Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebagai Kado Hari Guru, Pendidikan Guru Penggerak Bisa Diakui Jadi S2?

25 November 2022   05:17 Diperbarui: 25 November 2022   05:28 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, 25 November 2022 adalah peringatan Hari Guru Nasional yang sekaligus merupakan Hari Ulang Tahun ke-77 PGRI. PGRI lahir pada tanggal 25 November 1945 bersamaan dengan dilaksanakannya kongres berbagai organisasi guru di Kota Surakarta saat itu yang meleburkan diri menjadi PGRI. Bertepatan dengan HUT PGRI, Hari Guru Nasional baru ditetapkan di masa Presiden Soeharto dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 (kompas.com/edu).

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh program Merdeka Belajar Episode Ke-2 yaitu Kampus Merdeka. Dalam salah satu program Kampus Merdeka, mahasiswa memiliki hak selama tiga semester untuk belajar di luar program studinya, di luar fakultasnya,  bahkan di perguruan tinggi lain, ataupun di luar perguruan tinggi sekalipun. 

Jika dikaitkan dengan Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang merupakan program Merdeka Belajar Episode Ke-5, penulis merasa bahwa dua program ini bisa dihubungkan. PGP sangat layak diakui sebagai bagian implementasi Kampus Merdeka. 

Misalnya, dengan lulus Pendidikan Guru Penggerak, seorang guru dianggap telah menempuh 20 SKS pendidikan S2. Tentu saja S2 dalam bidang pendidikan, bukan S2 Teknik Mesin.

Jika dilihat lebih mendalam dari lama pendidikannya, kepadatan kurikulum atau materinya, intensitas kegiatan dan tugasnya, serta lembaga penyelenggaranya, Pendidikan Guru Penggerak memiliki potensi untuk disetarakan atau diekuivalensikan dengan minimal satu semester program S2 bidang kependidikan. PGP dilaksanakan selama enam bulan, bahkan di angkatan awal-awal, pendidikannya berlangsung selama sembilan bulan.

Dari segi materi atau kurikulumnya, PGP sangat komprehensif karena diawali dari modul satu tentang Paradigma dan Visi Guru Penggerak, Dasar Filosofis Pendidikan, Cara Perumusan Visi,  dan Penerapan Budaya Positif di sekolah. 

Pada modul dua  terdapat materi tentang Pembelajaran yang Berpihak pada Murid yang meliputi Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Cara Menjadi Coach bagi Orang Lain. 

Sementara itu, pada modul tiga berbicara tentang Pemimpin Pembelajaran dan  Manajemen Sekolah pada umumnya.  Materi pada modul tiga tersebut meliputi Pengambilan Keputusan, Pengelolaan Sumber Daya, dan Pengelolaan Program Sekolah yang berdampak pada murid.

Dalam hal kepadatan kegiatan pelatihan dan tugas yang harus dijalani dan dikerjakan oleh para Calon Guru Penggerak (CGP), tak perlu ditanyakan lagi. Bahkan, para fasilitator dan pengajar praktik pun mengakui betapa beratnya rangkaian pelatihan yang harus dijalani oleh para CGP. 

Hampir tiap hari ada kegiatan pembelajaran yang harus dijalani oleh para CGP. Jadi, kalau dibandingkan dengan kuliah Sabtu-Minggu yang biasanya dijalani oleh para karyawan yang melanjutkan pendidikannya, PGP tentu tidak kalah bersaing.

Dilihat dari lembaga yang menjalankannya,  Pendidikan Guru Penggerak ditangani langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Besar Guru Penggerak (BBGP). 

Tentu ini merupakan lembaga yang terpercaya. Jadi kalau ada perguruan tinggi mengakui alumni PGP ini dan menyetarakannya dengan minimal satu semester pendidikan S2 bidang pendidikan tentu tidak akan menjatuhkan citra perguruan tinggi tersebut. Perguruan Tinggi tidak perlu meragukan itu.

Dilihat dari kompetensi para alumni PGP atau Calon Guru Penggerak yang sedang menjalani proses pendidikan, tentu mereka tidak akan mengecewakan. Hal ini karena dalam proses seleksinya, CGP ini melewati tahapan yang tidak ringan. 

Mulai dari tahapan administratif, seleksi penulisan esai, seleksi praktik mengajar, dan seleksi wawancara. Sebuah rangkaian seleksi yang cukup bisa menyaring tenaga pendidik yang kompeten.

Di laman sekolah penggerak kemdikbud, guru penggerak diharapkan menjadi katalis perubahan pendidikan di daerahnya dengan cara (1) menggerakkan komunitas belajar untuk teman guru di sekolah atau di wilayahnya. (2) menjadi pengajar praktik bagi guru lain, (3) mendorong peningkatan kepemimpinan murid, (4) meningkatkan kualitas pembelajaran dengan berkolaborasi dan menginisiasi diskusi dan kolaborasi bersama dengan guru lain, (5) menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan di sekolah.

Berbagai harapan yang dibebankan kepada guru penggerak tersebut akan semakin mendapatkan peneguhan jika guru penggerak minimal menyandang gelar S2. Terlebih lagi bagi guru penggerak yang kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah. Pendidikan S2 ini tentu akan semakin mendukung tugasnya.

Sampai dengan angkatan ke-7 sekarang ini, sudah ada 52.400 guru telah dan sedang mengikuti Pendidikan Guru Penggerak. Jika dibandingkan dengan banyaknya  guru secara nasional yang berjumlah sekitar 2,9 juta orang, peserta PGP yang berjumlah 52.400 orang itu masih berada di angka 1,8% (https://sekolah.penggerak. kemdikbud. go.id/). Ternyata secara persentase, jumlahnya memang masih sedikit. Jadi, jika sebagian  alumni PGP yang masih muda-muda bisa difasilitasi untuk melanjutkan studi di program S2 atau S3 tentu akan semakin mempercepat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Peluang bagi Perguruan Tinggi

Program S2 terutama dalam bidang pendidikan sering diberitakan sepi peminat. Untuk menjaring para calon mahasiswanya, perguruan tinggi kadang menawarkannya melalui sistem kerja sama dengan berbagai instansi. Itu pun belum tentu membawa keberhasilan.

Memberikan kesempatan kepada para alumni Pendidikan Guru Penggerak untuk masuk pendidikan S2 merupakan peluang bagi perguruan tinggi. Mereka bisa mendapatkan calon mahasiswa yang sudah terseleksi dan memiliki pemahaman terbaru tentang konsep pendidikan yang akan dijalankan pemerintah. 

Dengan masuknya mahasiswa yang berkualitas, perguruan tinggi akan menghasilkan karya ilmiah dan hasil penelitian yang berkualitas pula. Terlebih lagi jika hasil penelitian tersebut dimuat dalam jurnal internasional tentu akan membawa dampak yang baik bagi ranking perguruan tinggi tersebut secara nasional atau internasional.

Sementara itu, dari pihak guru sebagai calon mahasiswa, mereka bisa menjalani pendidikan yang lebih singkat karena ada materi-materi PGP yang sudah diakui setara dengan mata kuliah di perguruan tinggi. Dengan demikian, kedua belah pihak diuntungkan. Perguruan tinggi mendapat calon mahasiswa, sementara mahasiswa mendapatkan pengurangan SKS.

Jika perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengambil kebijakan itu, tentu ini akan lebih mudah untuk segera dieksekusi. Namun, jika tidak bisa, dukungan pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bisa diupayakan. Saya yakin gagasan ini bisa diterima dan masih masuk akal. Selamat Hari Guru dan Selamat Hari Ulang Tahun PGRI. Guru Bergerak, Indonesia Maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun