Ketika masih di SMA, saya pernah beberapa kali mengirim tulisan ke redaksi surat kabar lokal, berupa tulisan opini dan kolom pembaca. Pernah, dua kali di muat di ruang opini, ataupun kolom tulisan pembaca. Selebihnya, tidak pernah di muat.Â
Penulis, di era mesin ketik, menjadi sesuatu yang mewah. Hanya orang tertentu, yang memiliki mesin ketik. Bagi saya waktu itu, mempunyai sebuah mesin ketik hanya ada di angan-angan.
Untuk menulis sebuah artikel yang dikirimkan ke Surat kabar lokal, saya meminjam mesin ketik teman, yang merupakan orang berada. Seorang anak, yang orang tuanya bekerja di Kantor Depag.Â
Beberapa penulis novelis terkenal, menjadi idola dan menginspirasi, diantaranya Gola gong, Hilman Hariwijaya seorang penulis cerita bersambung (Cerbung) di Majalah HAI, berjudul "LUPUS".
Tulisan Hilman, kemudian dibukukan, menjadi sebuah novel beberapa judul. Dan sampai bombastis dan meledak, setelah di angkat ke layar lebar.
Banyak trend rambut Lupus, menjadi gaya anak muda, pada waktu itu. Dengan rambut, bagian belakang dibiarkan panjang, istilah anak muda buntut, dan dibagian depan dibiarkan panjang, seperti rambutnya tokoh superhero, Superman.
Dan ciri khasnya, selalu mengunyah permen karet. Sungguh menjadi idola anak remaja, tahun 80 dan 90-an. Dan saya masih ingat, bangku guru menjadi korban, ditempeli sisa permen karet, yang habis manisnya dikunyah. Dan ampas permen karet ditempelkan, dibangku guru dan teman.
Begitulah, hobby sebagai penulis adalah hobby yang mewah, dan tidak semua bisa menekuninya dan bisa menerbitkannya di surat kabar lokal, ataupun dipenerbitan buku.
Untuk tetap menjaga hobby menulis, paling banter menulis di buku diary. Baik puisi, ataupun cerita perjalanan, hanya dituliskan di lembar demi lembar sebuah Diary harian.
Ketika zaman berubah, pintu era digital terbuka, siapapun sekarang bisa menuangkan sebuah tulisan lebih mudah. Bisa melalui laptop, tablet, ataupun hanya di sebuah hp.Â