Berbagai alasan dikemukakan berkenaan PR yang dikerjakan di rumah dihapus. Dari alasan, membuat anak merasa lelah, tertekan, tidak aktif, bahkan stres karena beban tugas yang diberikan guru dibawa ke rumah. Apa benar demikian? Lewat tulisan ini, saya akan menguliknya dari segi kacamata seorang guru.
Pemberian PR bagi anak yang dibawa ke rumah berupa soal-soal latihan, mengerjakan LKS, dari beberapa buku paket tidak selamanya menimbulkan masalah pada anak. Sebab, ada anak yang senang diberi PR dan selalu meminta PR pada guru. Biasanya anak yang kategori pintar dan juara di kelas. Tapi kebanyakan anak, lebih senang tidak ada tugas yang dikerjakan di rumah. Katanya bisa santai, bisa bermain di rumah, dan main game.Â
Itu jawaban polos dan jujur anak, ketika saya berikan pertanyaan, "Apa mau diberikan PR atau tidak di rumah?"Â
Selama pandemi covid-19, anak belajar dari rumah.Guru memberikan tugas yang diselesaikan melalui aplikasi pembelajaran jarak jauh yang dikirimkan melalui WA maupun Classroom untuk dinilai oleh guru.
PR banyak dikerjakan Orang Tua Murid?
Pemberian PR kebanyakan disenangi oleh orang tua. Apa sebab?
Orang tua di rumah yang mempunyai waktu yang banyak dan luang, bisa mengevaluasi belajar anak dengan cara membantu anak mengerjakan soal latihan atau tugas yang diberikan guru.
Masalahnya, PR yang dikerjakan orang tua tanpa membimbing anak belajar di rumah (dengan harapan anak mendapatkan nilai yang bagus) bahkan jawabannya benar semua, saat guru meminta anak tersebut mengerjakan kembali soal tersebut, si anak tidak bisa menjawab.
Dilema PR bagi anak
Pertanyaannya, "Apakah PR bermanfaat atau malah berbahaya bagi perkembangan anak?" Tren penghapusan PR bagi anak, bukan hanya terjadi di Surabaya. Tapi sudah menjadi tren pendidikan di mancanegara. Kok bisa seperti itu?
Seorang ahhli perkembangan anak, berkomentar pedas tentang pemberian PR oleh guru di sekolah.Â
Alfie Kohn, pengarang buku terlaris "The Homework Myth", yang pernyataannya tersebut di muat Athlantic Monthly.