Tugas panitia Pilkades layaknya miniatur demokrasi ditingkat desa. Kebetulan saat Pilkades yang saya ikuti sebagai panitia terdiri 4 calon Kades. Pemilihan ini merupakan pertama kali perubahan dari daerah transmingrasi menjadi sebuah desa.Â
Saya dengan beberapa rekan guru yang jadi Panitia sukses membidani daerah transmigrasi menjadi sebuah desa. Sehingga terpilih perangkat desa utama dari 4 calon kades yang bersaing. Sehingga membuat suasana desa menjadi dingin kembali setelah menghangat selama pilkades.
Peroleh suara terbanyak menjadi Kades, terbanyak kedua menjadi Sekretaris desa, ketiga urusan, dan terakhir sebagai kepala seksi. Sehingga ke 4 pasangan calon pilkades mendapatkan porsi yang adil, dan tidak menimbulkan gesekan.
Di daerah transmigrasi, warganya majemuk. Dan biasanya warga mengusung dari perwakilan masing-masing yang ditokohkan, dari suku tertentu.
Ini hanyalah sedikit penggambaran tentang pengalaman sebagai Panitia Pilkades. Justru di kampung-kampung pemilihan Pilkades menjadi sarana warga berkumpul, dan memunculkan inspirasi dan gagasan-gagasan baru terhadap calon yang diunggulkan. Apalagi ada banyak pilihan yang menjadi calon pilkades.
Hal ini tentu tidak akan terjadi bila jabatan Kades terlalu lama. Masalah utama bukan soal kurangnya masa jabatan. melainkan minimnya kemampuan kepemimpinan kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Dan kurangnya kemampuan Kepala Desa mengatasi keterbelahan sosial pasca pemilihan Kepala Desa.
Di akhir tulisan ini, saya menitipkan catatan Pilkades dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama menjaga keseimbangan demokrasi di tingkat desa: Sah-sah saja jabatan Kades diperpanjang sampai 9 tahun. Tapi perlu dipertimbangkan juga keberlangsungan sistem yang baik yang sudah diusahakan pasca Reformasi yaitu sistem demokrasi yang baik bagi masyarakat desa (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H