TMP bukan Taman Makam Pahlawan, melainkan Tedjo Mega Paloh, persamaannya, keduanya merujuk pada tempat kematian. Satunya adalah tempat dimana pahlawan nasional dimakamkan, yang satu lagi adalah benih kematian masa depan Indonesia. Mungkin Presiden Jokowi bahkan tidak tahu, apa yang sebenarnya sedang terjadi disekitarnya. Maklum anak muda dari Solo ini adalah sosok yang tidak terbiasa dengan intrik dan maneuver politik tingkat tinggi. Maklum, karirnya selalu mulus dengan dukungan populis rakyat, bukan elit. Jokowi memang lebih cocok disebut birokrat wahid, ketimbang politisi.
Baru setelah rebut KPK vs Polri, Jokowi tersentak, ada apa sebenarnya dengan orang-orang Jakarta? Sangat sulitkah saling bicara satu sama lain. Bukankah komunikasi (seperti yang sering dilakukannya ketika blusukan) bisa menyelsaikan semua persoalan? Ternyata tidak sesederhana itu. Untung saja, setelah beberapa saat gagap, Jokowi akhirnya mendapatkan masukan dari orang-orang yang tepat. Jokowi kemudian membentuk tim 7 (tujuh), sama ketika SBY membentuk tim 8 (delapan) untuk menengahi konflik Cicak vs Buaya.
Lalu ada apa dengan TMP? Tedjo, Mega dan Paloh sebenarnya adalah tiga orang yang sudah lama menaruh dendam kepada SBY. Mari kita mulai dengan Tedjo, KSAL yang diangkat SBY pada Juli 2008 ini, diberhentikan SBY pada November 2009. SBY menganggap Tedjo tidak kapabel sebagai KSAL, tidak sampai setahun umur Tedjo sebagai KSAL. Ini sangat membekas di hati Tedjo, buktinya ketika ditanya soal pencopotan Sutarman, memori pahit itu keluar “dulu saya baru satu tahun menjabat (KSAL) saya diganti.” Itu juga yang kemudian membuat Surya Paloh mengangkatnya menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Ormas Nasdem menggantikan Sultan Hamengkubuwono yang mundur.
Kalau Mega jangan ditanya lagi, semua orang sudah tahu, dendamnya kepada SBY sudah mendarah daging. Dia menganggap SBY adalah pengkhianat ketika dirinya dikalahkan dalam Pemilu 2004. Hingga saat ini, Mega tidak pernah mau bertemu dengan SBY, pun ketika PDIP diujung tanduk ketika Demokrat akhirnya memutuskan berlabuh di KMP. Padahal Mega lupa, bahwa yang memenangkan SBY tahun 2004 adalah Paloh dengan Metro TVnya.
Paloh, meski pernah sangat mesra dengan SBY, saat itu Paloh secara penuh mendukung SBY untuk memenangkan Pemilu 2004. Bahkan disebut-sebut sebagai faktor penentu kemenangan SBY atas Mega saat itu. Namun kemesraan itu tidak berlangsung lama, SBY gerah dengan tingkah Paloh yang sok tampil, Paloh seringkali menunjukkan ke publik bahwa dirinyalah “Sang King Makers SBY,” karena gerahnya SBY atas tingkah Paloh itu, akhirnya SBY tidak menunaikan janjinya untuk memberikan jawaban Wantimpres kepada Paloh. Ini membuat Paloh gerah, dan mati-matian membawa Golkar untuk menjadi oposisi kepada SBY, sayang JK sebagai Wapres SBY saat iti bisa mengamankan Golkar.
Tidak berhenti disitu, setelah SBY memenangkan Pemilu 2009, Paloh lalu mati-matian ingin merebut Golkar dalam Munas, mencium gelagat itu, SBY lalu memberikan dukungannya kepada Abu Rizal Bakrie yang akhirnya menjadi Ketum Golkar mengalahkan Paloh. Kabarnya SBY berperan besar dalam mendulang suara untuk Abu Rizal Bakrie. Beberapa pemilik suara yang memiliki masalah hukum diancam melalu jaringan kejaksaan. Hal ini yang dipelajari Paloh, mengapa Nasdem ngotot untuk meminta jabatan Jaksa Agung.
Jadi jelas sudah, Trio TMP ini adalah barisan sakit hati SBY. Tentu SBY juga tidak bersih dari masalah, namun SBY lebih strategis dalam penempatan orang-orang, baik di kabinet maupun di posisi strategis lainnya. Ketika kabinet selesai dibentuk, malah langkah pembersihan dimulai. Dendam harus segera dibalaskan, SBY harus diseret dan dibongkar kasus hukumnya, apapun caranya, salah satunya adalah dengan dalih korupsi. Namun KPK tentu tidak mudah di intervensi. Digawangi Abraham Samad, Bambang Wijayanto dll, tentu siapapun sulit melakukan intervensi terhadap KPK. Mulailah siasat penghancuran KPK mulai diatur.
Seluruh partai di DPR tentu sepakat dalam isu pelemahan KPK, ketika usulan agar Busyro yang masa jabatannya telah habis untuk dicarikan pengganti, DPR menolak dengan dalih mending menunggu agar seluruh komisioner KPK berakhir masa jabatannya. Setelah itu isu disebarkan, bahwa KPK tidak bisa mengambil keputusan strategis jika anggotanya tidak lengkap. Namun isu itu tidak laku dipublik.
Mulailah langkah berikutnya disusun, mengganti lebih cepat komisioner KPK dengan jalan kriminalisasi KPK. Namun untuk memuluskan rencana itu tentu dibutuhkan seorang Kapolri yang jelas berpihak pada skenario ini. Pilihan jatuh pada Budi Gunawan, sang mantan ajudan Mega, yang kepatuhan ideologis dan bilogisnya jelas hanya pada sang ibu suri. Mencium bahwa Kompolnas kemungkinan tidak akan mendorong nama Budi Gunawan, maka Jokowi dipaksa segera mengeluarkan surat ke DPR agar Budi Gunawan segera menggantikan Sutarman yang dianggap orang SBY. Meskipun Sutarman masih Sembilan bulan menuju masa pensiun. Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa, surat sudah disodorkan, Presiden hanya tinggal tanda tangan. Jokowi juga tidak curiga sedikitpun ada apa dibalik didorongnya BG menjadi Kapolri. Jokowi menganggap ini kejadian biasa ketika Presiden berganti, maka beberapa posisi harus segera diganti. DPR yang sejak awal ingin melemahkan KPK, lalu menyetujui pencalonan BG kecuali Partai Demokrat.
Bom meledak, benar saja, BG yang tidak disukai dikalangan jenderal Mabes Polri ini langsung ditetapkan tersangka oleh KPK. Sutarman dan Suhardi Alius (Kabareskrim) dituduh membocorkan data Reskrim Mabes Polri mengenai rekening gendut ke KPK. Penolakan di internal ini lalu dijawab dengan dicopotnya Suhardi Alius sebagai Kabareskrim. SBY sudah mencium gelagat ini, Ibas segera diperintahkan untuk mengeluarkan instruksi agar seluruh kader Demokrat tidak bicara apapun mengenai kasus KPK vs Polri ini.
Jokowi belum menyadari keadaan sebenarnya, dia butuh waktu untuk mendalami persoalan, ditengah tekanan yang begitu besar, Jokowi kemudian mengangkat Plt Kapolri, dan menunda pelantikan BG. Ini membuat kubu TMP berang, Kabareskrim baru lalu segera menyusun penangkapan Bambang Wijayanto, kader PDIP menjadi pelapor dengan tanggal mundur 15 Januari. Makanya ada beda tanggal antara Penyidik Polri yang menyebut laporan masyarakat diterima pada tanggal 15 Januari, sementara Sugianto Sabran sang pelapor mengatakan dia melaporkan BW pada tanggal 13 Januari 2015.