Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membaca Kenangan "Ada Banyak Rindu di Bandung," (Bagian-2)

14 Juni 2022   16:00 Diperbarui: 15 Juni 2022   04:53 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul novel, diolah menggunakan aplikasi canva (Dokpri)

Episode : Rendezvous

Baru, lima bulan, aku menjadi guru di kota kelahiranku. SK Mutasi, baru terbit di awal tahun 1998. Hampir 11 tahun, aku jadi guru perintis di kota kecil, yang kemudian ditugaskan dengan nota dinas di sebuah desa sunyi. Yang berjarak ratusan kilometer, dari ibukota.

Kini, semuanya tetap menjadi catatan terindah sepanjang hidupku. Karena, disanalah aku pertama kali mengenal dirinya. Seorang gadis yang baik, ramah, mempunyai senyuman yang indah. Dan warna suara yang khas. Dan siapapun yang mendengarnya, pasti dengan cepat mengenalnya.

Berbicara dengannya, tak pernah bosan. Dan selalu saja, ada bahan yang diceritakan. Seakan aku telah mengenalnya begitu lama. Dia KKN, dengan beberapa temannya, terdiri tiga orang prempuan, dan dua orang pria. 

Dia, dan bersama temannya, tinggal disebuah kampung yang terdekat dari tempatku tinggal, di desa sunyi. Sunyi, karena tidak ada lampu listrik,  baik siang dan malam. Dan penduduknya juga disiang hari kekebun, bertani, di lahannya masing-masing.

Bila malam, lampu tembok, layaknya lampu kapal. Ataupun kaleng susu yang di kasih sumbu kompor untuk penerangan. Air pun susah, perlu satu kilometer, jalan kaki untuk mengangkut air dengan cara  dipikul. 

Karenanya, dia bersama temannya memilih desa terdekat, walaupun jumlah penduduknya lebih sedikit. Tapi masih lumayan, kalau malam ada penerangan sampai jam 12 malam.  Dan bisa nonton tv di rumah Pak lurah. Siaran di tangkap menggunakan parabola.

Rumah pak lurah, bila beranjak senja. Mesin Dumping, dihidupkan, yang terletak dibagian belakang rumah Pak lurah, sebagai penerangan desa. Terlihatlah, kehidupan di malam hari. Semua warga berkumpul, dirumah pak lurah. Layaknya menonton dibioskop. Rumah penuh berdesakan.

Ht, bersama teman sesama KKN, juga berbaur dengan warga nonton tv disana. Selama mereka KKN, tinggal dirumah Pak Masir, yang juga guru di desa sunyi. Dia bolak balik mengajar setiap hari, naik motor butut, tanpa rem. Lumayanlah daripada jalan kaki. 

Bila pagi, kesekolah, Ht, diantar Pak Masir bolak-balik bergantian. Bila sore hari, selama ht, KKN di desa pendekat, Aku pun ikut bermalam disana, diminta oleh Ht, dan temannya. Untuk menemani mereka, selama KKN di desa pendekat, yang merupakan tempat tinggal Pak Masir.

Memang bagi orang yang terbiasa, tinggal di kota. Sangat terasa perbedaannya. Bila malam, setelah mesin lampu mati, desa sangat gelap gulita, dikelilingi hutan, dan kekayuan yang besar. Bisa membuat mereka sulit memejamkan mata di malam hari. 

Akupun, selama mereka KKN, selalu menginap disana. Kadang dijemput, Pak Masir dengan motor bututnya. Terkadang, aku jalan kaki, menuju kesana. Cerita mistis, dan sunyinya ditempat mereka KKN, bila lampu telah dipadamkan. Bagiku dan Pak Masir, hal yang biasa. 

Seiring waktu, keakraban tercipta diantara kami. Temannya bercerita, tentang Ht. Dia terlahir, dilingkungan keluarga yang berada. Mapan, dari segi ekonomi. juga dimanja dilingkungan keluarga, karena anak bungsu dari tujuh bersaudara, semua prempuan.

Seakan, cerita tujuh bidadari, dan dia adalah yang ketujuh. Sebagai anak yang terbiasa serba ada, di tengah kota, harus bisa menyesuaikan keadaan di desa pendekat, dan juga desa sunyi, yang serba keterbatasan. 

Sekitar enam bulan mereka KKN didesa pendekat, dan desa sunyi, yang merupakan wilayah kerjanya. Tapi kegiatan lebih banyak di desa pendekat, mereka membuat nama-nama jalan desa, membantu kegiatan posyandu yang diadakan ibu bidan desa. selebihnya mengajar di sekolahku. Sampai masa KKN mereka berakhir. 

Setelah, 11 tahun, segalanya berubah. Ht, mahasiswa KKN yang kukenal dulu, kini sudah bekerja sebagai PNS di kantor syahbandar, perhubungan laut. 

Sabtu sore, awan hitam menggelayut dilangit. Serasa tak sanggup lagi menahan, untuk menurunkan hujan. Aku tahu, ini adalah pertemuan pertamaku dengan Ht, setelah 11 tahun tak mendengar kabarnya. Aku berharap cuaca tetap cerah, dan tidak turun hujan malam ini. 

Namun, hujan turun dengan derasnya. Suara guntur pun bersahutan, di tengah kilatan petir malam ini. Aku jadi bimbang, apakah tetap berangkat kerumah ht, atau tidak. 

Tapi, aku tidak ingin mengecewakan ht, untuk kedua kalinya. setelah 11 tahun yang lalu, aku sudah membuat langkah yang salah. Ternyata ht, tetaplah ht yang bersahaja, perbedaan status yang menjadi halangan buatku, baginya itu bukanlah penghalang, untuk saling mengenal lebih dekat lagi.

Akupun memutuskan, tetap berangkat ditengah derasnya hujan malam ini, apapun yang terjadi diperjalanan. Selepas waktu magrib, aku berangkat menerobos derasnya hujan. Menggunakan mantel jas hujan, aku menuju rumah ht.

Sekitar, 15 menit perjalanan menuju rumah ht, akhirnya sampai juga. Rumah yang ditinggali sekarang, dari luar tampak sederhana saja. Dia tinggal, ditengah perumahan pegawai Dinas Kehutanan.  

Berbeda, kontras, dengan rumah yang kudatangi dulu, 11 tahun yang lalu yang berada di jalan P. Sebuah rumah mewah, yang dikelilingi pagar besi, dengan berjejer mobilnya di dalamnya. Layaknya rumah seorang pejabat.

Sedangkan rumah yang diberikan alamatnya melalui sms, jauh berbeda. Sebuah rumah ditengah lingkungan khusus pegawai kehutanan. Tidak ada pagar besi yang mengeliling rumah. Terlihat teras yang teduh, dibawah guyuran hujan. Dengan rumah terbuat dari kayu, bercat warna kuning muda, dipadu dengan warna putih. 

Aku bertanya-tanya didalam hati. Apa karena ht, sekarang juga pegawai negeri. Dan dia mendapatkan perumahan dinas, sebagai fasilitas tempat tinggal. Tapi diakan, bukan pegawai kehutanan, tapi pegawai perhubungan laut. 

Tapi, ah sudahlah. Nanti bisa kutanyakan, bila sudah bertemu dengannya. Aku memarkir motor, disamping garasi rumah, yang terletak didepan. Setelah melepas mantel, dan menaroh diatas jok motor, menutupinya dari hantaman derasnya hujan. Aku berlari kecil, menuju teras dalam rumah, yang dibatasi pagar kecil. 

Aku, melihat kearah dibalik gorden jendela pelapis, yang tersingkap. Tidak ada orang diruang tamu. 

"Tok..tok..tok, Assalamualaikum, " ucapku sambil mengetuk pintu. Kuulang beberapa kali, dan keluar seorang gadis kecil, membukakan pintu.

" Cari siapa om?," tanya gadis kecil tersebut.

"Ada mba ht, de?," tanyaku.

" oh, ada om, silahkan masuk om," sambut gadis kecil tersebut, sambil melebarkan pintu, dan mempersilahkanku masuk kedalam rumah.

Aku pun duduk dikursi ruang tamu. Ruang tamunya kecil dan sederhana. Didepan sebuah aquarium besar terpasang, dan tertata rapi. Walaupun kecil ruang tamu, tapi suasananya sangat nyaman. 

Mataku berkeliling menatap setiap sudut ruang tamu. Terlihat sebuah bingkai poto, yang memuat gambar seorang laki-laki, yang terlihat gagah, dan berwibawa. Apakah ini potonya bapaknya Ht?, kalau ia, pantas saja ht, sangat cantik, kulitnya putih. Berarti dia mengikuti kulit, dan wajah yang diturunkan dari bapaknya. 

Rumah ini terasa sepi, selain gadis kecil yang membukakan pintu tadi. Aku belum menemui seorangpun lainnya, yang menemuiku. Aku jadi grogi, karena berada sendiri di ruang tamu hampir setengah jam. 

Dan gadis kecil tersebut itupun, tidak kembali lagi keruang tamu, setelah membukakan pintu. Aku pun jadi bingung sendiri, apa yang nanti kuucapkan, bila ht bertemu denganku. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun