Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pemberian PR Digantikan dengan 2 Jam Pendidikan Karakter, Sudah Tepatkah?

27 Oktober 2022   14:54 Diperbarui: 28 Oktober 2022   07:55 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai alasan dikemukakan berkenaan PR yang dikerjakan di rumah dihapus. Dari alasan, membuat anak merasa lelah, tertekan, tidak aktif, bahkan stres karena beban tugas yang diberikan guru dibawa ke rumah. Apa benar demikian? Lewat tulisan ini, saya akan menguliknya dari segi kacamata seorang guru.

Pemberian PR bagi anak yang dibawa ke rumah berupa soal-soal latihan, mengerjakan LKS, dari beberapa buku paket tidak selamanya menimbulkan masalah pada anak. Sebab, ada anak yang senang diberi PR dan selalu meminta PR pada guru. Biasanya anak yang kategori pintar dan juara di kelas. Tapi kebanyakan anak, lebih senang tidak ada tugas yang dikerjakan di rumah. Katanya bisa santai, bisa bermain di rumah, dan main game. 

Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim saat mengunjungi SDN 28 Pontianak Utara Kalbar, Senin(24/10/2022)  (DOK.KOMPAS.com/DIAN IH)
Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim saat mengunjungi SDN 28 Pontianak Utara Kalbar, Senin(24/10/2022)  (DOK.KOMPAS.com/DIAN IH)

Itu jawaban polos dan jujur anak, ketika saya berikan pertanyaan, "Apa mau diberikan PR atau tidak di rumah?" 

Selama pandemi covid-19, anak belajar dari rumah.Guru memberikan tugas yang diselesaikan melalui aplikasi pembelajaran jarak jauh yang dikirimkan melalui WA maupun Classroom untuk dinilai oleh guru.

PR banyak dikerjakan Orang Tua Murid?

Ilustrasi anak belajar di kelas (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Ilustrasi anak belajar di kelas (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Pemberian PR kebanyakan disenangi oleh orang tua. Apa sebab?

Orang tua di rumah yang mempunyai waktu yang banyak dan luang, bisa mengevaluasi belajar anak dengan cara membantu anak mengerjakan soal latihan atau tugas yang diberikan guru.

Masalahnya, PR yang dikerjakan orang tua tanpa membimbing anak belajar di rumah (dengan harapan anak mendapatkan nilai yang bagus) bahkan jawabannya benar semua, saat guru meminta anak tersebut mengerjakan kembali soal tersebut, si anak tidak bisa menjawab.

Dilema PR bagi anak

Pertanyaannya, "Apakah PR bermanfaat atau malah berbahaya bagi perkembangan anak?" Tren penghapusan PR bagi anak, bukan hanya terjadi di Surabaya. Tapi sudah menjadi tren pendidikan di mancanegara. Kok bisa seperti itu?

Seorang ahhli perkembangan anak, berkomentar pedas tentang pemberian PR oleh guru di sekolah. 

Alfie Kohn, pengarang buku terlaris "The Homework Myth", yang pernyataannya tersebut di muat Athlantic Monthly.

Kohn mengatakan "Pemberian PR adalah sebuah praktek yang sia-sia, dan buang-buang waktu. Tanpa fantasi hanya mengarahkan anak-anak menjadikan sekumpulan tikus penghisap jiwa sebelum usianya matang."

Menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD), pendidikan dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia. Memerdekakan manusia dari segala bentuk aspek kehidupan, baik fisik, mental dan jasmaninya. 

Setiap anak mempunyai kodrat alam dan kodrat zaman. Pemberian tugas berupa soal latihan, yang dikerjakan di rumah merupakan warisan kolonial belanda. Di mana setiap pekerjakan yang tidak diselesaikan, akan mendapatkan hukuman dan sangsi. 

Bahkan orang tua yang pernah merasakan bangku sekolah di zaman belanda, yaitu Sekolah Rakyat (SR), bercerita kerasnya hukuman pendidikan di zaman itu. Bisa berupa hukuman berdiri di depan kelas sampai pulangan bahasanya "distrap." 

Atau menerima pukulan rotan, di tangan bila tidak mengerjakan tugas, tidak bisa menjawab pertanyaan. Tujuannya baik, untuk mendisiplinkan anak. Tapi sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda setelah Indonesia merdeka, sudah tidak relevan lagi di kodrat zaman yang sudah serba internet.

Penguatan Pendidikan Karakter

Pemikiran dan filosopi dasar-dasar pendidikan, sampai saat ini relevan dan menjadi acuan pendidikan di Indonesia. Di antara pemikiran beliau, guru adalah sebagai penuntun. 

Menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Baik anak sebagai manusia dan juga sebagai anggota masyarakat. 

Pertanyaan yang mendasar, "Apakah pemberian PR membuat anak senang, dan merdeka dalam belajar?"

Jawabannya memang pro kontra berkenaan penghapusan PR di sekolah dasar, lanjutan, dan menengah. 

Sebenarnya penghapusan PR secara keseluruhan di sekolah, bukan berarti tidak ada sama sekali. Tapi pemberian PR hendaknya disederhanakan. Tidak dipungkiri, masih ada guru yang mengajar dengan banyak memberikan tugas, latihan soal dikerjakan di rumah sehingga membuat anak terbebani.

PR diarahkan ke pembentukan karakter anak. Secara kodrat anak adalah individu yang unik. Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda. 

Pola pembelajaran pendalaman karakter, seorang guru menggali potensi yang dimiliki anak sesuai dengan kodratnya masing-masing. Di pendalaman karakter, siswa dilatih untuk lebih aktif, mandiri dan berani mengemukakan pendapat.

Di pendidikan karakter, setiap anak dilatih untuk membuat proyek. Anak dibebaskan memilih satu atau dua kegiatan ekstra kurikuler yang ingin diikutinya. Misalnya di bidang kesenian, olahraga, Kepramukaan, keterampilan berbahasa asing, dan lain sebagainya.

Karakter yang akan dibentuk, disesuaikan dengan keadaan sekolah, dan kearifan lokal, kultural sosial budaya yang bermuara dan bertujuan mencapai siswa yang berkarakter profil pelajar pancasila.

***

Di akhir tulisan ini, penulis mengemukakan beberapa pendapat. Sebagai Guru penulis, sudah sedari dua tahun yang lalu, tidak pernah memberikan tugas, latihan soal berupa PR.

Di masa pandemi, pembelajaran dilaksanakan secara daring, sehingga seorang guru dituntut mampu untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. 

Penulis untuk menghilangkan kejenuhan siswa lebih lama berada di rumah, dibanding sebelumnya. Menggunakan pembelajaran audio visual melalui channel youtube dalam bentuk animasi. 

(Pembelajaran menggunakan Video Animasi oleh Penulis melalui Chanel youtube (Dokpri/Riduannor Official))

Mengajak berdiskusi, bertanya jawab, sehingga anak dengan pembelajaran tersebut merasa senang. Pembelajaran menggunakan berbagai aplikasi Online seperti Whatsaap, Classroom, google meet, Zoom meeting, dan juga melalui YouTube.

Memang pemberian PR, kepada anak yang kodrat zaman sekarang berada pada titik perkembangan teknologi, dan informasi begitu cepat. Peserta didik yang merupakan Generasi Z, terlahir di tengah kemajuan teknologi lebih cepat menangkap dan menyerap pembelajaran yang divariasikan ketimbang pemberian PR.

Hal-hal yang baru, aplikasi belajar online, serta aplikasi pendukung lainnya seperti menggambar melalui Canva. Berdasarkan pengalaman penulis sangat digemari oleh siswa.

Dan secara khusus penulis juga mengembangkan bakat anak yang suka menggambar melalui kelas aplikasi Canva, yang dilaksanakan seminggu sekali. 

Siswa sedang berdiskusi dengan teman sebangku di Sekolah penulis (Dokpri)
Siswa sedang berdiskusi dengan teman sebangku di Sekolah penulis (Dokpri)

Memang, pemberian PR sudah mulai ditinggalkan oleh negara-negara yang lebih maju pendidikannya di atas Indonesia. 

Penguatan Merdeka belajar, yang dicanangkan oleh Mendikbud Ristek, beberapa waktu yang lalu, sebenarnya ingin mewujudkan cita-cita Ki Hajar Dewantara, yaitu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Apakah Indonesia, masih mempertahan pemberian PR yang dibawa pulang ke rumah? Saya rasa jawabannya adalah, apakah kita ingin mewujudkan pemikiran dan dasar pendidikan yang diinginkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang pandangan pilosofinya jauh ke depan melampaui zamannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun