Dalam permendikbud tersebut dicantumkan sebuah ilustrasi seorang guru dengan kualifikasi pendidikan S1 yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memiliki masa kerjanya 25 tahun hanya disetarakan dengan PNS pada jenjang jabatan Guru Pertama dengan pangkat Penata Muda Tk I, Golongan Ruang III/b. Perlu diketahui, Golongan Ruang III/b tersebut bisa diperoleh dengan sangat mudah oleh guru PNS yang paling malas sekalipun hanya dalam jangka waktu 6 -- 8 tahun. Dalam hitung-hitungan menurut permendikbud tersebut, seorang guru S1 dengan kondisi seperti di atas bisa mendapat kesetaraan di golongan III/b jika telah bekerja minimal 23 tahun. Di bawah itu, akan selalu mendapat golongan III/a. Mengapa itu bisa terjadi? Hal ini karena angka kredit yang terkait dengan penghargaan masa kerja guru bukan PNS dalam permendikbud tersebut hanya dihargai 15%. Ya betul, hanya diakui 15% dari angka kredit yang berhasil dicapai oleh seorang guru swasta.
Saya tidak tahu latar belakang apa yang menjadi dasar penentuan angka 15% tersebut. Dalam pemikiran saya, seandainya angka kredit yang berkaitan dengan masa kerja tersebut diakui 100%,  akan banyak guru swasta yang memiliki kesetaraan yang tinggi. Kesetaraan yang tinggi akan berimplikasi pada besarnya tunjangan profesi yang harus ditanggung pemerintah. Tentu ini akan membebani belanja pemerintah. Mungkin itu salah satu alasannya. Akan tetapi, angka 15% itu terlalu kecil. Menurut pendapat saya, jika bisa diakui 75% atau minimal 50% tentu akan lebih menghargai para guru swasta. Akan tetapi, untuk memenuhi keinginan tersebut Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud perlu merevisi Permendikbud No 28 Tahun 2014. Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy yang sebelumnya berkiprah di lembaga pendidikan swasta sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, seharusnya memberikan  perhatian lebih terhadap masalah ini.
Mengapa penghargaan masa kerja tersebut perlu ditingkatkan? Guru swasta memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan guru PNS. Tuntutan keprofesionalan juga sama. Harus memenuhi persyaratan sertifikasi pendidik yang sama juga. Mengajar dan mendidik warga negara Indonesia juga. Bukankah tidak ada perbedaan status kewarganegaraan siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah swasta dan sekolah negeri? Mereka semua adalah warga negara Indonesia. Oleh karena itu, penghargaan yang diberikan kepada guru swasta pun seharusnya tidak dibedakan.
Separo Beban Guru Swasta sudah Ditanggung Yayasan/Masyarakat
Sebenarnya jika dibandingkan dengan tanggung jawab pemerintah kepada guru PNS, tanggung jawab terhadap guru swasta ini jauh lebih ringan. Kepada para guru PNS, pemerintah harus memberi gaji 100%. Selain itu, Â pemerintah juga masih harus memberi tunjangan profesi yang besarnya 1 kali gaji. Â Dengan kata lain, Â pemerintah harus memberikan 200% gaji dan tunjangan kepada guru PNS. Bagi guru swasta, gaji sudah ditanggung oleh masyarakat atau yayasan. Meskipun gaji yang diperoleh memang tidak sebanyak gaji guru PNS. Pemerintah tinggal memberikan tunjangannya saja. Bahkan, bagi guru yang belum mendapatkan SK kesetaraan/SK Inpassing, besarnya tunjangan ini masih sama yaitu Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per bulan.
Proses Pemberian SK  Inpassing  Harus Lebih Efisien
Berdasarkan pengalaman selama ini proses pemberian inpassing atau kesetaraan jabatan dan pangkat bagi guru swasta tidak selalu mudah. Sebagai gambaran, yang saya alami di Kota Mojokerto pada tahun 2011, untuk jenjang pendidikan dasar dan TK, dari sekitar 200 guru yang mengajukan inpassing atau kesetaraan waktu itu, yang disetujui dan mendapatkan SK inpassing hanya 4 orang. Bahkan di tahun itu pula pemberian kesetaraan untuk jenjang pendidikan dasar dihentikan pada tanggal 31 Desember 2011.
Proses pemberian kesetaraan baru dilanjutkan kembali pada tahun 2014 setelah keluarnya Permendikbud 28 Tahun 2014. Mulai tahun 2014 tersebut, pemberian kesetaraan/inpassing sudah jauh lebih baik karena guru yang akan mengajukan berkas sudah terlebih dulu mendapatkan nomor urut dan Lembar Identitas Pengusul sehingga lebih teratur.
Selama ini proses verifikasi berkas guru yang mengajukan kesetaraan/inpassing dilakukan secara terpusat di Jakarta. Menurut saya, akan lebih efisien jika proses verifikasi cukup dilakukan di dinas pendidikan kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan di tingkat provinsi untuk pendidikan menengah. Apalagi ketika akan mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru telah melalui proses verifikasi kualifikasi akademik dan berbagai syarat lain termasuk SK Pengangkatan Guru Tetap Yayasan.
Selain itu, dalam proses entri data diri ke dalam aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik), guru harus melalui proses verifikasi juga hingga minimal ke tingkat kabupaten/kota. Jadi kalau saat pengajuan inpassing atau kesetaraan masih harus verifikasi lagi sebenarnya guru telah melalui 3 kali verifikasi. Seolah-olah Kementerian Pendidikan tidak percaya dengan sistem aplikasi yang dibuat sendiri, yaitu aplikasi Dapodik. Apalagi  jika maksud verifikasi itu hanya untuk melakukan penyaringan terhadap calon penerima inpassing, sebenarnya masih bisa dicarikan solusi alternatif lain yang lebih mudah, murah, dan cepat.
Syarat utama pemberian SK Kesetaraan yang meliputi kualifikasi akademik dan masa kerja keduanya bisa dilihat di aplikasi Dapodik. Syarat pendukung lain seperti SK pengangkatan yayasan, jumlah jam mengajar, jadwal mengajar, ijazah juga bisa dicek di Dapodik. Kalau masih kurang yakin, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dibantu oleh para operator sekolah bisa diberi tanggung jawab untuk melakukan verifikasi tersebut. Jadi, kementerian tidak perlu memverifikasi data guru swasta dari seluruh Indonesia. Tugas yang sebenarnya bisa didelegasikan ini terlalu banyak dan terlalu berat jika harus ditangani sendiri oleh pusat.