--Your strength reside forever on my subconscious--
Selama masa pandemi dan PSBB ini banyak orang yang berkurang atau kehilangan penghasilan. Tiba-tiba banyak keluarga yang terpuruk berantakan. Â Ayah, ibu, bahkan para remaja stress, depressi, dan putus asa. Mirisnya malah ada yang mengakhiri hidupnya. Demikian pula diluar lingkungan keluarga, terjadi peningkatan angka kriminalitas. Â Situasi ini benar-benar penuh dengan kesulitan hidup.
Bahkan baru beberapa minggu lalu kita terhenyak lagi dibombardir berita dari berbagai media, seorang ibu muda bunuh diri, dengan terlebih dahulu meracun 3 anaknya yang masih kecil (namun 1 anak umur 6 bulan sempat diselamatkan). Â Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi dan keluarga. Â Masalah ekonomi menjadi awal pemicu masalah-masalah lain.
Berita ini dan berita lain serupa, tak ayal membuat saya merefleksi bagaimana dahulu kala Ibu dan kami bisa berhasil menyintas hingga saat ini. Â Sepanjang ingatan, Ibu saya adalah sumber kekuatan dan akal panjang yang tiada habisnya.
Kala itu, Ibu adalah orang tua tunggal dengan 3 anak yang semuanya masih balita. Â Sekarang bila saya membayangkan betapa berat perjuangan ibu waktu itu, sendirian mengurus dan membesarkan 3 orang anak, mungkin saya sendiri bisa menyerah.
Sebagai sumber penghasilan, Ibu menjadi guru di sekolah kejuruan keputrian. Â Saat awal-awal Ibu menjadi orang tua tunggal, tidak banyak yang saya ingat, karena saya masih terlampau kecil. Tapi salah satu yang masih tertancap kuat dalam ingatan saya, adalah betapa lelahnya Ibu ketika pulang sore dari mengajar. Saya lihat wajah ibu yang kuyu menuntun sepedanya dari pagar hingga masuk rumah. Namun ketika bertemu kami, Ibu berusaha menunjukkan wajah gembira. Dan masih banyak cerita lainnya yang menunjukkan betapa tegarnya Ibu dalam membesarkan kami bertiga.
Kenyataannya, Ibu berhasil menyekolahkan ketiga anaknya sampai Sarjana, bahkan ada yang sampai S3.
Lalu mengapa terjadi perbedaan situasi perjuangan seorang ibu ketika itu dengan saat pandemi sekarang?  Beberapa pakar sosiologi, psikologi  bahkan rohaniawan sudah mencoba menjelaskan fenomena ini.
Ada yang menjabarkan bahwa dalam masa pandemi dituntut kematangan emosi untuk dapat merasakan 'melewati' saat pandemi, dan menyadari bahwa situasinya tidak permanen (pendekatan Kecerdasan Emosional, EQ Emotional Quotient).Â
Ada juga yang menganalisa bahwa untuk dapat mengarungi badai pandemi diperlukan pegangan keimanan yang sifatnya meliputi dan 'di atas' (beyond) kehidupan sekarang (pendekatan Kecerdasan Spiritual, SQ). Bahkan ada yang percaya bahwa untuk dapat melewati cobaan hidup ini diperlukan Kecerdasaan Intelektual/Akademis yang memadai (pendekatan Kecerdasan Intelektual, IQ). Â
Â
Apakah itu artinya, orang yang pandai, mempunyai IQ tinggi, bakal lebih sukses melewati gejolak masa pandemi, (ataupun tantangan hidup lain)? Â Kenyataannya ada orang yang pandai justru gagal melewati beratnya cobaan hidup. Â IQ tinggi belum menjamin kesuksesan hidup. Atau jika di balik, banyak orang yang sukses ternyata tidak ber IQ tinggi. Â
Demikian pula dengan konsep kecerdasan EQ dan SQ, belum bisa menjawab secara utuh dan spesifik fenomena banyaknya warga yang 'tumbang' pada saat pandemi ini.
Mencoba menjawab hal tersebut, sekarang pemahaman kita makin diperkaya dan dipertajam dengan konsep AQ, Kecerdasan Adversiti. Â Adversity (kata benda) atau adversary (kata sifat) terambil dari Bahasa Latin yang secara harafiah artinya 'melawan' namun secara konotatif artinya kesulitan hidup, kendala/halangan, kesengsaraan, kemalangan dan kesialan yang dihadapi seseorang. Â Beberapa kondisi adversiti antara lain : perceraian, sakit parah, kehilangan penghasilan/pekerjaan, perpisahan/kematian, bencana, dll.
Penyerapan kata ini kedalam kosakata bahasa Inggris sudah terjadi kira-kira 800 tahun yang lalu. Â Artinya fenomena bahwa ada orang yang mampu, maupun tidak mampu bertahan dari cobaan hidup, memang sudah menjadi kodrat manusia.
Namun belakangan baru diformulasikan secara akademis dan terstruktur oleh Paul G Stolz, PhD. Â Beliau melakukan riset dan penelitian yang cukup lama dengan menggunakan kerangka ilmu psikologi serta cabang-cabangnya yaitu Neuropsikologi dan Psikoimunologi.
Stolz mendalilkan bahwa AQ selain sebagai konsep/teori mutakhir juga merupakan skala pengukur kecakapan seseorang, serta perangkat untuk meningkatkan Kecerdasan Adversiti.
Sebagai alat pengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup, secara sederhana terbagi dalam 3 skala : Quiters (mudah menyerah), Campers (mudah puas) dan Climbers (pejuang).
Menggunakan metafora gunung sebagai kesulitan hidup yang akan ada terus menerus, ciri-ciri seorang climbers antara lain : mempunyai mindset selalu siap berjuang, tidak menghindari tantangan, mampu memotivasi diri sendiri, bersemangat/anthusias, serta tidak menjadikan alasan apa pun menjadi penghalang.
Sedangkan untuk meningkatkan kecerdasan adversiti, Stolz menawarkan metoda pembelajaran yang secara sederhana di bagi 2 yaitu Pra-tindakan dan Tindakan.
Termasuk dalam kelompok Pra-tindakan adalah kegiatan evaluasi diri, pemantapan tanggung jawab diri serta analisa menyeluruh. Â Kegiatan Pra-tindakan ini harus dilakukan secara tepat karena akan meluruskan dan menyiapkan mental. Â Dan langkah berikutnya adalah mengisi kapasitas emosional dengan daya postif. Â
Kesalahan dalam langkah Pra-tindakan dapat berakibat pada ketidak siapan individu untuk mengambil tindakan yang diperlukan. Â Biasanya individu yang mengalami situasi adversiti cenderung merasa tidak berdaya/apatis, seakan-akan sudah menjadi takdir yang tidak bisa Ia ubah (learned helplessness).
Bagaimanapun pentingnya kegiatan Pra-tindakan, pada akhirnya penentuan ada di bagian Tindakan. Â Proses ini bersifat dinamis karena banyaknya pilihan yang harus disesuaikan dengan masing-masing kondisi individu.
Beberapa contoh Tindakan tersebut antara lain: belajar kecakapan hidup (life skill) terus menerus, menentukan visi, misi dan tujuan hidup, membuat rencana dan prioritas, fokus mencapai goal, berpikir positif, membangun keyakinan dan karakter kunci, komunikasi, mengasah kepekaan humor, kemampuan memilih aspek yang bisa dirubah (untuk dikendalikan) serta aspek yang tidak bisa dirubah (untuk diterima dengan ilkhlas), dll.
Salah satu tindakan yang penting adalah membangun ketahanan (resilience), yang didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi dan seberapa kuat individu dapat pulih (bounce back) serta tidak menyerah ketika mendapat tekanan.
Dan ternyata tantangan dari kompetisi blog yang diadakan oleh Kompasiana dan Kemendikbud, bisa menjadi terapi bagi saya yang saat ini, bisa dikatakan, berada di ujung tanduk situasi adversiti akibat pandemi. Â Terimakasih Kompasiana dan Kemendikbud.
Dengan menulis blog ini membuat saya kembali menyegarkan ingatan tentang bagaimana ketegaran Ibu  menghadapi situasi, yang mungkin lebih berat dari pada situasi yang saya hadapi sekarang. Â
Meskipun Ibu telah tiada, tetapi teladan dan ajarannya tetap abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H