Aku sekan tidak diberi kesempatan beralasan, untuk menolak ataupun menyetujuinya. Karena telpon langsung diputus begitu saja. Yang ada, aku harus kerumah malam minggu nanti.Â
Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan. Tapi dirinya, tak mau melanjutkan percakapan. Aku berusaha, mengatur suasana hatiku yang tak karuan. Ada senang, ada juga rasa penyesalan. Ada juga rasa bersalah. Campur aduk jadi satu, tak bisa kucari jawabannya.
Hatiku jadi tak menentu, sang putri, yang bertemu didesa sunyi, tempatku bertugas, ternyata dipertemukan kembali di kota ini. Dalam waktu 11 tahun, tentu banyak yang berubah. Tapi ada apa Ht, belum menemukan teman hidupnya.
Pertanyaan yang benar-benar mengganggu pikiranku, andaikan waktu itu aku ada sedikit keberanian saja untuk bertemu. Melawan rasa minder seorang guru, yang bukan siapa-siapa. Guru kampung, yang merasa tak pantas berteman dengan seorang gadis yang serba ada. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H