Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Musim Hujan di Desa Ini

8 Oktober 2022   22:34 Diperbarui: 13 Oktober 2022   22:02 1901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyemai bibit tanaman (Unsplash/Sandie Clarke)

Selepas senja Mang Ujun dan istrinya berkunjung ke rumah Pak Mufid. Baru saja, pintu pagar rumah di bukanya, hujan turun dengan derasnya. Buru-buru mang Ujun dan istrinya menuju teras rumah, dan mengetuk rumah Pak Mufid.

"Assalamualaikum, pak guru" salam Pak Ujun sambil mengetuk pintu. 

Kedua suami isteri itu memang biasa berkunjung ke rumah pak guru Mufid. Ibu Ujun biasa, mengambil upah mencuci baju. Di balik pintu, seorang laki-laki membukakan pintu, sambil menjawab salam Pak Ujun.

"Walaikum salam, silahkan masuk Pak Ujun", ucap Pak Mufid sambil tersenyum pada keduanya. 

"Diteras saja Pak Mufid, sambil mengobrol" sahut Mang Ujun sambil duduk di kursi rotan yang ada diteras rumah.

"Tunggu sebentar Mang Ujun, dibuatkan kopi. Sambil ngobrol rasanya kurang seru kalau tidak ditemani secangkir kopi dan singkong rebus" timpal Pak Mufid.

*** 

Bu Ujun sambil membantu isteri Pak Mufid melipat pakaian, keduanya juga terlibat percakapan. Pak Mufid ke dapur, membuatkan kopi dan membawanya ke teras depan.

Sepiring singkong rebus juga menemani keduanya. Asap mengepul di sela-sela singkong rebus, pertanda baru diangkat dari kukusan. Pak Mufid memberikan rokok kretek yang dilinting kepada Mang Ujun. 

Keduanya tengah asik duduk santai dikursi rotan sambil menikmati derasnya guyuran hujan. Hampir 6 bulan desa ini kemarau melanda. Anak sungai yang ada di desa ini sudah kering kerontang, tidak ada setetes air pun terlihat disela-sela batu sungai.

Warga desa setiap hari mengangkut air berjalan kaki puluhan meter ke anak sungai yang ada mata air di desa sebelah. Tidak ada pompa air bersih di desa ini. Karena mesin penarik air yang dialirkan ke desa ini sudah rusak setahun yang lalu.

***

"Alhamdulilah mang Ujun, hujan turun" ucap Pak Mufid sambil menghisap sebatang rokok kretek lintingan.

"Iya Pak Mufid, warga setiap hari hanya disibukkan mengangkut air. Tanaman dan sayuran pun banyak mati, kekurangan air" sahut Mang Ujun sambil menikmati sepotong singkong rebus.

Sumur yang berada di depan rumah dinas guru tersebut, juga mulai terisi air hujan. Semalaman hujan turun dengan deras. Gentong dan drum-drum penampung air di rumah warga terisi penuh. 

Pak Mufid dan Mang Ujun mengobrol ngarul-ngidul sampai jauh malam. Keduanya, selalu mengucap syukur dengan turunnya hujan yang deras.

Hujan bagi warga di desa ini, bagaikan barang mewah yang turun dari langit. Kemarau panjang, hampir 6 bulan menghampiri desa ini. Tanaman warga kampung, sulit untuk tumbuh dengan baik. Banyak yang mati, sebelum dipanen.

Pepohonan dan semak belukar yang tumbuh liar di sekitar jalan desa ini, penuh dengan debu. Panas sangat menyengat di siang hari. Angin yang bertiup pun di siang hari terasa pengap.

***

Hewan ternak yang dipelihara warga pun gelisah, dan kepanasan berada di kandang. Bebek pun tak punya air buat berenang. Sekarang hujan pun turun membasahi bumi kerontang tersebut dengan derasnya.

Kodok pun bersorak sorai, bersahutan menyambut datangnya hujan. Hewan liar diluar sana, seakan bergembira. Kemarau panjang yang menimpa desa ini akhirnya berlalu.

Desa ini biar dilanda hujan semalaman, tidak akan mengalami banjir. Karena kontur alamnya yang berada di tengah bukit berbatuan. Kiri kanan desa, dipenuhi kekayuan karet yang lebat, menjadi penyangga dan pengikat air yang mengalir deras dari lereng-lereng perbukitan.

Tidak jauh dari rumah pak Mufid, sekitar 200 meter ada sebuah danau yang cukup besar di belakang rumah pak Warnoto. Danau itu selama musim kemarau, juga menjadi kering. 

Semalaman hujan, danau tersebut penuh kembali terisi air. Seakan danau itu menjadi waduk alami di desa ini. Bila musim hujan menjadi penyangga penampung air yang datang dari berbagai lereng bukit yang mengelilingi desa ini. 

***

Menyemai bibit tanaman (Unsplash/Sandie Clarke)
Menyemai bibit tanaman (Unsplash/Sandie Clarke)

Para petani di desa ini tersenyum dan bergembira penuh suka cita. Mereka memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada Tuhan yang telah menurunkan hujan di desa ini.

D ibilik-bilik rumah yang berlentera lampu minyak tanah, warga desa bercengkerama bersama keluarga. Para orang tua sibuk menadahkan air yang mengalir dari genteng-genteng rumah, membuat pancuran air ke drum-drum kosong di rumah mereka.

Pak Mufid dan Mang Ujun, mengatur rencana bertanam kacang panjang, yang bisa menghasilkan buah yang banyak di musim penghujan. Sejak kemarau mereka sudah menyiapkan turus-turus kacang, yang diambil dari ranting pohon karamuting yang tumbuh liar di sekitar hutan di desa ini.

Turunnya hujan dengan deras di desa ini menjadi berkah buat semua warga. Mereka dapat mempunyai persediaan air yang banyak ketika musim hujan. 

Bisa bertanam sayuran, dan menyemai bibit di gundukan tanah yang keras, menjadi lembut dan subur karena tersiram air hujan. Tanah hitam berhumus tidak mengeras lagi, lahan-lahan di pekarangan dan samping rumah warga bisa produktip lagi. 

Hewan ternak pun bisa berenang dengan riang gembira di danau yang terletak dibelakang rumah pak warnoto. Bebek peliharaan pak warnoto tidak kekurangan air lagi (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun