, ngumpul bareng, ketemu teman satu angkatan, sampai dengan lintas angkatan.

"Dulu, ada yang namanya Guru Pembelajar, ribut juga. Kok sekolah itu-itu saja, yang jadi Piloting?. Kapan negeri ini maju, kalau gurunya selalu ribut sendiri?." kata mugirotin, guru penggerak yang kini telah diangkat jadi Pengawas.

Sesaat, Pak hafid memperlihatkan layar ponselnya dan menyerahkan pada Ketua Komunitas guru penggerak. Mereka lalu memperhatikan tulisan dilayar ponsel tersebut, secara bergantian.

"Coba baca itu mas Ketua, tulisan seorang Blogger, yang notabene seorang guru penggerak juga, eh malah suka clik bait, menulis negatif tentang guru penggerak." ucap Hafid.

"Siapa sih Pak?, kok gitu ya?." sergah Gita, sambil meminta ponsel tersebut, untuk dilihat tulisannya.

" Om Pram. Sampeyan gak ngerti, siapa itu Om Pram?. Beliau itu suka mengkritik Guru Penggerak, guru penggerak sombonglah. Guru Penggerak suka meninggalkan tugas mengajar. Tidak bisa apa-apa, bla-bla-bla. 

"Intinya, beliau itu guru penggerak juga, cuman beliau penulis di sebuah media blogger besar nasional. Banyak Guru Penggerak yang jengkel membaca tulisan Om Pram." jelas Pak Hafid.

"Pak Hafidkan penulis, tulis dong juga tentang Guru Penggerak. Kalau tokoh zaman dulu, mereka berdebat dan menjawab sebuah tulisan dengan tulisan pula. Opini dengan opini pula." celetuk Pak Denny.

Pria berkacamata dengan tubuh gemuk tersebut, merupakan guru penggerak yang diangkat menjadi Kepala Sekolah, diangkatan pertama sebagai Guru Penggerak. Dan ditempatkan menjadi Kepala Sekolah dasar (SD), dengan jumlah guru dan muridnya yang banyak. 

***

Setiap sabtu, diakhir bulan, mereka selalu berkumpul. Membahas perkembangan dan permasalahan seputar guru penggerak. Juga memecahkan masalah yang terjadi di sekolah masing-masing, baik sebagai guru, Kepala Sekolah ataupun pengawas.

"Menurut saya, justru sekarang Guru Penggerak, malah di bully mas Ketua."

"Kok bisa?." tanya Mas hidayat, yang merupakan Ketua Komunitas Guru penggerak.

"Saya mendapatkan laporan dari beberapa teman guru penggerak yang masih honor ataupun PPPK, mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi dari pimpinan, ataupun teman sejawat."

"Bentuknya seperti apa Pak?."

"Misalnya, Ibu Dessy, guru penggerak honor di SD Negeri 004 Sinar pagi, selalu dianggap salah oleh teman sejawatnya. Dianggap sok tahu, dan sok pintar!." jelas Pak Muji, yang sekolahnya satu kecamatan dengannya.

" Jadi begini Pak, semua masalah yang terjadi dan dialami oleh teman GP, kita inventaris, dicari fakta dan kebenarannya. Jangan sampai menjadi fitnah dan Hoak." Jawab Mas Hidayat dengan bijak.

"Bila ada teman yang bermasalah, kita dampingi dan berikan motivasi dan semangatnya, kalaupun ada yang keliru, kita juga bisa memberikan pandangan, arahan, tanpa harus menggurui bapak-bapak dan Ibu sekalian."

"Baik, Pak Ketua, hahaha." gelak gita, menanggapi jawaban mas Hidayat, yang merupakan Ketua Komunitas Guru penggerak di semua angkatan.

Tertawa Gita, diikuti yang lainnya, memecahkan suasana tegang dan serius diantara mereka. Begitulah cara mereka memecahkan masalah, mencari jalan keluar bila ada masalah yang mereka rasakan. Komunitas Guru Penggerak menjadi wadah bagi para GP tersebut bertukar pikiran, dan saling berbagi pengalaman baru, dan juga inovasi dalam pembelajaran.

***

Ada kesamaan perasaan diantara mereka. Dan Overthinking, yang bisa mengganggu bahkan melemahkan semangat para guru penggerak tersebut. 

Serangan, asumsi dan opini terjadi diberbagai lini media sosial. Baik tulisan, maupun broadcasting. Dari sesama guru, sampai dengan pengamat. 

Ada pertanyaan di dalam diri mereka. Bukankah ini juga termasuk Bullying?. Terkadang antara Bullying dan kritik beda tipis. Begitupula antara curhat dan protes, menjadi sebelas dua belas.

"Ada juga mas, seorang pengamat mengusulkan semua guru dijadikan guru penggerak, sampeyan setuju?." Pak hafid, kepada Ketua, Mas Hidayat.

"Saya sih setuju-setuju saja. Masalahnya uangnya dari mana?, duitnya dari mana?. Ada yang bilang juga sama saya, enak yo mas, jadi Guru penggerak, di guyur uang sampeyan?." 

"Uangnya sopo mas-mas?., wong jadi guru penggerak itu hanya dapat uang saku, transportasi dan uang pulsa, yang nominalnya ratusan ribu. Sedangkan untuk kegiatan, sejenis panen hasil, lokakarya, tugas-tugas, kita ya patungan antara sesama Guru penggerak." jelas Mas Hidayat, disambut tawa.

"Memang kadang yang dilihat itu luarnya saja, kesannya jadi guru penggerak itu sudah segalanya. Disuruh ikut seleksi malah seribu alasan, maunya instan." celetuk Mugirotin.

"Saya ini aja banyak yang meremehkan, ah, apa bisanya sih si Mugi, belum pernah jadi Kepala Sekolah, langsung jadi Pengawas!." 

Mugirotin, diangkat menjadi Pengawas SMP di wilayah kecamatan, waktu menjadi guru. Tapi, dia membuktikan dirinya mampu menjadi pengawas. Sedikit bicara, tetapi banyak kerja. 

Mendampingi sekolah, menjadi mentor yang diadakan oleh sekolah sebagai narasumber. Mugirotin, menjalankan tugas Pengawas dengan baik. 

Mugirotin menjadi katak tuli. Dia tidak peduli dengan komentar negatif dan pesimisme orang lain, yang meragukan kemampuan dirinya. Katanya, fokus saja pada tujuan, tanpa terganggu pendapat orang lain. 

"Jangan belum apa-apa, mengeluh, protes, pesimis. Terkadang kita mudah memberikan penilaian kepada orang lain, sementara tanpa memberikan solusi yang kongrit." 

"Kalau tidak bisa kasih solusi, kan sama saja, omon-omon, gitukan Mbak Mugirotin?." sergah Gita.

"Nah, cerdas, seratus buat mu dik!." balas mugirotin.

***

Akhirnya pertemuan Guru Penggerak tersebut berakhir. Disudut kafe yang hangat, aroma kopi dan kehangatan telah menemani mereka. 

Seperti halaman buku, banyak cerita yang beragam, saat mereka bertemu dan berkumpul. Ada yang seperti kopi hitam, tegas dan penuh pengalaman.  Ada yang seperti cappucino, berwarna-warni, gundah gulana, dan penuh cerita.

Dan, ada juga yang seperti latte, tenang dan mendalam, merenung diantara setiap tegukkan. Disana mereka, bukan hanya berbicara tentang guru penggerak, dan Kurikulum dan dinamika sekolah, tetapi juga tentang mimpi, tantangan dan perjalanan hidup. 

Kafe tempat mereka ngumpul, menjadi panggung, dimana setiap cangkir mengandung lebih dari sekedar kafein, ia mengandung inspirasi, persahabatan, dan semangat untuk terus berkarya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun