Minggu lalu saat aku pertama kali bertugas di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat aku sempet tabrakan dengan Pak Tarno, karena aku celingukan mencari Media Centre di lokasi baru ini. Â Bawaan ku sempat berantakan dan Pak Tarno mambantu mengumpulkannya. Â Setelah itu memang kami bertukar nama dan sedikit informasi. Â Pak Tarno mengatakan bahwa dia adalah supir dari salah seorang anggota dewan.
"Mbak Stefani apa nyasar lagi," goda Pak Tarno. Â
"Maaf Pak Tarno, bukan, itu tadi ada orang yang saya perhatikan," alasan ku. Â
"Waduh, waduh Mba Stefani, pasti liat orang ganteng ya," canda Pak Tarno.
"Hi, hi, hi, Pak Tarno bisa aja, gantengan juga Pak Tarno" candaku membalasnya, mencoba mencairkan suasana hatiku sendiri. Â "Oh iya Pak Tarno mau kemana" Kataku mencoba berbasa-basi.
"Biasa, kembali ke ruangan tunggu supir, habis beli biskuit untuk ganjel-ganjel kalau laper," jawabnya sambil menunjukkan sebungkus oreo yang di pegang.
"Baik Pak Tarno saya dulu ya" kataku untuk berpisah.
"Baik Mba, hati-hati, lihat jalan, he he he" balas Pak Tarno.
 "Hadueh, ada ada aja, mana udah telat lagi," gumamkku seraya kembali bergegas, karena Media Centre tinggal beberapa meter lagi.  Saat memasuki Media Centre ku lihat ada beberapa wartawan dari media lain sedang asik ngobrol di salah satu bangku. Â
Media centre ini relatif nyaman di bandingkan media centre di tempat lain. Â Suasana dan interiornya di disain seperti caf, dengan konsep co working space seperti yang lagi hits saat ini. Â Penerangan yang pas, disemburkan oleh beberapa lampu model downlight yang cukup elegan. Â Setiap meja dan di beberapa titik juga dipenuhi dengan banyak colokan listrik. Â Katanya ini baru direnovasi dengan memakan banyak biaya.
Di ujung kanan Media Centre, setelah ruang konpers (konfrensi pers), Â ada ruang diskusi yang telah kami booking untuk kami mengadakan semacam rapat redaksi mini. Â Kini ruang diskusi itu sudah dihadapanku. Â Aku berhenti sebentar sebelum mengetuk pintu sambil mengatur mental dan alasan. Â Aku agak deg-degan karena keterlambatan ini merupakan kesalahan yang tentu bisa mengganggu kondite ku sebagai wartawan baru. Â Sambil berharap mudah-mudahan tidak hanya aku saja yang terlambat, perlahan lahan ku ketuk pintu dan lalu ku buka gagang nya dengan hati-hati. Â "Selamat Pagi" aku menyapa dengan nada rendah. Â Kulihat di ruangan Pak Ontoseno lagi memberikan arahan, sedangkan Kusni, Airlangga dan Abigail memegang bolpoin dan buku. Â Bram belum kulihat batang hidungnya. Â Berarti dia lebih terlambat dari pada ku. Â Aku bersyukur dalam hatiku, ada yg lebih terlambat.