Jurnalis Amerika, Neil Postman pada era 1990-an telah menuliskan sebuah buku yang menggemparkan. Melalui karya berjudul Anak yang Hilang, dia mencoba menggambarkan tentang kondisi sosiologis hilangnya masa kanak-kanak di Amerika Serikat. Postman melukiskan, bagaimana media virtual mampu menggerus serta membawa paradigma yang tidak sehat bagi anak-anak. “Kanak-kanak sekarang adala manusia dewasa yang berwujud kecil,” tulis Neil Postman.
Pada hari ini, rupanya anak-anak Indonesia juga mengalami gejala serupa. Tidak mengherankan, jika kita melihat anak-anak muda Indonesia tidak lagi bangga dengan tanah airnya. Meski kita selalu memiliki dan memiliki Hari Anak Nasional yang selalu diselenggarakan pada 23 Juli, namun tidak ada pihak yang pasti bertanggung jawab atas kehilangan masa kanak-kanak saat ini.
Bagi generasi 90-an, kita masih mendengar dan mengalami berbagai permainan yang berasal dari kekayaan bangsa. Desa adalah referensi utama kekayaan budaya bangsa. Desa masih menyimpan imajinasi permainan yang menyenangkan, mulai dari bermain kelereng, panggal, petak umpet, layangan, galah, gobah sodor, serta lainnya. Saat ini, anak-anak Indonesia seolah hanya memiliki referensi pengalaman masa kecil, dengan bermain gadget, game online, serta model game virtual lainnya.
Semakin memprihatikan kita, Anak-anak Indonesia memiliki referensi permainan kanak-kanak, justru berasal dari negara tetangga. Seperti kita ketahui, serial kanak-kanak yang paling menggebarak pasar Indonesia: Upin-Ipin. Serial yang dibintangi dua anak botak ini seringkali menampilkan imajinasi anak-anak dan permainan desa. Bagi generasi kita (90-an), hal tersebut semacam nostalgia. Namun bagi anak-anak Indonesia saat ini, mereka merasa asing dengan berbagai permainan itu. Asing dalam artian, anak-anak Indonesia menganggap hal tersebut sebagai permainan asal Malaysia. Indonesia tidak memilikinya.
Seperti yang dialami oleh beberapa anak di desa Saripan, Makamhaji, Solo. Beberapa waktu, kami sering memperhatikan bagaimana anak-anak bermain di sekitar Kos. Meski kecenderungan permainan virtual masih ada, kita patut bersyukur bahwa, sebagian besar anak-anak di desa ini masih mempraktekan permainan-permainan ala Desa. Mereka adalah anak-anak yang masih belum direbut masa bermainnya.
Krisis Identitas
Namun, anehnya, bagi sebagian mahasiswa yang kos di sekitar lingkungan tersebut merasa sedih dan miris. “Ya, saya sangat merasa sedih dan miris dengan mereka mas,” papar Syauqi. Paling mengagetkan adalah, pada saat permainan petak umpet, anak-anak diwajibkan untuk berbagi peran. Namun, masing-masing peran tersebut justru disesuaikan dengan tontontan mereka di Upin-Ipin. Cara menghitung, bermain peran, serta pendalaman karakter berkiblat kepada serial animasi dari Malaysia tersebut. Sama sekali, mereka tak memiliki imajinasi Indonesia dalam permainan tersebut.
Peran Jarjit yang sering berpantun, Ismail yang hobi berdagang, Mei-Mei yang cerewet, Ihsan yang hobi makan, merupakan gambaran penuh imajinasi mereka. Juga dengan referensi permainan lain, seperti bermain kelereng, masak-masak dan galah. Tidak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa permainan tersebut sebenarnya, berasal dari Indonesia. Permainan yang berkembang di desa.
Pantas sebenarnya, kita disebut sebagai bangsa yang tak pernah menghargai kekayaan budaya sendiri. Lantas, setelah berbagai kekayaan budaya kita diklaim sebagai miliki orang lain, barulah kita bereaksi dan timbul rasa ‘sok nasionalisme’ yang dalam. Kita tidak pernah berfikir bahwa hal tersebut, merupakan buah dari kecerobohan yang kita buat sendiri.
Nah, rupanya, kerpihatinan tersebut ditindaklanjuti oleh beberapa mahasiswa tersebut. Mahasiswa yang memiliki idealisme yang sama kemudian berkumpul dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Pondok Shabran. Program ini diberinama ‘Gerakan Anak Indonesia, Menjemput Imajinasi Desa’. Program tersebut tidak lain bertujuan untuk membawa anak-anak Indonesia menuju jati dirinya. Sebuah pengalaman tentang imajinasi desa beserta kekayaan permainan, hikayat serta budaya lainnya.
Kesepakatan mereka menunjuk Syauqi sebagai koordinator program ini. Sedangkan, 10 anggota lainnya bertugas untuk mendapat jumlah anak yang berada di lingkungan tersebut, serta kiranya mampu dijangkau melalui program ini. Segmentasi yang dituju adalah anak berusia 5-10 tahun. Masa-masa seperti itu bagus untuk kita didik seperti ini.
Usai melihat fakta dan survei terawal, mereka berkumpul untuk merumuskan berbagai hal yang dibutuhkan, dicari, serta bagaimana solusi untuk mencukupinya. Tidak perlu banyak benda, kita cari saja yang berada di sekitar kita. Sekarang, kita hanya perlu konsep yang matang.
Nah, setelah disepakati usulan tersebut, satu persatu dari anggota, memberikan imajinasi-imajinasi kecil mereka secara lengkap. Karena notabene, anggota tim ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa, Sunda (Jawa Barat), Sumatera, Nusa Tenggara Barat, bahkan Sulawesi. Hal yang terpenting, agar lebih difokuskan kepada macam permainan, serta cerita-cerita yang berkembang pada masa tersebut.
Indonesia itu Kaya
Hasilnya luar biasa. Ternyata desa-desa di Indonesia sangat kaya sekali dengan berbagai permainan serta cerita/hikayatnya. Tentunya akan semakin banyak lagi jika kita mendapatkan referensi dari budayawan setempat. Pada kali ini, kita hanya diwakili oleh mahasiswa yang berasal dari daerah tersebut saja, yang tentunya hanya sebagian imajinasi kecil yang dihasilkan. Kan tujuan Gerakan Anak Indonesia, Menjemput Imajinasi Desa bukan penelitian.. Persiapan program ini dirasa cukup, setelah terkumpul sekitar 30 permainan serta 40-an cerita yang telah diseleksi berdasarkan hasil kesepakatan.
Ketika anak-anak telah berhasil dikumpulkan, kita menyepakati waktu setiap minggu di Sabtu sore untuk diselenggarakannya program ini. Para anggota program Gerakan Anak Indonesia, Menjemput Imajinasi Desa menyelenggarakan permainan yang akan diikuti oleh anak-anak tersebut. Setelah permainan selesai, anak-anak diakrabkan kembali dengan nilai-nilai budaya yang terkandung dari berbagai permainan tersebut, dalam bentuk cerita kanak-kanak. Terkadang, masih banyak anak-anak yang ketakutan mendengarkan cerita karena Indonesia kan terkenal dengan cerita takhayulnya.
Meski terasa sederhana, nampaknya cara seperti ini masih sangat relevan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada anak Indonesia. Anak-anak dibawa untuk kembali menjemput hak atas imajinasi kekayaan tanah air mereka; kekayaan desa. Tentang masa kanak-kanak di Indonesia yang sudah sangat kaya, dengan kreasi dan cara mengekspresikan kehidupan pada masa lalu.
Seperti yang dialami Afan, dengan usia 6 tahun dia bisa dibilang merupakan peserta yang paling disenangi. Selain karena tingkah polosnya yang terkadang sangat menghibur, dia merupakan peserta yang paling semangat untuk mengikuti berbagai permainan. Setiap sesi cerita dimulai, Afan selalu berada di barisan paling depan untuk mendengarkan acara tersebut. Antusias Afan membuat panitia selalu bersemangat untuk semakin meningkatkan kreatifitas dan semangat penyelenggaraan acara tersebut.
Afan sudah mulai paham beberapa cerita berbentuk fabel, seperti tentang kancil dan monyet, serta berbagai hal lainnya, itu berasal dari tanah airnya sendiri, karena saat mahasiswa bercerita selalu menggunakan kontenstualisasi dengan daerah tertentu, terutama desa. Namun begitu, kendala juga ternyata banyak ditemui dalam kegiatan ini. Antusias anak-anak pun menjadi sangat fluktuatif, karena beberapa permaian yang sama sekali tidak dimengertinya, atau cerita yang tidak menarik untuk didengarkan.
Kadang-kadang mahasiswa banyak tugas jadi cuma beberapa aja yang konsisten untuk mengikuti acara ini. Kita harus jaga idealisme. Kendala dana pun dapat menjadi ujian karena acara ini murni tidak—atau belum—mendapatkan sumber dana dari pihak ketiga, baik dari pemerintah maupun CSR dari perusahaan.
Bekas jadi Berkah
Kemudian, kendala yang paling mendesak agar segera secara cepat mendapatkan sumbangan dana, adalah kebutuhan lapangan yang cukup luas. Seiring dengan bertambahnya anggota dalam Gerakan ini, kendala lahan pun tidak luput dari perhatian, terutama pada pengelolaan desa yang sudah menjurus kepada daerah perkotaan, sangat sulit mendapatkan lapangan yang cukup luas untuk bermain anak-anak.
Panitia harus bekerjasama untuk menggunakan fasilitas lapangan umum dengan syarat membayar yang kebersihan. Tentunya, karena gerakan ini masih bersifat non-profit sehingga beberapa waktu ini mereka harus memutar otak kembali untuk sirkulasi tersebut. Mereka tidak mungkin untuk menarik iuran dari anak-anak karena itu akan menurunkan antusias mereka. Namun, mereka pun tidak selamanya bisa menalangi dana tersebut.
Oleh karena itu, kami di sini sangat tergerak untuk dapat membantu kelancaran Gerakan Anak Indonesia, Menjemput Imajinasi Desa ini. Demi terpecahkannya solusi dana tersebut, maka kami berniat untuk menjual sepeda kami dengan ID 132764638, yang akan kiranya laku sekitar Rp.500.000,-. Hasil dari penjualan tersebut akan kami sumbangkan kepada mereka agar mereka memiliki modal untuk dapat melanjutkan program tersebut, secara minimal adalah 3-4 bulan ke depan.
Kami tidak bisa membayangkan jika program ini harus berhenti. Karena program ini akan menuai hasil jangka panjang yang sangat baik. Jika diberhentikan, maka kita harus mengulang kembali dan sangat sulit kiranya untuk menebus dosa tersebut. Kami sangat ingin anak-anak Indonesia paham dengan berbagai seluk-beluk identitas kebudayaannya, bukan hanya sekedar meniru dari berbagai media massa yang terkadang sangat menjerumuskan. Oleh karena itu, saya merasa harus berperan untuk program ini, terutama saya mengenal baik beberapa aktivis mahasiswa yang menjalankan program ini.
Sekali lagi, bahwa program ini merupakan program jangka panjang. Keberkahan yang akan dituai merupakan hasil yang sangat memuaskan. Bekas jadi berkah sangat tepat kiranya untuk dapat diaplikasikan dalam gagasan program ini. Beberapa yang bisa kami sumbangkan untuk hal ini merupakan niat awal kami untuk dapat membantu prkembangan program ini, juga dengan ikut mengkampanyekan gerakan menjadi berkah. Kami pun akan memberi masukan kepada pengelola program ini agar menjadikan gerakan bekas jadi berkah ini menjadi acuan dan mekanisme kerja mereka agar mendapatkan sirkulasi keuangan yang mencukup, karena program ini akan berkembang dengan cepat dan sukses.
Sumbangan berapa besarnya pun kiranya dapat sangat membantu kelancaran program ini, mengingat memang kita harus mensupport secara penuh gerakan yang didukung dan digerakan oleh mahasisawa ini. Keberkahan telah menanti, bagaimana kita akan melihat anak-anak Indonesia lahir dan bertumbuh menjadi dirinya sendiri. Anak-anak Indonesia mampu menalar berbagai kekayaan budaya yang dimilikinya, tidak kemudian merasa infeior dengan negara lain. Itulah sebenanrya yang bangsa ini butuhkan dari kaum muda atau generasi Indonesia mendatang.
Generasi yang paham akan Indonesia pasti akan memberikan berkah yang lebih banyak lagi kepada masyarakat, terutama misalkan jika kelak mereka akan menjadi seorang pemimpin, maka mereka akan menggunakan imajinasi-imajinasi masa lalu untuk dapat mengaplikasikan berbagai program yang akan dijalankannya, terutama berkaitan dengan budaya bangsa. Sekali lagi, mohon maaf jika kesannya ini harus diulang-ulang karena memang saya benar-benar ingin berkontribusi dalam gerakan yang sangat baik ini, bahwa program ini adalah program jangka panjang. Mungkin memang efeknya hanya baru sebagian kecil dari wilayah Indonesia, namun patut kita ingat tentunya, bahwa Sukarno pun sebagai proklamator Indonesia berujar, Indonesia butuh sepuluh pemuda untuk dapat mengguncangkan dunia. Tentunya pemuda bukan asal pemuda, melainkan pemuda yang telah mengerti dan paham akan kekayaan bangsanya, serta mampu berbuat untuk menjaga hal tersebut.
Permasalahan Fundamental
Tidak banyak yang bisa kita lakukan saat ini. Kita perlu kembali memetakan berabagai permasalahan bangsa. Bahkan kita hampir luput dengan fakta-fakta yang menunjukan bahwa sebenarnya masalah paling krusial dan fundamental di Indonesia adalah mentalitas para generasi penerusnya. Apalah dikata, jika ternyata para generasi penerus Indonesia, tidak merasa bangga dengan negaranya sendiri bahkan tidak mengerti identitas kebangsaannya.
‘Gerakan Anak Indonesia, Menjemput Imajinasi Desa’ adalah cara yang patut diapresiasi. Bentuk kepedulian para mahasiswa tentang masa depan anak-anak saat ini. Peran pemerintah dan berbagai elemen masyarakat lain patut dinanti. Kita tentu tidak ingin menyakiskan Indonesia mati. Kita selalu ingin menyaksikan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berdikari. Semua dapat kita bangun dan atasi, jika kita menjadi manusia-manusia yang peduli. Paling tidak untuk sekedar keluarga pribadi. Mari kita mulai dari diri kita sendiri.
*Note: Sebenarnya untuk melengkapi tulisan dalam blog ini kami memiliki beberapa gambar namun kiranya kami memiliki kendala sehingga entah kenapa tidak berhasil. Mohon dimaklumi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H