Ketika saya mempelajari pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara tentang  pendidikan yang harus menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya, secara teori saya bisa menerima konsep itu.Â
Akan tetapi, dalam hati sebenarnya saya bertanya-tanya bagaimana langkah konkret untuk bisa menuntun kodrat setiap murid yang beragam itu? Itu adalah pertanyaan besar ketika saya belajar tentang konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara di awal proses mengikuti pendidikan guru penggerak di angkatan ke-6 ini.
Kini setelah saya mempelajari modul dua pendidikan guru penggerak yang berbicara tentang pembelajaran berdiferensiasi, kompetensi sosial emosional, dan coaching untuk supervisi akademik, saya bisa menangkap benang merahnya. Ada perasaan  senang yang muncul.
Menyelami setiap bagian modul pendidikan guru penggerak selalu merupakan sesuatu yang menantang. Saya merasa penasaran karena konsep-konsep yang ditawarkan benar-benar merupakan hal yang baru bagi saya. Meskipun beban kerja yang harus saya lewati tidak ringan, tetapi hal itu terbayar dengan pemerolehan ilmu yang baru dari proses pendidikan tersebut.
Pertanyaan tentang bagaimana seorang guru atau pamong menuntun segala kekuatan kodrat murid agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat mendapatkan jawaban konkret di modul dua ini. Penguasaan keterampilan coaching adalah salah satu jawabannya.
Coaching, Menuntun Mencari Solusi dari Potensi Diri
Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan.
Dalam proses coaching murid ataupun rekan sejawat diberi kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dalam mencari solusi. Namun demikian, Â pendidik sebagai pamong yang sedang berperan sebagai coach harus memberi tuntunan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif dan berbobot yang bisa memberdayakan murid atau rekan sejawat yang sedang menjadi coachee. Proses pengajuan pertanyaan yang menuntun tersebut dilakukan agar murid atau coachee tidak kehilangan arah yang membahayakan dirinya.
Apabila kita berhadapan dengan murid atau rekan sejawat yang sedang curhat dan mengungkapkan permasalahannya, kita harus bersikap netral. Coaching tidak berlangsung dalam suasana penuh prasangka, apalagi menghakimi.  Sebagai coach kita harus bisa mengarahkan pembicaraan dan menggali tujuan akhir yang diinginkan oleh coachee.
Selain itu, kita juga harus bisa mengarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan berbobot agar coachee bisa mengidentifikasi duduk perkara, latar belakang, hambatan, tantangan yang sedang dihadapi oleh coachee untuk menuntunnya menuju solusi atau tujuan akhir.
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun pula, kita harus mampu membimbing coachee untuk menetapkan rencana aksi atau tindakan konkret yang akan dilakukan. Langkah terakhir adalah memancing coachee untuk secara penuh berkomitmen atau mengambil tanggung jawab dalam merealisasikan rencana tindakan yang sudah ditetapkan sendiri olehnya. Proses dari mengidentifikasi Tujuan hingga ke komitmen mengambil Tanggung Jawab tersebut dinamakan alur TIRTA dalam coaching.
Salah satu kelebihan proses pendidikan guru penggerak ini terdapat pada proses atau siklus yang harus kita jalani ketika mempelajari sebuah modul, yaitu MERDEKA. Mulai dari Diri Sendiri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Demonstrasi Kontekstual,  Elaborasi Pemahaman, Koneksi Antarmateri, dan Aksi Nyata. Selalu ada konsep atau teori dan praktik atau aksi nyatanya. Prosesnya sangat selaras dengan konsep pembelajaran diferensiasi.
Dalam mempelajari coaching ini pun demikian. Selain mempelajari berbagai konsep dan teori tentang coaching, saya juga melakukan praktik atau aksi nyata. Ketika saya mencoba mempraktikkan proses coaching dengan sesama calon guru penggerak dalam satu kelas, meskipun masih dalam proses uji coba, namun saya bisa merasakan kelegaan ketika menjadi coachee dan bisa curhat serta dituntun untuk menemukan solusi.
Namun demikian, ketika saya berubah peran menjadi coach, ternyata tidak mudah mendengarkan secara saksama apa yang diungkapkan oleh coachee dan menangkap kata-kata kunci dari keseluruhan proses pembicaraan. Padahal kemampuan menangkap kata kunci tersebut merupakan landasan untuk membuat pertanyaan berbobot yang bisa menuntun coachee dalam menyelesaikan permasalahannya.
Akan tetapi, kedewasaan dan pengalaman saya belasan bahkan puluhan tahun bergelut dalam dunia pendidikan cukup membantu saya dalam mengenali dan menghubungkan atau mengaitkan permasalahan yang diajukan dengan berbagai hal. Itu pula yang membuat proses pembicaraan coaching meskipun masih dalam taraf uji coba bisa berjalan dengan relatif lancar.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana agar kemampuan dan keterampilan coaching ini bisa dimiliki oleh para guru dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan pendidikan di sekolah kita. Peran sekolah penggerak dan para guru penggerak dalam mendeseminasikan pengetahuan baru ini sangat dibutuhkan.
Yang menjadi tantangannya adalah orang biasanya akan tertarik mempelajari atau memakai sesuatu jika telah melihat bukti. Masalahnya ketika orang lain telah berhasil menunjukkan buktinya, pada saat itu pula kita telah jauh tertinggal. Oleh karena itu, kita harus selalu belajar hal baru tanpa menunggu testimoni atau  bukti dari orang lain. Mari belajar coaching dari sekarang.
Tulisan yang sebenarnya merupakan tugas koneksi antarmateri ini pun saya posting di Kompasiana dalam rangka memantik rasa ingin tahu dari para guru dan praktisi pendidikan yang belum berkesempatan mendapatkan pelatihan atau materi tentang coaching.
Keterkaitan Coaching dengan Pembelajaran BerdiferensiasiÂ
Dalam proses melaksanakan pembelajaran secara umum atau dalam proses coaching, guru berhadapan dengan murid dari berbagai latar belakang. Untuk bisa melakukan proses coaching dengan lebih terarah, guru yang berperan sebagai coachee harus memahami tentang pembelajaran berdiferensiasi.Â
Proses coaching sebenarnya seiring sejalan dengan pembelajaran berdiferensiasi yang berusaha melayani kebutuhan setiap murid yang berbeda-beda. Kebutuhan tersebut terkait dengan kesiapan atau potensi belajar murid, minat murid, dan profil belajarnya.
Dengan memahami tiga hal tersebut, seorang coach akan bisa lebih terarah dalam menuntun murid pada proses coaching. Dengan berdasar pada tiga kebutuhan tersebut, seorang guru atau coach akan bisa menentukan strategi diferensiasi yang akan dipilih saat melayani murid-muridnya. Apakah mereka akan melakukan diferensiasi konten, diferensiasi proses, atau diferensiasi produk.
Proses percakapan coaching yang berhasil akan mendorong para murid untuk berubah menjadi lebih baik karena tindakan yang mereka putuskan adalah keputusan pribadi mereka sendiri. Mereka merasakan bagaimana potensi mereka tergali dan berkembang sejalan dengan proses dan hasil dari coaching yang telah mereka jalani.
Proses coaching juga selaras dengan Program Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh kemendikbud, yang memfasilitasi para murid untuk memaksimalkan potensi diri guna mencapai tujuan belajar yang sudah ditetapkan, yaitu kemerdekaan dalam belajar.
Keterkaitan Coaching dengan Kompetensi Sosial EmosionalÂ
Berbicara tentang keterkaitan coaching dengan kompetensi sosial emosional, saya menjadi teringat dengan ungkapan berikut ini. Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sebuah masalah tergantung bagaimana perlakuan atau reaksi kita terhadap masalah tersebut. Kalau sebuah masalah kita anggap sangat besar, dampaknya pun akan besar. Namun, jika sebuah masalah kita hadapi dengan biasa-biasa saja, dampaknya juga akan biasa saja.
Kemampuan manajemen diri dalam menghadapi masalah tersebut adalah bagian dari kompetensi sosial emosional (KSE). Guru maupun murid memiliki kepentingan yang sama untuk bisa memiliki kompetensi sosial emosional yang akan sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain kemampuan manajemen diri, masih ada kompetensi kesadaran diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Itu adalah lima kompetensi sosial emosional (KSE). Dalam proses coaching, jika coach maupun coachee memiliki kompetensi sosial emosional, proses coaching akan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.
Bandingkan jika dalam proses coaching guru maupun murid yang berperan sebagai coach dan coachee tidak memiliki KSE. Kedua belah pihak reaktif, mudah marah, dan emosional. Tentu tak akan pernah tercapai tujuan coaching. Bayangkan juga jika seorang coach mudah baper, dia tidak akan bisa mengambil posisi objektif. Jadi KSE mejadi salah satu modal dalam proses coaching.
Penguasaan Kompetensi Sosial Emosional yang baik hanya akan bisa dicapai dengan proses mindfullness atau kesadaran penuh. Tujuan akhir dari adanya kesadaran penuh untuk menguasai KSE itu adalah terwujudnya well being atau kesejahteraan psikologis pada diri setiap insan, baik guru maupun murid.
Peluang di Masa DepanÂ
Bagi para pembaca yang mengalami pendidikan di masa lalu, sebagian proses pendidikan kadang membuat perasaan kita tertekan. Itu terjadi ketika kita berhadapan dengan guru yang kejam, suka main tangan, membentak-bentak. Teman kita yang dibentak dan dimarahi, kita yang ikut terintimidasi.
Dengan perubahan paradigma belajar yang mengadopsi pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menuntun kodrat murid, menekankan pendidikan karakter atau budi pekerti, memahami kebutuhan murid, peristiwa yang mencekam atau mengintimidasi dalam dunia pendidikan tidak akan ada lagi.
Program merdeka mengajar dan merdeka belajar yang memperhatikan kebutuhan murid, kondisi sosial emosional murid, dan selalu berpusat pada murid akan menjadi peluang masa depan kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kita ingin para intelektual kita benar-benar merdeka dalam berbagai bidang. Â Bukan hanya merdeka karena bisa mengibarkan bendera saat upacara, tetapi merdeka pikiran kita, merdeka tindakan kita. Seperti pesan Pak Jokowi, kita harus bisa membusungkan dada di hadapan bangsa-bangsa lain, karena kita bangsa besar.
Sebagai contoh konkret, jangan sampai para intelektual hasil pendidikan kita merasa inferior, ketakutan, gara-gara perayaan pernikahan putra Presiden yang menyamai atau melampaui perayaan pernikahan di kerajaan Inggris dan Belanda. Tentu bukan itu cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H