Disekeliling kampung yang baru dibuka, dijadikan pemukiman warga transmigrasi tersebut, dikelilingi oleh hutan rimba. Tak ada penerangan listrik di malam hari, yang ada hanyalah lampu tembok dengan bahan bakarnya minyak tanah.
Ini, adalah malam pertama bagi Pak guru Rohmat, dan temannya berada di kampung pemukiman transmigrasi. Sebuah kampung, layaknya permadani keheningan, ditenun oleh jemari malam dibawah bukit yang merendah. Dikelilingi oleh hutan yang berbisik rahasia zaman kepada angin yang lewat.
"Dor-dor-dor!. buka pak!. " seseorang menggedor pintu rumah kepala pemukiman transmigrasi.Â
Buka pak badrun!, kami warga mau berbicara!." terdengar teriakan dari warga yang lain.
Pak Guru yang berada di bilik kamarnya, bergegas keluar. Dan mengintip dari balik jendela. Jarak rumah Pak Rohmat dengan kepala pemukiman transmigrasi hanya beberapa meter. Disebelah rumah yang dihuninya, ditempati oleh Pak Deny, petugas PLKB.
"Ada apa Pak Rohmat?." tanya Pak Badina, yang keluar dari toilet. Mereka berdua, tinggal satu rumah. Pak Badina sudah berkeluarga, sementara Pak Rohmat masih bujangan. Hanya saja Pak Badina, datang ke kampung transmigrasi ini tidak membawa keluarganya. Sehingga mereka berdua bisa tinggal satu rumah.Â
"Tidak tahu juga Pak. Banyak warga berkumpul didepan rumah Kepala Unit pemukiman transmigrasi (UPT). " jawab Pak rohmat setengah berbisik.Â
***
Sejurus kemudian, dari kejauhan, keluar seorang laki-laki berperawakan gemuk agak pendek, yang dipanggil warga Pak Badrun. Disampingnya berdiri seorang laki-laki kurus bernama pak Elfiduan.Â
Kemudian Pak Badrun, mempersilahkan warga duduk dihalaman kantornya, membentuk lingkaran, duduk diatas tanah berumput. Pak Rohmat dan Badina, keluar dari rumah dan duduk diteras rumah kopelnya.
Rupanya Pak Deny, sudah duduk duluan diteras rumah, sambil menikmati secangkir kopi pahit.Â