Semenjak kami menulis Pengalaman Menghadapi Penyakit Mata Glaukoma dan Pantangan bagi Penderita Glaukoma, banyak orang berharap muncul tulisan-tulisan baru tentang glaukoma. Banyak orang membaca dan mengatakan bahwa tulisan itu bisa memunculkan kembali harapan bagi penderita glaukoma.
Menurut catatan di Kompasiana, sampai saat ini sudah lebih dari 33.000 orang membaca tulisan pertama kami tentang glaukoma itu.Â
Kami senang jika ada yang bisa mendapatkan manfaat dari tulisan tersebut, tetapi di saat yang sama kami juga sedih karena tidak bisa memenuhi harapan mereka dengan memunculkan tulisan-tulisan baru.
Setiap kali kami melayani curhat atau keluhan dari penderita glaukoma, sebenarnya telah muncul satu pengalaman baru yang layak dibagikan kepada orang lain. Namun, berbagai alasan selalu menghalangi pengalaman baru itu untuk menjelma menjadi tulisan baru.Â
Demikian juga dengan tulisan ini. Embrionya sebenarnya sudah ada sejak lama, namun baru sekarang benar-benar bisa Anda baca.
Bermula dari Vonis
Seseorang mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit glaukoma biasanya dari vonis seorang dokter. Dokter bisa menentukan atau memvonis kondisi tersebut berdasarkan kondisi tekanan bola mata (intraocular pressure) penderita.Â
Jika tekanan bola mata melebihi ambang batas atau berada di atas 20 mmHg, pasien didiagnosis menderita glaukoma.
Bermula dari saat vonis itulah biasanya derita tambahan bagi pengidap glaukoma muncul. Vonis glaukoma itulah yang biasanya menjadi salah satu pemicunya.Â
Ketika seseorang dinyatakan mengidap glaukoma, banyak informasi yang sampai ke telinga penderita, baik itu atas usaha penderita itu ataupun informasi dari orang-orang di sekitarnya.
Misalnya, (1) Cepat  atau lambat, glaukoma pasti akan menyebabkan kebutaan. (2) Penyakit glaukoma tidak bisa disembuhkan. (3) Penderita glaukoma harus menjalani pengobatan seumur hidup. (4) Penderita glaukoma harus segera dioperasi. (5) Operasi glaukoma tidak memberikan jaminan kesembuhan, bisa juga gagal. (6) Meskipun sudah pernah operasi, masih perlu operasi lagi jika saluran humour aquos sudah buntu lagi. Dan mungkin masih banyak lagi informasi-informasi lain.
Berbagai informasi tersebut mau tidak mau menjadi beban tambahan bagi penderita glaukoma. Pernah ada seorang ibu, yang menyampaikan keluhan kepada kami, bahwa semenjak suaminya didiagnosis glaukoma, tubuh suaminya mengalami penurunan berat badan yang signifikan.
Di malam hari suaminya sulit tidur. Selalu ketakutan kalau tiba-tiba mengalami kebutaan. Ada juga penderita lain yang menjadi kurang konsentrasi, kurang fokus dalam bekerja karena beban pikiran menderita glaukoma tersebut.
Tetap Tenang, tetapi Jangan Lupa Berusaha
Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap apabila ada anggota keluarga atau bahkan kita sendiri yang didiagnosis menderita glaukoma tersebut? Tetap tenang, tetapi harus selalu waspada dan jangan lupa lakukan ikhtiar juga.
Kepanikan tidak akan membantu apa-apa dalam penanganan masalah glaukoma. Ketenangan dibutuhkan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi vonis glaukoma. Misalnya saja dalam mengambil keputusan menjalani pengobatan rutin, operasi, atau hal lain yang dibutuhkan.
Selain harus tenang mengapa harus ikhtiar juga? Ada sebagaian kecil penderita yang pasrah tanpa usaha menghadapi penyakit yang diderita. Mereka berprinsip bahwa apa yang mereka alami itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Kepercayaan bahwa Tuhan mengatur segala sesuatu yang terjadi itu tidak salah. Tetapi pasrah, menyerah, tanpa usaha, itu yang salah.Â
Secara medis glaukoma tidak bisa disembuhkan memang, tetapi secara empiris ada banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa dengan pengobatan tertentu dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh glaukoma bisa dikendalikan. Tak ada yang mustahil bagi orang yang selalu berusaha.
Usaha yang dilakukan pun tidak hanya terbatas pada pengobatan medis, tetapi juga secara spiritual, dengan banyak berdoa dan juga psikologis.Â
Anggota keluarga yang lain juga harus membantu memberi dukungan moral dan menjaga agar emosi penderita glaukoma tetap stabil. Terutama untuk penderita yang masih anak-anak dan remaja serta bagi para lansia.
Kita harus membantu menjaga kondisi psikologis mereka karena beban psikologis yang mereka tanggung itu dampaknya tidak lebih ringan dibanding dengan beban penyakit yang dialami. Stress atau tekanan psikologis yang berlebihan juga dapat memicu munculnya penyakit yang lain. Munculnya asam lambung misalnya.
Apabila Anda sendiri yang menderita glaukoma, Anda harus sadar betul bahwa beban psikologis akan berdampak buruk pada kesehatan Anda secara menyeluruh. Oleh karena itu, boleh memikirkan penyakit yang Anda derita tetapi jangan terlalu.Â
Dari pengalaman kami sharing dengan banyak penderita glaukoma, ada sebagian dari mereka yang terlalu terbebani dengan penyakit yang dideritanya.
Padahal tidak ada keluhan sakit yang amat sangat dan tekanan bola mata juga tidak terlalu tinggi. Akibatnya, mereka menjadi sulit tidur atau bahkan ada yang tidak bisa tidur sama sekali dalam beberapa hari.Â
Tentu ini sangat merugikan. Bagi pemilik mata normal saja begadang sampai larut itu sudah memforsir mata, apalagi bagi penderita glaukoma.
Ada seorang bapak yang curhat ke kami bahwa beliau tidak bisa tidur lebih dari lima hari. Kalau seperti ini, masalah utamanya bukan di mata lagi tetapi problem tidak bisa tidur. Kami menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog dan akhirnya beliau diberi obat tidur oleh psikolog tersebut.Â
Dengan cara seperti itu akhirnya beliau bisa tidur dan tekanan bola mata bisa turun. Jadi sekali lagi masalah glaukoma bukan hanya masalah medis glaukoma an sich tetapi juga bisa terkait masalah lain seperti masalah psikologis.
Glaukoma bukan jenis penyakit yang kasat mata seperti sakit karena luka. Tak heran jika ada anggota keluarga yang kadang meragukan bahwa kita menderita penyakit glaukoma karena memang tidak terlihat.Â
Untuk kasus seperti itu, kami biasanya menyediakan diri menjadi salah satu tempat curhat karena kami pernah menderita penyakit itu dan tahu bagaimana rasanya.Â
Oleh karena itu, jadilah anggota keluarga yang peduli, sekecil apapun keluhan anggota keluarga yang lain. Kalimat itu mudah diucapkan tetapi tidak mudah dijalani. Akan tetapi, bukan berarti mustahil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H