Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bisnis Tokek

16 April 2024   19:13 Diperbarui: 17 April 2024   14:10 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samarinda, di bulan April 1998, saat musim Kemarau.

Para Master Tokek, alias pemburu tokek kelas wahid, akan berkumpul minggu ini dirumah Pak Imam. Para penguping, alias pencari tokek amatiran, sudah mengetahui kabar ini. 

"Mas Giman, sampeyan diundang enggak, pertemuan bos tokek?."

"Saya malah belum tahu sama sekali Paklik." Ujar Giman sambil menghisap rokok kreteknya. Dan menghembuskannya, membuat asapnya kemana-mana.

Keduanya, merupakan anak buah Pak Imam. Pak Imam merupakan koordinator lapangan pencari tokek bersama mas Rebo. Mereka berdua merupakan orang kepercayaan dari Pak Alek. Pak Alek sendiri, merupakan perantara pembeli tangan kedua.

Diatas Pak Alek, adalagi perantara pertama, yang bisa berkomunikasi langsung dengan bos besar. Bos besar inilah pembeli yang akan datang membayarkan uang ke pemilik tokek.

***

Pembeli, yang digelari bos besar tokek, akan datang membawakan uang pembayaran. Apabila, kedua penguji yang diutus mengukur panjang, berat tokek sudah layak untuk dibeli. 

Rumitnya, sistem pembelian tokek ini, tak menyurutkan para pemburu dikelas lapangan untuk mencarinya. Mereka tetap berburu kemana saja, bila ada informasi tokek yang siap dijual dan dibeli. 

"Siapa yang akan mereka datangi, dan beli tokeknya?." 

"Dengar-dengar sih, punyanya Suami Ibu Siti Nazoratin. Dia menemukan tanpa sengaja, saat bekerja ditengah hutan, membuat pemukiman warga transmigrasi Paklik." 

"Oohhmm, kalau benar apa yang kamu ceritakan, Ibu Siti Nazoratin dan suaminya, bakal jadi orang kaya baru (OKB) didesa kita!"

"Iya Paklik, beliau berdua bakal menerima uang milyaran dari hasil penjualan tokek." 

"Iya, hmm, itu memang rejekinya, Wakidi, suaminya Ibu Siti Nazarotin. Ehh.., masuk hutan, malah dapat tokek pembawa rejeki." ujar Paklik Rasidi, sambil menghembuskan rokok kretek yang diisapnya.

***

Paklik Rasidi menerawang pikirannya kemana-mana. Dalam dunia bisnis tokek bersama mas Giman, keduanya sudah malang melintang. Namun sampai hari ini, belum ada yang gol!. Istilah para pencari tokek, kalau usahanya berhasil.

Jangan ditanya berapa biaya yang mereka keluarkan mencari tokek. Pergi kesana-kemari. Sampai beberapa kapling tanah sawah Paklik Rasidi, ludes terjual. 

Begitupula dengan Mas Giman, bengkel usaha untuk menghidupi keluarganya, juga ikut terjual. Dua bulan lalu, sepulang mencari tokek di daerah berau, isterinya ngamuk dan minta cerai.

Jadilah keduanya, senasib sepenanggungan. Seakan dua batang korek api dalam kotak yang sama, terbakar bersama saat api kehidupan menyala. Dan bersama-sama menjadi abu ketika nyala itu padam.

***

Selain itu, mas Giman dan Paklik Rasidi, resmi menjadi Pengacara (Pengangguran banyak acara). Acara berburu tokek. Tetapi sekarang mereka mati kutu. Tidak bisa berpergian kemana-mana, karena uang modal mereka dari hasil menjual tanah sawah dan bengkel, hampir habis.

Hanya tersisa buat makan saja. Itupun untuk beberapa hari kedepan. Penopang mereka, bila gol penjualan tokek, Pak wakidi dan ibu Siti Nazarotin, mereka juga kebagian uang sahabat pencari tokek. 

Para pencari tokek, mempunyai solidaritas tinggi. Jadi siapapun berhasil menjual tokek dari pencariannya, harus berbagi rejeki dengan sesama pencari tokek. Namun sayangnya, belum ada yang gol!.

***

Akhirnya, semua pemburu tokek berkumpul. Termasuk mas Giman dan Paklik Rasidi, diundang oleh Pak Alek, sebagai Koordinator lapangan.

"Besok, bos perwakilan dari Malaysia, akan datang kerumah Pak Wakidi dan Ibu Siti Nazarotin, untuk melakukan tes dan uji layak jual tokek yang mereka dapatkan." 

"Mudah-mudahan, gol!. Dan kita semua, mendapatkan persenan dari beliau berdua." harap Paklik Rasidi, setelah Pak Alek menjelaskan.

Semuanya berkumpul dirumah Pak Imam layaknya sidang meja bundar. Karena mereka duduknya membentuk lingkaran. Didepannya hidangan singkong rebus, dan segelas kopi hitam menemani suasana pertemuan tersebut.

***

Kabar burung, kalau kedua pasangan suami isteri akan menjual tokeknya besok hari, menyebar keseluruh pelosok desa, terbawa angin kerumah-rumah warga desa.

Menjadi buah bibir ditiap rumah, kalau Pak Wakidi dan ibu Nazarotin, bakal menjadi OKB. Dan besok hari, akan datang orang dari Malaysia membeli tokek dari keduanya. 

"Bisa kami lihat tokeknya Pak?." seseorang membuka pembicaraan. 

Sepertinya orang tersebut, adalah penguji. Dikiri dan kanannya, duduk dua orang mendampingi. Sementara para master Tokek, juga sudah berkumpul di rumah Pak Wakidi dan Ibu Siti Nazarotin.

Pak Wakidi, menyodorkan sebuah kotak bambu yang berukuran agak besar. Di dalamnya terdapat seekor tokek berwarna abu-abu kebiruan, dengan bintik-bintik merah, dan ekor bergaris-garis gelap, dengan iris mata kuning. 

Penguji, mengamati tokek tersebut dengan teliti. Hanya tokek yang memenuhi syarat dan ketentuan berlaku, yang akan mereka beli. Dan bos besar tokek akan segera datang, menyerahkan uangnya langsung ke rumah pasangan suami isteri tersebut.

***

Wajah-wajah tegang, tergambar jelas dari semua yang hadir menyaksikan pengujian tokek. Konon tokek yang di beli yang ukuran panjang dan beratnya minimal tiga kilo setengah, yang akan dibeli. 

"Apakah bapak dan Ibu, sudah menimbangnya?."

"Sudah Pak, kami sudah menimbangnya. Beratnya mencapai 3,6 kilogram." ujar Pak Wakidi.

"Baik Pak, sekarang kita timbang ulang, menggunakan timbangan digital, semoga sesuai." ujar penguji.

Penimbangan ulang, disaksikan semua master tokek, juga para korlap dan pencari tokek, yang hadir di rumah Pak Wakidi dan Ibu siti Nazarotin. Sementara, diluar rumah warga desa, juga memasang kupingnya untuk mencuri dengar percakapan didalam rumah tersebut.

"Lha Pak, ini kok beratnya cuman dua setengah kilogram?." ujar penguji sambil memastikan timbangan digital. Semua terkejut, mendengarnya.

"Kok bisa?, saya pastikan timbangannya sebelum saya beri tahu Pak Alek, tiga koma enam kilogram." sahut Pak Wakidi, dengan suara bergetar. Dia menjadi bingung sendiri.

"Mohon maap, Pak!, kami tidak jadi membeli tokek ini. Tokek ini tidak lulus uji pembelian." 

"Ya ampun!." Ibu Siti Nazarotin merasa aneh, dan tidak percaya.

"Kok bisa berat badan tokek ini menyusut, padahal sudah kami pastikan tiga koma enam kilogram Pak." sahut Ibu Siti Nazoratin dengan suara serak.

Semua yang hadir juga menjadi linglung dengan penglihatan mereka saat penimbangan tokek, tidak sesuai dengan harapan. 

"Gedebuk!." tiba-tiba tubuh Ibu Siti Nazoratin, ambruk. 

"Bu, Ibu, bangun bu!." Ujar Pak Wakidi, melihat tubuh isterinya terkulai lemas. 

Semua pengintip dan pencuri dengar, dibalik dinding-dinding rumah Pak Wakidi, juga tak kalah kagetnya. Mereka bergumam, Pak Wakidi dan isterinya, tidak menjadi orang kaya baru.

Dan gembar-gembor, bakal selamatan dan syukuran tujuh hari tujuh malam, yang akan digelar oleh Pak Wakidi dan Ibu Siti Nazoratin, dipastikan gagal total. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun