Samarinda, Bulan Agustus 2011, ditahun menjelang kritisku, berada di Kampus Biru
Sudah berapa kali, Aku berkonsultasi dengan Dosen Pembimbing. Dari pengajuan judul dan Proposal Skripsi, kuhitung ada tujuh kali, baru bisa maju menyusun skripsi.
Sedang, untuk skripsinya hampir sepuluh kali, belum juga bisa ikut pendadaran. Benar-benar hari terberat buatku. Overthinking, mulai mengelayuti pikiranku.
"Inikan saya bilang salah!, kenapa belum kamu ganti!." Kata  Pak Denny, disaat Konsultasi.
"Kemaren, sudah saya ganti Pak, yang baru ini memang saran dari Bapak juga?." Aku mengingatkan.
"Kamu perbaiki lagi!, saya tidak mau tahu!. Setelah itu bawa lagi ke Saya. Ada lagi yang mau ditanyakan?."
"Baik Pak, mungkin cukup dulu. Saran dari Bapak untuk revisi, akan saya laksanakan."
Sesaat kemudian, Pak Denny beranjak dari teras rumahnya. Dosen Pembimbing tersebut masuk kedalam rumah, tanpa berpamitan sebelumnya.
Aku menghela napas dalam, sambil mengumpulkan lembaran Skripsi yang penuh coretan. Menyusun dan menjepitkan di  binder clip. Dan memasukkannya kembali ke dalam ransel yang kubawa.
"Kok susah banget ya, menyusun Skripsi ini. Selalu disalahkan dan direvisi, ahh..benar-benar!." gumamku pelan, setengah jengkel dengan Pak Denny, sambil meninggalkan rumah dosen pembimbing Killer tersebut.
***
Aku tidak bisa mengetik sendiri, dan tak punya laptop. Untuk memperbaiki skripsi yang telah dicoret Pak Denny, dibawa ke rental pengetikan komputer, yang ada di sebuah gang dipinggiran kota.
Setiap perbaikan, Aku juga harus mengeluarkan uang ratusan ribu sebagai upah rental dipengetikan komputer. Dari banyaknya konsultasi dan revisi yang diminta Pak Denny, hampir jutaan biaya yang telah dikeluarkan.Â
Dan dikonsultasi yang ke-17, masih harus direvisi juga. Aku dibimbing oleh dua dosen pembimbing, untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini. Sampai dosen pembimbing pertamaku, Pak Rusdi, dosen Fisika, menjadi bingung dengan ulah teman seprofesinya, yang terlalu mempersulit mahasiswa.
Diantara teman sejawatnya, Pak Denny dikenal "Si Penyulit" bagi Mahasiswa. Dan bagi Mahasiswa penyetaraan, yang sudah jadi guru dan punya penghasilan gaji, menjadi bimbingan Pak Denny, menghadapi dua ujian sekaligus, ujian akademik dan ujian kantong.
Yah, itulah penyebab utama aku tertinggal dengan rekan mahasiswa satu kelompok, yang berjumlah 10 orang. Dia, selalu meminta imbalan disetiap konsultasi, berupa uang, terkadang bingkisan dari sesama teman, untuk mendapatkan nilai lebih.
Disaat teman sekelompok skripsinya berhasil, dan melaju ke ujian pendadaran, dan telah mendaftar mengikuti Yudisium. Aku masih berkutat dengan skripsi yang penuh coretan.
***
Seperti kapal yang terdampar di tengah lautan, aku merasa seperti layar yang koyak dan tiang yang patah. Ombak keputusasan menghantam, dan aku tak punya lagi kekuatan untuk berlayar. Aku menyerah, membiarkan arus membawaku kemana saja. Kini, aku tak lebih sehelai daun yang terombang-ambing, dipermukaan air.
Apa boleh buat, bayang-bayang drop-out, telah berada didepan mataku. Akupun sudah tak peduli, kalau ini penyebab tak bisa kuselesaikan, skripsi menjadi syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan.
Kalaupun, skripsi yang telah kutitipkan dengan isteri Pak Denny dirumahnya, kuambil kembali, pasti isinya hanyalah coretan revisi yang tak berkesudahan.
Bayang-bayang ketakutan, ejekan, bahkan beribu pertanyaan akan ditanyakan teman sejawat di sekolah. Mengapa Kuliah, Bapak tidak selesai?. Apa penyebabnya?.Â
Bisa saja aku dianggap tidak memenuhi syarat lagi menjadi guru, karena tidak selesai Strata satu, dan bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Dan, Aku akan di tata usahakan oleh Kepala Sekolah, karena tak memenuhi syarat sebagai guru.
Dan tentunya, tidak bisa mengikuti Sertifikasi pendidik, sebagai bagian kompetensi seorang Guru Profesional, yang mendapatkan tunjangan sebulan gaji pokok.
"Benar-benar sialan!. Skripsiku tak pernah rampung hanya gara-gara Pak Denny. Yang ingin skripsi yang kubuat, sesempurna Kitab Suci!.
"Braak!." Aku melampiaskan marah, kepada benda-benda yang ada disekitar meja kerjaku di sekolah.
"Kenapa Pak!." tegur Pak Wahyu, Kepala Sekolahku.Â
Aku tak menyadari, kalau beliau mendengarnya dari ruang kantornya, yang disekat, dan terpisah dengan ruang guru.
"Oh.., tidak Pak, maap, saya tadi hanya kaget, seekor cecak meloncat dari dinding, dan jatuh dimeja kerja." Jelasku menutupi kejadian sebenarnya.
***
Aku sedikit tenang. Dan bisa berdamai dengan keadaan. Aku ingin melupakan skripsi dan Pak Denny tersebut. Namun, disaat tertentu, aku menjadi ingat kembali.Â
Aku mendengar dari seorang teman satu kelas, kalau kebanyakan mereka sudah wisuda, dan telah menerima gelar sarjana pendidikan. Hanya saja, masih beberapa orang yang senasib denganku.
Satu orang, karena berangkat Ibadah Haji, dan satunya lagi karena dosen pembimbingnya setali tiga uang dengan Pak Denny.
Aku bersemangat lagi!. Ternyata masih ada teman senasib, belum lulus.Â
"Tapi, bagaimana caranya aku bisa mengambil skripsi yang telah berbulan-bulan di rumah Pak Denny?."
"Apakah sudah diperiksanya lagi?. Dan seperti biasa, penuh coretan ditiap lembar kertasnya."Â
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Sesaat, Aku ingin menyantap makan Sahur di penghujung bulan Ramadan. Nomor ponsel asing, tidak terdapat dalam kontak menghubungiku.
"Halo, iya, ini dari siapa?." tanyaku, setelah sambungan telepon diangkat.
" Saya, Pak Lajangka, Ketua Prodi PGSD. Skripsimu, sudah selesai belum?. Kenapa belum mengajukan ujian pendadaran?."
Aku benar-benar kaget. Ternyata Ketua Prodi menghubungiku. Aku menjelaskan penyebabnya, kepada Ketua Prodi PGSD.Â
"Besok, kamu ambil skripsimu, kalau memang masih dirumah Pak Denny!. Bilang sama dia, Ketua Prodi PGSD yang suruh. Dan segera mengajukan undangan untuk ujian Pendadaran!. Ujar beliau tegas.
"Baik, Pak. Besok saya kerumah Pak Denny dan mengambil skripsi tersebut." jawabku diujung telepon.Â
Sesaat kemudian, Ketua Prodi mengucapkan salam penutup. Percakapan melalui ponselpun berakhir.
***
Akhirnya, aku bisa mengikuti ujian pendadaran bersama dua mahasiswa yang senasib, sama terlambat. Dua dosen penguji, dan dua dosen pembimbing, akan kuhadapi untuk menyelesaikan proses pendadaran.
Terutama, Pak Denny, ia terlihat kurang suka, aku mengikuti ujian pendadaran. Beberapa kali aku dibentak, namun Ketua Prodi memberikan isyarat lewat mata. Seakan memberikan perintah, mengikuti kemauan Pak Denny, dan diam saja.
Parahnya seorang Dosen Penguji malah bertanya statusku sebagai mahasiswa yang sudah terlambat menyelesaikan ujian pendadaran.Â
"Kamu sudah bayar SPP belum?. Kamu ini sudah terlambat!. Kalau belum bayar SPP, saya tidak melanjutkan mengujimu!. Selesaikan dulu kewajiban." jelas Dosen Penguji sambil menantap wajahku.
"Baik Pak, untuk urusan itu. Saya dikasih tahu, administrasi, urusannya Ketua Jurusan. " jawabku.
Akhirnya, Dosen Penguji tak bertanya lagi tentang SPP. Ia menguji skripsiku, sampai selesai, dengan nilai dan hasil yang baik.
***
Di bulan Maret 2012, aku akhirnya bisa mengikuti wisuda sarjana pendidikan. Seperti bunga yang mekar setelah musim hujan berlalu, begitupula keberhasilan wisuda sarjana yang kudapatkan.
Aku bisa menaklukan kekerasan hati Pak Denny, yang sedikit lagi membuatku Drop Out dari kampus. Dan bayang-bayang, overthinking yang menyelimuti seluruh pikiran, dan membuat diriku dalam keputusasaan.
Jubah kebanggaan telah kukenakan di saat wisuda, dan serasa membawaku pada embusan angin baru, yang membawa ke dunia yang lebih luas.
Seperti bunga yang mekar, keberhasilan wisuda sarjana adalah simbol kemenangan dan awal dari petualangan baru. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H