Permainan lato-lato yang berasal dari Amerika Serikat semakin populer bagi masyarakat Indonesia. Entah siapa yang pertama kali memulai. Tau-tau sudah ramai saja, lato-lato di sekolah. Terutama di jenjang SD. Suara kletak-kletok, membuat noise pada jam istirahat. Terkadang ada saja siswa yang memainkannya saat jam pelajaran.
Di Amerika lato-lato disebut Clankers. Namun karena permainan ini memakan korban jiwa, sehingga sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat permainan ini dilarang oleh pejabat sekolah setempat.
Lato-lato dianggap permainan tradisional di Indonesia. Karena pernah tren di era 1990-an dan menjadi ikonik di berbagai daerah di tanah air
Lato-lato memang merupakan permainan ketangkasan menggunakan tangan. Dan biasanya permainan ketangkasan memerlukan keahlian tertentu. Dan hanya biasa dimainkan oleh orang yang profesional.Â
Lato-lato di tangan Anak SD, berbahayakah?
Sebenarnya lato-lato bukan hanya dimainkan anak SD, tapi semua usia dari balita sampai orang dewasa. Terlihat orang tua diaplikasi tik-tok, ataupun pesan berbagi WA melalui status video memasang anak usia 2-3 tahun memainkan lato-lato.Â
Lato-lato hanyalah permainan semusim. Layaknya permainan tradisional lainnya yang dimainkan anak jaman dulu. Hanya saja bedanya, jaman dulu, permainan anak silih berganti.Â
Bulan ini musim layang-layang, bulan berikutnya musim kelereng, berganti lagi musim wayang, musim kartu, dan berbagai musim permainan tradisional termasuk lato-lato.Â
Tapi itu dulu, musim permainan anak-anak jaman dulu (Jadul) siklusnya menjadi terganggu, bahkan hilang karena hadirnya gadget yang menghadirkan berbagai permainan virtual berupa game online.
Sebagian orang tua membenarkan anaknya  bermain lato-lato, daripada anak bermain gadget. Padahal keduanya sama saja bahayanya. Yang bagus itu tidak memainkannya, baik lato-lato maupun gadget. Paling tidak membatasinya, dengan pengawasan orang tua.
Lato-lato mulai memakan korban
Sebagai guru saya juga kuatir dan was-was, ketika anak-anak bermain lato-lato di lingkungan sekolah pada jam istirahat. Terkadang permainan lato-lato yang menyenangkan anak-anak saat bermain ada bahaya yang mengintai mereka.
Seorang guru memang tidak bisa mengawasi sejumlah anak yang bermain lato-lato. Apalagi saat tren seperti sekarang, hampir separuh siswa memainkannya. Sehingga bunyi kletak-kletok membisingkan.
Guru tentu was-was, ketika anak bermain lato-lato sampai ada yang cidera. Atau ada anak yang iseng mengarahkan lato-latonya keteman, apa sudah jadinya?. Bola padat yang cukup berat tersebut bila terkena anggota wajah, tentu bisa membuat luka. Dan yang bahaya bila terkena mata.
Dan segala kejadian di sekolah, dianggap oleh orang tua murid sebagai tanggung jawab guru. Untuk mengantisipasi sebelum terjadi masalah saya mengimbau orang tua murid, melarang anak-anaknya membawa lato-lato ke sekolah dan di kelas.Â
Di Kalimantan barat (kalbar), lato-lato sudah memakan korban. Seorang anak berusia 8 tahun dengan inisial AN di kecamatan Sungai Raya harus menjalani operasi bagian matanya.
Dari cerita orang tua si anak, anaknya bermain lato-lato bersama temannya. Dan saat bermain, lato-latonya pecah terus serpihannya menancap di mata. Kata AJ, orang tua anak dikutip dari Tribun Pontianak (Sabtu7/1/2023).
Terkadang sebuah permaianan tidak selalu membawa kebaikan pada anak. Apalagi sebuah permainan yang menggunakan benda yang bahan dasarnya keras dan sangat berbahaya.
Paling ringan, dampak lato-lato bila terkena kepala adalah benjol, atau mata yang menjadi memar, akibat terhantam lato-lato. Dan yang paling parah bisa menimbulkan kebutaan pada mata.
Belum ada larangan membawa lato-lato?
Di Kota Samarinda, secara khusus belum ada edaran dari Pemerintah membawa lato-lato. Mungkin belum ada korban. Tapi sebagai guru saya tetap waspada. Karena mudarat yang ditimbulkan lato-lato bisa membahayakan masa depan anak bila mengenai mata. Karena mata merupakan panca indera utama untuk membaca dan menulis.
Di beberapa daerah mulai sudah dilarang. Siswa di Lampung dan Bandung Barat dilarang membawa lato-lato ke lingkungan sekolah. Didasarkan surat edaran dinas pendidikan setempat.Â
Usia anak sekolah memang seharusnya di larang membawa ke sekolah, karena bila terjadi salah paham sesama anak ketika bermain bisa saja dijadikan senjata buat berkelahi.Â
Dan lato-lato juga bukan alat pendukung kegiatan belajar mengajar (KBM) termasuk dilarang untuk di bawa, layaknya anak membawa gadget kalau bukan diperlukan untuk belajar di kelas.
Selain itu faktor keselamatan anak juga menjadi pertimbangan anak di larang membawa lato-lato ke sekolah. Lebih baik mencegah kejadian korban pada anak, daripada mengobati setelah kejadian akibat lato-lato.
Karena bila pasca kejadian, yang ada saling menyalahkan antara orang tua murid dan pihak guru dan sekolah. Kenapa tidak di larang. Kenapa sekolah membiarkan. Kenapa guru tidak mengawasinya.Â
Sejatinya guru bukanlah pengawas anak bermain lato-lato. Semua pihak harus menyadari bahaya yang mengintai bagi anak saat bermain lato-lato di sekolah.Â
Bermain lato-lato yang jelas mengganggu konsentrasi anak dalam belajar. Dan memberikan dampak yang kurang baik saat dimainkan di lingkungan sekolah.
Bagi rekan dan kompasianer mungkin punya saran dan komentar positif bagaimana mengatasi lato-lato yang lebih bijak lagi supaya tidak memakan korban. Walaupun lato-lato ada sisi positipnya juga, bisa membuat ketangkasan dan kegesitan tangan, serta katanya melatih konsentrasi siswa. Dan semua itu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Silahkan Sahabat kompasianer yang budiman meninggalkan komentar dibawah artikel ini, Salam kompasianer (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H