Mencoba menjawab hal tersebut, sekarang pemahaman kita makin diperkaya dan dipertajam dengan konsep AQ, Kecerdasan Adversiti. Â Adversity (kata benda) atau adversary (kata sifat) terambil dari Bahasa Latin yang secara harafiah artinya 'melawan' namun secara konotatif artinya kesulitan hidup, kendala/halangan, kesengsaraan, kemalangan dan kesialan yang dihadapi seseorang. Â Beberapa kondisi adversiti antara lain : perceraian, sakit parah, kehilangan penghasilan/pekerjaan, perpisahan/kematian, bencana, dll.
Penyerapan kata ini kedalam kosakata bahasa Inggris sudah terjadi kira-kira 800 tahun yang lalu. Â Artinya fenomena bahwa ada orang yang mampu, maupun tidak mampu bertahan dari cobaan hidup, memang sudah menjadi kodrat manusia.
Namun belakangan baru diformulasikan secara akademis dan terstruktur oleh Paul G Stolz, PhD. Â Beliau melakukan riset dan penelitian yang cukup lama dengan menggunakan kerangka ilmu psikologi serta cabang-cabangnya yaitu Neuropsikologi dan Psikoimunologi.
Stolz mendalilkan bahwa AQ selain sebagai konsep/teori mutakhir juga merupakan skala pengukur kecakapan seseorang, serta perangkat untuk meningkatkan Kecerdasan Adversiti.
Sebagai alat pengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup, secara sederhana terbagi dalam 3 skala : Quiters (mudah menyerah), Campers (mudah puas) dan Climbers (pejuang).
Menggunakan metafora gunung sebagai kesulitan hidup yang akan ada terus menerus, ciri-ciri seorang climbers antara lain : mempunyai mindset selalu siap berjuang, tidak menghindari tantangan, mampu memotivasi diri sendiri, bersemangat/anthusias, serta tidak menjadikan alasan apa pun menjadi penghalang.
Sedangkan untuk meningkatkan kecerdasan adversiti, Stolz menawarkan metoda pembelajaran yang secara sederhana di bagi 2 yaitu Pra-tindakan dan Tindakan.
Termasuk dalam kelompok Pra-tindakan adalah kegiatan evaluasi diri, pemantapan tanggung jawab diri serta analisa menyeluruh. Â Kegiatan Pra-tindakan ini harus dilakukan secara tepat karena akan meluruskan dan menyiapkan mental. Â Dan langkah berikutnya adalah mengisi kapasitas emosional dengan daya postif. Â
Kesalahan dalam langkah Pra-tindakan dapat berakibat pada ketidak siapan individu untuk mengambil tindakan yang diperlukan. Â Biasanya individu yang mengalami situasi adversiti cenderung merasa tidak berdaya/apatis, seakan-akan sudah menjadi takdir yang tidak bisa Ia ubah (learned helplessness).
Bagaimanapun pentingnya kegiatan Pra-tindakan, pada akhirnya penentuan ada di bagian Tindakan. Â Proses ini bersifat dinamis karena banyaknya pilihan yang harus disesuaikan dengan masing-masing kondisi individu.
Beberapa contoh Tindakan tersebut antara lain: belajar kecakapan hidup (life skill) terus menerus, menentukan visi, misi dan tujuan hidup, membuat rencana dan prioritas, fokus mencapai goal, berpikir positif, membangun keyakinan dan karakter kunci, komunikasi, mengasah kepekaan humor, kemampuan memilih aspek yang bisa dirubah (untuk dikendalikan) serta aspek yang tidak bisa dirubah (untuk diterima dengan ilkhlas), dll.