Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dari Guru Biasa Menjadi Guru Penggerak (Sebuah Analisis)

17 Maret 2024   01:45 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:40 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru yang mengikuti lokakarya di hari minggu, pendidikan calon guru penggerak (Dokumen pribadi)

"Jiwa yang hebat selalu menghadapi pertentangan keras dari pikiran yang biasa-biasa saja." -Albert Einstein.

Penulis bersama rekan guru penggerak melakukan aksi nyata, praktik baik berkenaan Kumer bersama guru dan kepala sekolah se-kecamatan (Dokpri)
Penulis bersama rekan guru penggerak melakukan aksi nyata, praktik baik berkenaan Kumer bersama guru dan kepala sekolah se-kecamatan (Dokpri)

Judul tulisan ini saya pinjam dari ulasan seorang pengamat pendidikan dan melabeli kanal youtubenya dengan Pendidikan Karakter Utuh. Beliau melabeli adanya Guru besar versus Guru penggerak dan Guru Biasa versus guru penggerak.

Katanya tidak pernah ada dalam sejarah profesi guru terbelah dan terpecah menjadi dua, kecuali di eranya Nadiem Makarim. Katanya lagi profesi guru satu untuk semua, namun sekarang terbelah. Bahkan katanya guru penggerak diistimewakan.

Dan saya rasa tidak perlu mengcopykan link kanal youtube tersebut di tulisan ini, ataupun menyebutkan nama yang bersangkutan. Cukuplah Sahabat Kompasianer mencarinya melalui klu dari kalimat pembuka ditulisan ini.

Takutnya saya malah melanggar kebijakan kompasiana, mempromosikan, atau mengutipkan link video malah berbuah surat cinta dari admin-K.

***

Apa benar Profesi Guru terbelah?

Para guru dan kepala sekolah bersama guru penggerak berbagi praktik baik berkenaan kumer (Dokpri)
Para guru dan kepala sekolah bersama guru penggerak berbagi praktik baik berkenaan kumer (Dokpri)

Sebagai guru yang telah mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik selama 26 tahun, saya sendiri, tidak pernah merasakan perbedaan apapun terhadap guru. Bahkan saya menganggap opini guru terbelah tersebut, merupakan literasi yang menyesatkan para guru itu sendiri. Kok bisa?

Terkadang terlalu overthinking dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di era serba digital sekarang ini membuat diri seorang guru "ogah" keluar dari zona nyaman.

Selain itu sifat pragmatisme juga mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan dirinya. Adanya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berkenaan profesi guru, justru berdampak positif dengan diakuinya guru sebagai profesi. 

Dengan diakuinya guru oleh pemerintah sebagai profesi maka lahirlah Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Selain itu diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2017 yang merupakan perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru, yang mengatur tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi pendidik.

***

Berbagai program kebijakan pemerintah berkenaan profesi guru seperti sertifikasi pendidik, program guru penggerak, bahkan disediakannya aplikasi PMM. Merupakan asupan positif bagi guru meningkatkan kompetensi dirinya terutama kemampuan digitalisasi.

Guru tidak harus alergi dengan kemajuan dunia teknologi saat ini. Apalagi guru saat ini merupakan generasi peralihan dari guru yang mengandalkan kemampuan analog menjadi teknologi digital.

Mengapa saya katakan demikian? Guru-guru berkemampuan era 80-an. Dengan media cetak, berupa tulisan dan mengajar menggunakan media pembelajaran biasa, teknik dan metode pembelajaran berceramah dan penugasan mulai pensiun.

Di sekolah-sekolah saat ini guru generasi pengangkatan sebagai PNS di tahun 80-an, mulai sedikit. Bahkan di beberapa sekolah dalam pengamatan penulis sudah tidak ada lagi. 

Berubah dengan generasi baru, para guru yang masih muda, dan menguasai kemampuan teknologi digital. Kalau guru semacam ini juga tidak dibiasakan menggunakan semacam aplikasi seperti PMM, apa jadinya guru-guru indonesia di masa depan?

***

Menjadi Guru sebuah pilihan

Menjadi guru memang sebuah pilihan yang penting dan berdampak besar. Jangan menjadikan guru itu sebuah pekerjaan tapi guru sebuah seni. Ingin kaya jangan menjadi guru - Cornelius conda (Dosen Bahasa Indonesia, Unmul)

Ice breaking disela kegiatan aksi nyata dan praktik baik berkenaan Kurikulum Merdeka bersama Guru dan Kepala Sekolah (Dokpri)
Ice breaking disela kegiatan aksi nyata dan praktik baik berkenaan Kurikulum Merdeka bersama Guru dan Kepala Sekolah (Dokpri)

Kalimat di atas merupakan perkataan dosen Bahasa indonesia dan Sastra saya waktu kuliah di sebuah kampus ternama di Kalimantan. Ucapan tersebut selalu diulang-ulang beliau. 

Ada juga seorang teman termakan ucapannya, lalu berhenti mengikuti perkuliahan yang mencetak guru SD. Kata beliau jangan bermimpi menjadi guru di daerah perkotaan. Kalian diproyeksikan menjadi guru daerah pedalaman, terpencil, yang akses transportasi dan berbagai listrik, bahkan air bersih pun sulit. 

Dan jangan pula bermimpi menjadi kaya menjadi guru. Gaji guru itu kecil. Bahkan Kepala kampung yang nanti kalian bertugas, tidak mau mempunyai menantu dari guru. 

Dan apa yang dikatakan beliau itu benar. Ketika saya diangkat menjadi Calon pegawai negeri sipil (CPNS) hanya menerima gaji sebesar Rp. 163.840.-. Akses transportasi sangat sulit. Dan di tempat tugas tidak ada listrik dan untuk mendapatkan air bersih harus berjalan kaki hingga 2 kilometer.

***

Guru Biasa dan Guru Penggerak dalam sebuah Perspektif Pengamat

Kegiatan bersama guru penggerak dalam aksi nyata berkenaan Kurikulum merdeka (Dokpri)
Kegiatan bersama guru penggerak dalam aksi nyata berkenaan Kurikulum merdeka (Dokpri)

Dalam sebuah video yang diungkapkan oleh seorang pengamat, bahwa Program Merdeka Belajar adalah Belah bambu Profesi Guru. Adanya Guru biasa dan guru penggerak, dan perbedaan tersebut katanya bukan hanya sekedar nama. Dan diakhir ulasan videonya guru penggerak jangan Baper (bawa perasaan). Dan yang dikritik katanya adalah kebijakan Kementerian yang membuat pelatihan guru penggerak.

Ironisnya, perbedaan ini memecah belah guru dilapangan. Apa benar demikian?

Justru dari pengalaman langsung yang saya rasakan, para guru yang diberi label biasa malah senang ada guru penggerak di sekolahnya.

Bahkan guru biasa dan guru penggerak saling berkolaborasi dalam kegiatan praktik baik, berbagi informasi dan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari program pendidikan calon guru penggerak (CGP). 

Saya pribadi dari guru biasa. Yang kemudian mengikuti seleksi guru penggerak, mengikuti tahapan demi tahapan bersama 200 ribu guru lainnya di seluruh Indonesia pada angkatan 7. 

Semua guru mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti CGP setiap angkatannya. Tidak dibatasi, atau pelarangan bagi guru tertentu mengikutinya. Bahkan di sekolah saya sendiri oleh Kepala Sekolah didorong semua mengikutinya.

***

Namun, tidak semua guru mau mengikutinya. Dan tidak semua guru terdorong menjadi guru penggerak. Tidak adil itu sebenarnya, bila ada guru yang diperbolehkan mengikuti. Dan ada guru yang dilarang mengikuti seleksinya. Kesempatan sama buat semua guru.

Bahkan sekarang mengikuti guru penggerak sudah tidak dibatasi usia, seiring dengan dikabulkannya gugatan mengenai Guru penggerak di MA.

Kalaupun ada guru yang ketika mengikuti pendidikan guru penggerak, katanya sering meninggalkan kelas, menitip kelasnya ke guru lainnya. Itu, hanyalah "oknum". 

Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri mengikuti kegiatan pendidikan calon guru penggerak (CGP), tidak mengganggu jam pelajaran di kelas. Karena pembelajaran secara daring dilaksanakan pada sore hari, setelah jam mengajar selesai. 

Tugas yang dikerjakan melalui Learning Management System (LMS) yang dikerjakan secara mandiri dan diberikan oleh fasilitator bisa dikerjakan pada malam hari. Dan durasi waktunya juga cukup panjang. Dan aktivitas belajar secara online ini hanya menggugah materi, mengerjakan tugas dari fasilitator, rangkaian modul yang dipelajari, dan tugas-tugas diskusi serta refleksi dari modul yang telah diselesaikan.

Sedangkan lokakarya bagi calon guru penggerak secara luring (tatap muka) dilaksanakan pada hari minggu, sebulan sekali. Dan pendidikan CGP selama 6 bulan, ada satu lokakarya orientasi dan 6 lokakarya yang juga dilaksanakan pada hari libur sekolah. Dimana mengganggu dan meninggalkan jam mengajarnya?

***

Seberapa Istimewa Guru Penggerak dibanding Guru Biasa?

Saat Ice breaking, guru mengikuti pendidikan calon guru penggerak (CGP) diangkatan 7 Kota Samarinda ( Dokpri)
Saat Ice breaking, guru mengikuti pendidikan calon guru penggerak (CGP) diangkatan 7 Kota Samarinda ( Dokpri)

Saya rasa tidak ada yang istimewa, sama saja. Sama dalam artian, sama-sama mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dan menjadi ujung tombak pendidikan di Indonesia. 

Memang guru penggerak menjadi agen perubahan dan kepemimpinan pembelajaran di sekolah tempatnya berada. Bukan berarti guru penggerak menjadi sombong dan membatasi diri dengan guru lain, yang dianggap biasa. Itu sebenarnya "Salah kaprah!"

Justru guru penggerak di setiap sekolah menjadi penggerak bagi teman sesama guru berbagi informasi baru dengan guru lainnya berkenaan dengan program baru dari Pemerintah yang mendukung digitalisasi dunia pendidikan.

Belajar bersama di komunitas belajar. Saling berbagi pengetahuan satu sama lain. Seperti halnya penggunaan aplikasi PMM Merdeka belajar sebagai alat bantu peningkatan kompetensi dan pengembangan diri guru.

Kalau guru penggerak diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan pengawas sekolah. Faktanya di lapangan tidak semua guru penggerak juga menjadi kepala sekolah ataupun pengawas. 

Karena ada syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh guru penggerak untuk menjadi Kepala Sekolah dan Pengawas yaitu mempunyai sertifikat pendidik, sudah menempati golongan/ruang kepangkatan 3B, masa kerja sebagai PNS 5 tahun, dan mempunyai pengalaman manajerial dan usia dibawah 56 tahun.

***

Saat pendidikan CGP, Guru saling berdiskusi dilokakarya (Dokpri)
Saat pendidikan CGP, Guru saling berdiskusi dilokakarya (Dokpri)

Bahkan masih banyak fakta di lapangan, Kepala Sekolah diangkat bukan dari guru penggerak. Tidak mempunyai Sertifikat CKS dan penguatan Kepala Sekolah. 

Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa guru penggerak merupakan program pemerintah yang patut disyukuri oleh setiap guru. Kalau dianggap memecah belah, adanya program guru penggerak terlalu berlebihan.

Kalau kemudian dalam sebuah pertarungan seleksi ada yang berhasil dan tidak, itu hal yang biasa. Bukankah kegagalan mengikuti seleksi calon guru penggerak, hanyalah sebuah keberhasilan yang tertunda?

Bahkan ada guru yang mengikuti seleksi setiap angkatan tidak lulus. Dan di angkatan kesekian kalinya baru memperoleh kelulusan. Menjadi guru penggerak memang tidak selalu harus dijalur kemendikbud ristek. Ada juga guru bukan guru penggerak tapi menjadi penggerak di sekolahnya. Seperti Ketua penggerak Komunitas belajar di sekolah masing-masing.

Poin pentingnya, setiap guru tidak menutup diri dengan perubahan zaman, teknologi digital menjadi sebuah keniscayaan. Guru melek teknologi, dengan menggunakan aplikasi merupakan bagian ramah lingkungan mengurangi penggunaan kertas, dengan tujuan mengurangi sampah yang bisa merusak lingkungan itu sendiri. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun