Belum lagi di saat ngumpul bersama keluarga di hari weekend, harus mengikuti lokakarya yang dilaksanakan secara luring seharian penuh.
Berbagi praktik baik, berdiskusi dengan sesama calon guru penggerak dibimbing oleh pengajar praktik yang dibagi beberapa kelompok.
Kemudian di saat malam hari, bekerja sampai jauh malam di depan laptop membuat powerpoint untuk presentasi tugas kelompok. Membuat jurnal dwi mingguan di blog yang disediakan di lms ataupun menerbitkan pada media sosial seperti di Kompasiana, atau blog pribadi dan berbagi yang dikelola oleh Komunitas guru.
Pendampingan ke sekolah oleh pengajar praktik saat calon guru penggerak berbagi praktik baik dengan sesama warga sekolah dan rekan sejawat di komunitas praktisi pendidikan.
Dan mengirimkannya dalam betuk video pada channel YouTube, Google Drive ataupun platform Merdeka Belajar sebagai tugas yang harus diselesaikan dan dinilai oleh fasilitator pendidikan Guru Penggerak.
Sesuai dengan slogan guru pengerak "Bergerak, Tergerak dan Menggerakkan", bukan hanya slogan saat mengikuti pendidikan saja. Tapi saat dinyatakan lulus menjadi guru penggerak. Bukan saja di ruang lingkup kelas dan sekolah, bahkan lebih luas lagi ke berbagai komunitas praktisi pendidikan.
Penulis sendiri, yang diberi amanat menjadi Kepala Sekolah oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda, terus memberi warna bagi berbagai komunitas pendidikan.
Baik di kelompok kerja kepala sekolah (K3S) wilayah kerja penulis, dengan mengadakan aksi nyata berupa desiminasi Implementasi Kurikulum dengan memberikan pelatihan, bimtek penyusunan Kurikulum Operasional di Satuan Pendidikan.
Bila ingin berada di zona nyaman, menjadi guru penggerak bukanlah tempat yang tepat. Dari sini penulis menyadari betul, mengapa seorang Guru Penggerak diprioritaskan menjadi Kepala Sekolah.
(*)