"Oke deh, kalau begitu. Selamat sore dik!."
"Selamat sore juga Kak." Tutup Lince, setelah membalas salamku.
Seperti debu yang terbangun oleh angin, kenangan akan percakapan lama itu kembali berputar dalam pikiran, mengisi setiap sudut dengan bisikan 30 tahun yang lampau.
**
Aku memasuki bilik telepon umum tersebut. Warga perumahan membiarkan telepon umum itu tetap ada, menjadi barang antik. Banyak kenangan di telepon umum yang ada di ujung perumahan ini.
Aku merogoh saku, mencari uang logam. Dulu biasa pakai uang seratusan, benggol. Sekarang, ukuran uang koin lebih kecil. Bernilai seratus, dua ratus dan lima ratus rupiah.
"Apa bisa, pakai uang koin yang ukurannya lebih kecil?." Aku bertanya diri sendiri.
"Dicoba dululah, siapa tahu mau ya, kan?." Telepon umum, tampak tua dan usang, namun berfungsi dengan baik. Aku mengeluarkan beberapa koin dari saku, dan memasukkannya ke dalam slot telepon.
Aku menekan tombol angka acak, dan setelah beberapa nada tunggu, seseorang mengangkat. Aku jadi terkaget.Â
"Selamat siang, dengan siapa saya berbicara?" tanya suara diujung sana.
Aku terdiam sejenak. Lalu menjawab, "Oh maaf, saya hanya mencoba telepon umum ini. Saya tidak menyangka ada yang mengankat."