Aku sendiri membuat kesimpulan, bahwa seorang guru yang bertugas di desa sunyi, tak pantaslah mengingini, seorang putri, diistana raja. Aku merasa seperti rakyat jelata, mengingini putri raja.
Tahun 1998 akhir, waktu itu, aku datang kerumahmu, dan berdiri didepan pagar. Kurobek nomor telpon tersebut, dan kubuang begitu saja. Dengan begitu, aku bisa melupakan, harapan yang kamu berikan. Dan berharap tak bertemu lagi.Â
Sampai tahun 2009, sebuah panggilan telpon tak dikenal di hp, berbunyi. Beberapa kali no.hp itu memanggil tak kuangkat. Â " Ah, paling orang salah sambung aja, atau telpon penipuan yang mengaku-ngaku dari bank, atau dari operator yang mengasih hadiah, " pikirku saat itu.
Hingga, sampai di Jum'at sore, di bulan Mei 2009, suara yang kukenal 11 tahun lalu, terdengar lagi diujung telpon sana.Â
" Pak Riduan ya, apa kabar pak?, masih ingat saya pak?," sapanya membuka pembicaraan ditelpon.Â
Aku terdiam sesaat, warna suaranya, tak pernah hilang dihatiku. Bak sebuah rekaman yang tersimpan dimemori hati.Â
" Masih, masih ingat, ini Ht, ya?," tanyaku sesaat, sambil mengingat.
" Iya, Pak, kenapa gak kerumah pak, kan Ht, sudah kasih alamat, juga ada nomor Hp?," tanyanya lagi.
" Iya, ada, cuman hilang kertasnya. Waktu di trans (Sebutan daerah transmigrasi), entah keslip dimana, pas bersih-bersih. Sempat juga mencari alamat rumahmu, cuman gak ketemu. Karena tidak ada alamatnya yang pasti. Mau nelpon juga nomor telpon rumahnya hilang bersama alamat tersebut," jelasku menutupi.
" Ya Allah, Pak, kenapa bisa begitu. Ht, menunggu banget. Bapak, bisa datang, dan jalan-jalan kerumah. Masa sampai 11 tahun tidak ada kabar, apa-apa?," kata ht lagi diujung telponnya.Â
Aku merasa bersalah. Rupanya 11 tahun, aku tetap ditunggu. Si putri cantik, di istana megah, tetap berharap bisa bertemu. Â Si rakyat jelata, anggapan diriku, tak patut bertandang ke istana, yang dikelilingi pagar besi. Niat memencet bel pun, tak kulakukan. Padahal, selangkah lagi, waktu itu aku bertemu Ht.