***
Itulah Ibu, yang selama ini saya hormati dan banggakan. Wanita kuat yang penuh rasa kasih sayangnya. Memperjuangkan pendidikan anaknya sampai menjadi seorang guru. Terlahir bukan dari keluarga berada.
Ayah seorang buruh di sebuah perusahaan dan kemudian menjadi sopir taksi dan bertani setelah berhenti bekerja. Sedangkan ibu berjualan di warung kecil sambil berjualan sayuran dari hasil kebun dan membeli sayuran dipasar induk.Â
Kalau jauh dari kampung halaman bertugas sebagai guru transmigrasi di berau wilayah bagian utara Kalimantan timur. Setidaknya setahun sekali saya masih bisa pulang kampung, dan menjumpai beliau di saat bulan Ramadan.
Bisa ngobrol, dan menikmati masakan Ibu yang tidak bisa mengalahkan masakannya. Seenak apappun masakan lain, masakan ibu tetap luar biasa.Â
***
Sekarang sudah tiga Ramadan saya tidak bisa bertemu lagi dengan Ibu. Bila kangen bertemu ibu, hanya pusaranya tempat yang bisa saya datangi.
Berkirim untaian doa, semoga beliau mendapatkan tempat yang termulia di sisi-Nya. Mengirimkan sedekah, wakaf pembangunan masjid atau langgar berupa bahan bangunan seperti semen yang diniatkan kebeliau.
Apapun perbuatan baik yang dilakukan selalu diniatkan beliau mendapatkan pahala dari amalan yang dikerjakan anaknya. Diawal Ramadan saya berkunjung ke Makam beliau. Saya tidak bisa bercakap-cakap lagi dengan Ibu. Mendengarkan ceritanya.
Suatu malam, saya pernah bermimpi bertemu dengan Ibu. Beliau terlihat muda seumuran masih remaja. Dengan wajah yang terlihat cantik dan bercahaya. Beliau tersenyum. Walaupun tak ada kata-kata terucap dari mulutnya.
Saya seakan berada di sebuah tempat yang sangat luas tak bertepi. Sangat nyaman dan sejuk. Serasa indah dan membuat betah berada di sana. Sangat damai, sebuah tempat yang tidak pernah kudatangi selama ini. Â (*)