Khalifah Umar r.a meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a (gubernur di Bashrah, Irak) untuk menyampaikan laporan pendapatan pengeluaran dalam pengelolaan negara. Saat itu Abu Musa telah mengangkat seorang Nasrani sebagai Katib (sekretaris), dan mereka menghadap kepada Khalifah Umar. Sang Khalifah sangat kagum atas catatan laporan Abu Musa, dan memujinya. Khalifah Umar: “[laporan] Ini sangat rapi, apakah mungkin dia (sekretaris) juga mengkaji catatan laporan di Masjid [Nabawi] yang datang dari Syam (Suriah)”. Abu Musa menjawab, “Dia (sekretaris) tidak diperbolehkan masuk masjid”. Khalifah Umar bertanya, “Apakah dia sedang junub (menanggung hadats besar)?” Abu Musa menjawab, “Tidak, dia seorang Nashrani”. Seketika Khalifah Umar bereaksi keras dan menepuk paha Abu Musa, “keluarkan dia (akhrijuhu)”, lalu membacakan Q.S. Al-Maidah (5): 51.
Kisah Umar Ibn Khattab dab Abu Musa juga ada perselisihan pendapat antar ulama. Sebagian ulama memakai arti kata “akhrijuhu” adalah keluarkan dia atau usir dia. Sedangkan sebagian ulama lainnya mengartikan akhrijuhu sebagai pecat dia.
Untuk kasus ini yang lebih masuk akal adalah mengartikan arti akhrijuhu dengan “keluarkan dia/usir dia” dan bukanlah “pecat dia” Karena kalau kita baca lagi kisah tersebut diatas, sebab dari kemarahan kalifah Umar Ibn Khattab adalah karena Umar baru mengetahui bahwa sekretaris ini beragama Nasrani setelah disuruh mengkaji catatan laporan di Masjid Nabawi. Abu Musa saat itu membawa sekretarisnya yang beragama Nasrani menghadap Umar Ibn Khattab di Madinah. Padahal ada ketentuan bahwa di Madinah hanya diperbolehkan untuk orang-orang Islam saja.
Jika akhrijuhu diartikan sebagai “keluarkan dia” atau “usir dia”, maka Abu Musa akan segera mengeluarkan sekretarisnya itu dari Madinah, karena Madinah memang dikhususkan untuk orang Islam saja. Dan tidak ada pertentangan dikisah tersebut.
Namun jika akhrijuhu diartikan sebagai “pecat dia”, maka Abu Musa hanya akan memecat saja dan tidak segera mengeluarkan sekretarisnya dari Madinah. Bahkan mungkin saja sekretarisnya kaget dan terguncang karena dia dipecat secara mendadak. Kemudian karena agak shock dia tidak langsung keluar dari Madinah, mungkin menenangkan diri terlebih dahulu. Ini jelas akan ada pertentangan pada kisah tersebut jika diartikan dengan “pecat dia”.
Pembacaan surat Al Maidah ayat 51 oleh Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa juga bisa bermacam-macam tafsirannya. Namun bisa juga Umar Ibn Khattab membacakan surat Al Maidah ayat 51 untuk mengingatkan agar Abu Musa lebih berhati hati agar tidak melakukan seperti kisah turunnya surat Al Maidah 51 dimana diceritakan tentang umat Islam yang kurang teguh imannya saat kalah dalam perang Uhud mencoba mencari teman untuk berlindung dengan cara berpindah agama ke agama temannya tersebut. Untuk hal ini nanti bisa dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Dapatkah kita berpegang pada kisah Umar Ibn Khattab dan Abu Musaal-Asy’ari untuk menafsirkan arti surat Al Maidah ayat 51?
Seperti yang dijelaskan diawal, jika kita berselisih pendapat, maka kembalikan kepada Allah SWT (Al Quran) dan Rasul-Nya (As Sunnah/Hadist). Kisah tersebut diatas tidak termasuk dalam Al Quran dan As Sunnah/Hadist. Hanya sebatas kisah para sahabat. Dan surat Al Maidah ayat 51 turun jauh sebelum masa Kekalifahan Umar Ibn Khatab. Seperti kita ketahui Khalifah Umar Ibnu Khatab adalah kalifah kedua setelah Nabi Muhammad wafat. Yaitu setelah masa kalifah Abu Bakar As Siddiq.
Keempat mahjab Ahli Sunnah Wal Jamaah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’I, dan Imam Hambali) sepakat bahwa rujukan yang paling utama adalah Al Quran dan As Sunnah (Hadist Nabi). Jika tidak diketemukan rujukan pada keduanya barulah menggunakan pendapat sahabat Nabi yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah. (Link)
Jadi jelaslah bahwa kita tdk bisa memakai kisah sahabat sebagai rujukan jika ternyata ada kisah dalam Al Quran ataupun As Sunah (Hadist) yang bisa dijadikan rujukan. Tetaplah rujukan Al Quran dan As Sunnah yang menjadi rujukan utama kita.