Mohon tunggu...
Bambang Kuncoro
Bambang Kuncoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Wisdom. URL https://www.kompasiana.com/bkuncoro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Papua Green Forest Warrior

5 September 2019   18:03 Diperbarui: 5 September 2019   18:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pura-pura masih pingsan dan menutup mata.  Dari celah mataku aku mengamati, seorang wanita berambut pendek bertubuh agak gempal masuk untuk mengecek suara-suara tadi dan mengambil sesuatu.  Saat mau keluar dia sempat mengamati kondisi ku sebentar dan kembali melangkah kearah pintu.  Mungkin dia lihat aku masih pingsan.  Sambil berjalan dia berkata ke pada temannya yang lain yang berada di luar, "Masih pingsan dia".  Dan di balas oleh temannya, "Baik, nanti kita singkirkan dia setelah proses transaksi selesai, karena pembeli sebentar lagi mau datang"

                    Disaat genting seperti ini aku jadi teringat sosok Mbahku.  Entah kenapa, telah beberapa kali saat aku menghadapi situasi genting sebelumnya, aku selalu ingat sosok Si Mbah.  Dan juga aku mengingat kembali keputusan besarku.

                    Teman-teman di Fakultas Kehutanan bilang aku sok idealis, karena aku memutuskan mantap menggeluti dunia LSM, dan menolak lapangan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dari sisi karir dan gaji.  Tapi sebenernya yang mereka tidak tahu ini adalah merupakan passion ku sejak lama.  Kecintaan ku pada dunia kehutanan dan isinya telah mulai terbentuk saat aku masih kecil.  

Saat aku diasuh oleh Si Mbah.  Bisa dibilang aku dekat sekali dengan Si Mbah. Banyak sekali cerita Si Mbah yang membekas di ingatanku.  Salah satunya adalah kiprah Si Mbah saat masih muda.  Si Mbah sebenarnya adalah seorang Jaga Wana dan pawang binatang buas.  Waktu itu di kaki gunung Lawu, Si Mbah adalah salah satu pawang yang disegani.  

Sampai-sampai di rumahnya dia memelihara Harimau Jawa dan Macan Tutul.  Mereka berdua hanya mau nurut dengan Mbahku.  Mereka berdua dipanggil sesuai dengan ciri-ciri tubuhnya.  Yang Harimau dipanggil  Kiai Codet (karena ada codet panjang di mukanya) sedangkan yang Macan Tutul di panggil Kiai Caplang karena kuping nya ada sobekan cukup besar.  Bahkan Si Mbah masih menyimpan kliping Harian Soeara Asia yang ada foto mereka berdua.

                    Kemudian Jepang datang.  Awalnya Mbahku tidak mau angkat senjata. Tapi oleh karena suatu perstiwa Mbah ku akhirnya menjadi pejuang yang marah dan yang paling gigih memerangi Jepang.  Titik balik itu terjadi karena seorang Cudanco secara semena-mena menyita kedua hewan buas itu.  Kata Si Mbah Cudanco itu ahli biologi dan zoologi.  

Sejak saat itu Mbahku dan pasukannya sering kali bergerilya menyerang Jepang di malam hari.  Kemampuan menyerang malam hari ini diakui oleh teman pejuang lain, karena selalu akurat.  Mereka bilang itu karena Mbahku mempunyai penglihatan dan ketangkasan seperti Harimau di malam hari.

     Kecintaanku pada hutan dan isinya berlanjut saat aku remaja.  Suatu malam saat aku menonton TV,  program yang disajikan adalah episode sepak terjang Greenpeace Rainbow Warrior.   Betapa beraninya mereka saat menghadapi para perusak lingkungan hidup.  

Lihat saja aksi mereka saat menghadang kapal penangkap ikan paus yang sangat besar milik Jepang.  Kapal mega tonase yang mempunyai fasilitas pengolahan ikan paus dan persenjataan lengkap dibuat tak berdaya oleh kapal kecil Greenpeace Rainbow Warrior.  Ini yang menggugah romantisme ku.  Sejak itu aku senang dengan predikat Pejuang Lingkungan.

                    "Gubrak", kembali salah satu kotak bergoncang agak lebih keras dari pada yang sebelumnya, menarik kesadaranku lagi kekenyatan saat ini.  "waduh, sebentar lagi bakal ada yang masuk untuk cek kondisi nih" pikirku dalam hati.  Lalu aku persiapan untuk pura-pura pingsan.  Benar ternyata, tidak berapa lama kemudian, masuk sorang laki-laki keriting bertubuh agak kecil.  Saat sudah dihadapanku dia berteriak kepada temannya "Ini orangnya masih pingsan, coba aku pukul saja agar dia bangun" sambil dia berancang-ancang untuk memukul.

Mendengar niatnya itu aku segera bangun, "jangan bapa, jangan pukul-pukul orang"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun