Mohon tunggu...
Biyp
Biyp Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati permasalahan UMKM

simple, friendly

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sertifikasi Kayu kepada Siapa Pemerintah Berpihak?

22 April 2016   07:46 Diperbarui: 22 April 2016   16:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini saya angkat dari ide rekan saya Aris Nugroho, pemilik sekaligus pelaku usaha industry mebel di solo, serta tambahan beberapa ide lainnya sebagai berikut:

Siapapun tidak suka jika alam lingkungan kita rusak, banyak hutan yang gundul akibat penebangan kayu yang membabi-buta guna memenuhi kebutuhan pasar. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kesulitan air karena tidak ada resapan, berakibat tanah longsor, dan pemanasan global karena gas CO2 tidak bisa diserap oleh tumbuh-tumbuhan.

Sebagai pengusaha sekaligus pelaku usaha industry mebel/ furniture, kami juga menyadari pentingnya kelestarian alam Indonesia. Dan selalu berusaha serta menghargai upaya pemerintah dengan dorongan mengupayakan pengendalian penebangan hutan.
Kami tidak menyetujui adanya penebangan liar tanpa izin yang sangat merusak lingkungan dan kelestarian alam Indonesia, karena kita hidup saat ini juga untuk anak cucu kita di kemudian hari.

Jika kami masuk ke dalam tengah hutan ternyata kami jumpai sudah banyak sekali tanah yg harusnya tumbuh hijau telah berubah menjadi kering dan gersang seperti tidak ada kehidupan.

Pemerintah Indonesia dengan berbagai jalan menempuh segala cara untuk mengendalikan kerusakan alam dengan memperketat pengawasan di kawasan hutan, namun masih saja banyak kecolongan Karena ada oknum-oknum yang malah menyediakan celah bagi illegal logging.

Sebenarnya kami pengusaha furniture telah menggunakan kayu legal yg dibeli di penampungan kayu terdaftar dan sudah disertai dengan surat asal usul kayu, namun kendala yang harus kami hadapi adalah kompleksitas dalam proses pengajuan dan pelaksaan sertifikasi kayu (disingkat:SVLK).
Dimana proses SVLK ini membuat kami merasa terbelenggu karena kami UKM harus membuat banyak perizinan yg menguras banyak uang, proses audit pada waktu registrasi yang sangat susah, dan pemeliharaan tahunan/audit yg meluarkan biaya yg tidak sedikit juga (antara 40 hingga 60 juta rupiah) yang sangat memberatkan bagi kami industry kecil dan mikro untuk bisa menyiapkan budget sebesar itu.

Kami menghargai niat baik pemerintah Indonesia tersebut, namun ini yg kami inginkan adalah bagaimana pemerintah Indonesia saat ini bisa memfasilitasi, memberikan penyuluhan, melakukan pelatihan tentang ber’SVLK maka saya yakin PR gagasan pengendalian illegal logging ini bisa diterima oleh semua pelaku mebel di Indonesia.

Saya rasa tidak hanya itu saja upaya pemerintah yg harus ditempuh, SVLK bertujuan baik namun tujuannya hanya membatasi penebangan liar. Tidak ada solusi bagaimana mengembalikan lahan yg tanaman kayunya sudah di konsumsi. 

Penanaman lahan ini tidak hanya bisa dibayangan dengan murahnya beli bibit pohon, namun juga beaya penanamannya juga tidak sedikit apalagi di wilayah pegunungan, pedalaman yg susah dijangkau dengan kendaraan.
Saya melihat penanaman di daerah yang susah dijangkau yaitu dengan menggunakan sepeda motor trail atau jeep dengan membawa karung per karung pupuk ke daerah pedalaman.

Bayangkan berapa kali seorang harus keluar-masuk, naik turun gunung membawa pupuk dan kemudian membawa bibit pohon tersebut. Dan biaya operasinalnya pastinya tidak sedikit juga.

Meskipun ada SVLK, saya rasa JIKA TIDAK ada upaya pemerintah dalam peremajaan alam, reboisasi hutan ya percuma saja SVLK ini digagas

Oleh karena itu:

• Mungkin SVLK bisa berubah bentuk menjadi sebuah perizinan sederhana yang wajib dimiliki oleh semua perusahaan pengguna komoditi kayu baik untuk tujuan Export maupun pasar lokal. Tanpa perlu kerumitan dalam pegurusan maupun perpanjangan.
• Sebuah izin yang bisa diterbitkan hanya dalam hitungan hari/jam saja seperti beberapa paket kebijakan yg saat ini di gagas oleh pemerintah.
• Sebuah proses izin yg menghasilkan ZERO cost pada semua tahapan pelaksanaannya
• Sebuah izin sederhana yang tidak boleh banyak makan biaya dalam pembuatannya, perawatannya dan mudah dalam menjalankannya serta tidak membuat celah terjadinya tindakan koruptif ataupun manipilatif dalam pelaksanaannya
.
Setelah SVLK yang sederhana ini sudah banyak dimiliki oleh pelaku usaha yg berkenaan diatas, maka audit yg dilakukan per tahunan adalah merekap berapa meter kubik kayu yg di gunakan oleh perusahaan yg berkenaan tersebut. Hasilnya adalah kompensasi berupa prosentase biaya yg digunakan untuk reboisasi. Sebagai misal perusahaan X menggunakan kayu 1000 Meter Kubik Invoice, maka perusahaan X tersebut menggunakan rata-rata 2000 Meter kubik bahanan kayu. Dan setelah dilaporkan maka perusahaan X tersebut di kenakan beaya reboisasi dan kelestarian alam berapa persen dari komoditi kayu yg sudah mereka produksi. Bagi perusahaan yang tidak melaporkan penggunaan kayunya per tahun dan belum membayar kompensasinya, maka sanksi yg dikenakan adalah mereka tidak bisa export komoditi mereka atau memasarkan secara local. 

Disamping itu harus ada aturan-aturan klasifikasi tariff berdasar jenis kayu, volume kayu, dan kategori perusahaan apakah itu menggunakan kayu solid, ranting-ranting, akar, kayu bekas, dsb. Asal tidak begitu memberatkan pelaku mebel, pastinya sah-sah saja dan ini bisa diterapkan. Ini bisa menjadi solusi fair bagi kita karena kita pengusaha kayu juga mendapat keuntungan dari pemakaian kayu tersebut, dan keuntungan lainnya disamping kita bebas bea audit oleh lembaga-lembaga sertifikasi maka kita lebih tahu asas manfaat dan sasarannya bahwa kompensasi uang tersebut jelas-jelas untuk penyelamatan hutan dan alam Indonesia.

Dimata dunia, kita tidak hanya membabat habis-habisan kayu Indonesia untuk bertahan hidup… NAMUN kita ada upaya menghormati alam dengan menjaga, menanam, dan melestarikannya. Mau tidak mau kita pasti memakai kayu untuk kebutuhan hidup semua orang di dunia, namun sisi kebaikan kita adalah mau bertanggung jawab turut memikul biaya pelestariannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun