Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Membaca Kenangan "Ada Banyak Rindu di Bandung," (Bagian-1)

13 Juni 2022   18:58 Diperbarui: 13 Juni 2022   19:05 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampul novel, diolah menggunakan aplikasi Canva (Dokpri)

Rendezvous

Entah kebetulan, atau tidak. Kita bertemu di sebuah kampung yang sunyi, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Dirimu, KKN bak ke desa penari, kita berkenalan, dekat, namun selesai sampai disana. Tidak ada cerita setelahnya.  

11 tahun kemudian, kita bertemu di kota kelahiranmu dan diriku. Kota, dimana aku memulai tugasku yang baru. Setelah 11 tahun berteman kesunyian. Perjalanan, sendiri ditengah rantau. Tak satupun, yang bisa membuatku nyaman, melalui hari-hari perjalanan.

Seorang gadis, dengan senyuman yang ramah. Tatapan mata yang berbinar, tak pernah kulupakan, walaupun 11 tahun berlalu. Warna suaramu, yang begitu menyejukkan hati. Masih terekam dilubuk hati yang paling dalam.

Memang tidak ada janji, tidak ada harapan yang kuucapkan buatmu, waktu itu. Andaikan ada sedikit keberanian saja. Kuucapkan " tunggulah, aku dikota Samarinda, dan bila aku pulang kekota kelahiran, aku akan menemuimu,". 

Bahkan kalau ada sedikit keberanian saja, aku akan menjadikan bidadari dihatiku. Dan menemanimu sepanjang hari, dan kita menua bersama. Dalam suka dan duka. 

Tapi tak ada sedikit keberanianku untuk mengucapkannya. Walaupun, sebelum dirimu, pamit mengakhiri KKN didesaku bertugas, secarik kertas alamat dan nomor telpon rumah kamu berikan. 

Itulah satu-satunya kelemahanku, sebagai seorang guru. Yang berani berbicara didepan murid dengan lantang, menjelaskan materi pelajaran dengan fasih. Tapi urusan pribadi, tentang masa depan, tak ada kata-kata yang bisa dirangkaikan buatmu.

Kesendirian, tetap dilalui sendiri, tahun berganti tahun, sampai akhirnya aku mengajukan mutasi ke Kota Samarinda. 11 tahun bertugas di desa sunyi, tak satupun yang bisa menjadi pendamping hidup. 

Bukan tak membuka diri, bahkan aku datang kerumahmu, saat ku kembali kekampung halaman. Dan mencari alamatmu. Ketikaku berdiri disebuah pagar rumah mewah, dengan berbagai mobil berjejer didepannya, sebagai seorang guru yang bertugas dikampung. Aku mundur teratur.

***

Aku sendiri membuat kesimpulan, bahwa seorang guru yang bertugas di desa sunyi, tak pantaslah mengingini, seorang putri, diistana raja. Aku merasa seperti rakyat jelata, mengingini putri raja.

Tahun 1998 akhir, waktu itu, aku datang kerumahmu, dan berdiri didepan pagar. Kurobek nomor telpon tersebut, dan kubuang begitu saja. Dengan begitu, aku bisa melupakan, harapan yang kamu berikan. Dan berharap tak bertemu lagi. 

Sampai tahun 2009, sebuah panggilan telpon tak dikenal di hp, berbunyi. Beberapa kali no.hp itu memanggil tak kuangkat.  " Ah, paling orang salah sambung aja, atau telpon penipuan yang mengaku-ngaku dari bank, atau dari operator yang mengasih hadiah, " pikirku saat itu.

Hingga, sampai di Jum'at sore, di bulan Mei 2009, suara yang kukenal 11 tahun lalu, terdengar lagi diujung telpon sana. 

" Pak Riduan ya, apa kabar pak?, masih ingat saya pak?," sapanya membuka pembicaraan ditelpon. 

Aku terdiam sesaat, warna suaranya, tak pernah hilang dihatiku. Bak sebuah rekaman yang tersimpan dimemori hati. 

" Masih, masih ingat, ini Ht, ya?," tanyaku sesaat, sambil mengingat.

" Iya, Pak, kenapa gak kerumah pak, kan Ht, sudah kasih alamat, juga ada nomor Hp?," tanyanya lagi.

" Iya, ada, cuman hilang kertasnya. Waktu di trans (Sebutan daerah transmigrasi), entah keslip dimana, pas bersih-bersih. Sempat juga mencari alamat rumahmu, cuman gak ketemu. Karena tidak ada alamatnya yang pasti. Mau nelpon juga nomor telpon rumahnya hilang bersama alamat tersebut," jelasku menutupi.

" Ya Allah, Pak, kenapa bisa begitu. Ht, menunggu banget. Bapak, bisa datang, dan jalan-jalan kerumah. Masa sampai 11 tahun tidak ada kabar, apa-apa?," kata ht lagi diujung telponnya. 

Aku merasa bersalah. Rupanya 11 tahun, aku tetap ditunggu. Si putri cantik, di istana megah, tetap berharap bisa bertemu.  Si rakyat jelata, anggapan diriku, tak patut bertandang ke istana, yang dikelilingi pagar besi. Niat memencet bel pun, tak kulakukan. Padahal, selangkah lagi, waktu itu aku bertemu Ht.

Aku pun mengalihkan pembicaraan. Ditengah ketidak percayaanku, kalau suara di hp ini adalah dia. Yang dulu bertemu denganku, didesa sunyi. 

" Sudah punya anak berapa de?," tanyaku. 

" hehehe, belum Pak, ht, belum berkeluarga, masih sendiri?," jawabnya.

Aku tambah terdiam, serasa tak bisa berkata-kata lagi. Biasa wanita, kalau sudah berumur, tak mungkin masih sendiri. Aku beranikan diri bertanya lagi.

" Kenapa belum berkeluarga?, sekarang kerja dimana?," dua pertanyaan, langsung kuberikan. Dulu, waktu bertemu masih mahasiswa yang KKN, dari Universitas terkenal di kotaku. Dengan Jurusan Fakultas Pertanian (Faperta).

" Ya, belum ada jodohnya Pak, kalau kerja, sekarang ht, kerja di Syahbandar. Di perhubungan laut," jawabnya.

" Oh, berarti sekarang PNS dephubla ya de?," Kok bisa, dari kuliah di faperta, kerja di perhubungan laut, di syahbandar. Gak nyambung banget de?," tanyaku lagi.

"Iya Pak, ht, PNS golongan IIB, karena diangkat cpns menggunakan ijazah SMA, bukan menggunakan ijazah S1," Jelasnya lagi.

"Dari mana dapat no.Hp-ku de?," tanyaku penasaran.

" Ada deh,oh ia Pak, malam minggu, bapak ke rumah saya ya?, saya sekarang tinggal di Meranti. Nanti saya sms kan alamatnya. Oke Pak, Ht, tunggu ya?,  nanti ht, ceritakan semuanya, Oke Pak, Assalamualaikum,".

tut..tut..tut..," telpon diputus.

Aku sekan tidak diberi kesempatan beralasan, untuk menolak ataupun menyetujuinya. Karena telpon langsung diputus begitu saja. Yang ada, aku harus kerumah malam minggu nanti. 

Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan. Tapi dirinya, tak mau melanjutkan percakapan. Aku berusaha, mengatur suasana hatiku yang tak karuan. Ada senang, ada juga rasa penyesalan. Ada juga rasa bersalah. Campur aduk jadi satu, tak bisa kucari jawabannya.

Hatiku jadi tak menentu, sang putri, yang bertemu didesa sunyi, tempatku bertugas, ternyata dipertemukan kembali di kota ini. Dalam waktu 11 tahun, tentu banyak yang berubah. Tapi ada apa Ht, belum menemukan teman hidupnya.

Pertanyaan yang benar-benar mengganggu pikiranku, andaikan waktu itu aku ada sedikit keberanian saja untuk bertemu. Melawan rasa minder seorang guru, yang bukan siapa-siapa. Guru kampung, yang merasa tak pantas berteman dengan seorang gadis yang serba ada. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun