Guru penggerak akhir-akhir ini selalu dibicarakan. Baik melalui tulisan. Percakapan sesama guru. Ataupun di dalam rapat sekolah.
Dimana-mana guru penggerak menjadi viral. Guru penggerak ibarat secangkir kopi pahit.Â
Namanya juga kopi pahit. Apa enaknya secangkir kopi pahit?. Sudah hitam, penuh ampas, pahit lagi. Gak enak banget dinikmati.
Begitupula menjadi guru penggerak yang masih menyandang Calon Guru Penggerak (CGP). Â Apalagi baru akan mengikuti seleksinya calon guru penggerak.
Dua-duanya belum ada jaminan menjadi guru penggerak. Disebut guru penggerak kalau sudah dinyatakan lulus dan selesai mengikuti serangkaian pendidikan baik melalui LMS secara daring dibimbing seorang fasilitator dan aksi nyata dibawah bimbingan pengajar praktik.
Kata seorang teman mengikuti seleksinya saja susah. Ia bahkan mencoba sampai tiga kali mengikuti seleksi CGP dari angkatan 2, 5 dan 8 belum juga lulus. Dan pada Angkatan 9 dan 10 saat mendaftar tidak bisa.Karena umur kurang dari 10 tahun lagi pensiun.
Kebanyakan guru penggerak diikuti oleh guru honorer, dan masih muda. Sekolah kebanyakan mengirim guru honornya ketimbang yang sudah pns. Yang PNS alasannya, buang-buang waktu. Dan lebih senang berada di zona aman.
Mengikuti CGP memang penuh tantangan. Perlu kesiapan waktu, pisik dan juga pikiran. Jadi CGP memang tidak ada enaknya. Disaat guru lain beristirahat di siang hari, si CGP harus mengikuti Google Meet mempelajari modul yang telah di siapkan dan dibahas serta didiskusikan bersama teman sesama CGP dan Fasilitator.Â
Memang pahit. Tidak ada enaknya mengikuti CGP yang berlangsung selama 6 bulan. Itu sebabnya saya memulai tulisan ini dengan judul Guru penggerak layaknya secangkir kopi pahit.