30 Agustus 2022
Malam itu aku sudah menyiapkan diri. Mengajukan musykilah-musykilah (aduan/masalah) yang menimpaku kepada Habib Ali Baharun, salah satu putra Abuya Al-Habib Hasan Baharun.
Malam Ahad dan malam Selasa memang sudah menjadi jadwal semi-tetap untuk taqdimus-syakawa (mengadukan masalah alias curhat) bagi santri-santri kepada beliau, karena setiap malam itu adalah jadwal beliau mengajar para santri kelas 2 Aliyah.Â
Pengajiannya selesai sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah itu, barulah beliau memasuki kantor Abuya Zein (kakak kandungnya yang sekaligus Mudirul Ma'had) untuk melayani kami---para santri---yang ingin taqdim. Memang, tidak terlalu banyak santri yang ikut curhat pada malam taqdimus-syakawa ini, yaa kurang lebih 10 santri biasanya. Mungkin karena waktunya tidur dan lelah setelah belajar seharian. Tapi bagi kami yang kebelet pengen curhat, mau jam berapapun bukanlah masalah, tentunya dibekali dengan tekad yang besar pula.
Aku datang pukul 22.15 WIB. Kupikir para santri masih menunggu di luar kantor, ternyata mereka semua sudah duduk rapih bergamis putih di dalam kantor menunggu giliran serta Habib Ali yang sedang duduk manis sambil mendengarkan curhatan seorang santri. Betapa malunya aku, mendapati hanya akulah satu-satunya santri yang tidak memakai gamis (aku memakai baju koko biasa dan sarung malam itu).
"Gapapa, gapapa.. Namanya juga awal marroh (kali pertama).." batinku berusaha tenang.
Aku pun masuk dan langsung mengambil tempat duduk. Aku memberitahu sekretaris beliau bahwa hajat-ku kesini adalah untuk tabdilul ism (mengganti nama). Ya, para santri disini yang memiliki nama bukan dengan bahasa Arab atau bukan serapan dari nama-nama Islami memang diberi kesempatan untuk mengganti nama mereka di pondok melalui Abna (anak-anak) Abuya Al-Habib Hasan Baharun. Yang pasti, tujuannya tidak lain adalah untuk tabarrukan (mengambil berkah) dan Ittiba'an (mengikuti Rasulullah SAW). Nama yang akan diberikan pun merupakan hasil istikhoroh mereka, Abna Abuya Al-Habib Hasan Baharun. Nama yang baru hanya akan menjadi nama di pondok, adapun nama di ijazah dan KTP tentu tidak berubah.
Sebenarnya bukan itu tujuan utamaku mengikuti kesempatan curhat ini. Melainkan aku ingin menanyakan kepada beliau perihal khidmah yang aku jalani di salah satu organisasi kampus.
FYI, pondokku ini memiliki kampus juga dan aku menjadi sekretaris di salah satu organisasi kampus. Yang tentunya membuatku banyak bercumbu ria dengan komputer dan internet, berbanding terbalik dengan santri biasa. Pikiranku sering kusut karena urusan-urusan organisasi yang bercampur aduk dengan urusan pondok. Walhasil, terkadang pelajaran pondokku terganggu. Perasaan ragu yang terus menghantui membuatku tidak yakin dengan apa yang aku jalani, apakah terhitung khidmah kepada pondok dan muassis ma'had (pendiri pondok), Abuya Al-Habib Hasan Baharun, atau malah sebaliknya.
Beberapa santri sudah maju mengadukan musykilah mereka. Aku yang datang terlambat setia menunggu hingga giliranku tiba. Habib Ali melayani semua santri dengan amat lembut. Senyumnya yang teduh menjadi penyejuk bagi siapa saja yang hatinya sedang bergemuruh. Wibawanya yang kuat membuatnya menjadi ayah kedua bagi kami yang sedang berkelana. Hatiku terus menyenandungkan sholawat selama aku duduk di tempat itu. Tak berani mataku memandang wajahnya, kalah dengan aura kesolehannya yang begitu besar. Wajahku terus menunduk, menahan rasa rindu yang membuatku ingin memeluk tubuh yang mulia itu.
Foto: Habib Ali Ridho bin Abuya Al-Habib Hasan Baharun (sumber: dalwaberita.com)Â
Santri di sebelah mencolek lenganku, mengisyaratkan bahwa sekarang giliran aku maju. Aku bersiap dan langsung menuju hadapan beliau. Pertama, aku adukan kepadanya tentang keinginanku tabdilul ism. Habib Ali menerimanya dengan penuh rasa bijak.
Lalu sekarang saatnya aku mencurahkan musykilah yang selama ini mengganjal hatiku. Bismillah, semoga mulutku tidak terbata-bata bertanya padanya dengan bahasa Arab.
"Wahai Ustadz, alhamdulillah sekarang saya menjadi sekretaris di salah satu organisasi kampus. Pertanyaan saya, apakah pekerjaan saya ini termasuk khidmah untuk Abuya?" tanyaku. Habib Ali tersenyum lalu menatapku.
"Kampus kita itu terikat dengan Ma'had. Dan pendiri kampus kita itu adalah Abuya. Maka, setiap orang disini, kita semua berkhidmah untuk Abuya" jawabnya singkat namun penuh ketenangan.
Entah mengapa, walaupun jawabannya amat pendek namun seluruh keraguanku serasa tersapu hilang begitu saja, terganti dengan rasa yakin yang tumbuh begitu cepat untuk kembali berkhidmah dengan terus berusaha ikhlas. Aku yakin, inilah salah satu bukti bahwa ucapan orang solih bukan sekedar ucapan biasa. Ucapannya mampu merubah keadaan sesuatu hingga 180 derajat, atas izinNya. Pantas saja jika orang-orang soleh sangat diincar doanya, walau mungkin sekedar ucapan "Aamiin" saja.
Pada malam itu, aku mendapat pelajaran yang amat berharga. Bahwa khidmah itu bukan melihat pekerjaannya atau zhohirnya saja. Khidmah adalah saat kita berusaha mengabdikan waktu, tenaga dan pikiran kita untuk membantu menyenangkan hati Sang Murabbi, tentunya dengan penuh keikhlasan dan niat yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H