DUAKK! Batu yang kulempar tepat mengenai bagian telinga Cimot. Cimot limbung dan lari terhuyung-huyung. Dengan kaki masih TELANJANG kukejar Cimot. Tapi Cimot memang kucing liar bertenaga besar. Dia berhasil lenyap entah kemana lewat lorong-lorong sempit di rumah-rumah dekat gantangan, sebelum sempat kutangkap dan kuhajar lagi.
Aku kembali ke Sunis dengan lemas. Tempat Sunis terkapar berantakan sekali. Bulu-bulu yang berserakan, milet yang tumpah, sangkar yang patah dan bercak-bercak DARAH Â menjadi pemandangan yang mengerikan.
Dengan kain penutup mulut saat naik motor, tubuh Sunis yang penuh luka, berdarah dan lunglai tak bernyawa kutaruh di atasnya. Bulu-bulunya yang berserakan kupunguti satu per satu untuk kemudian kusatukan dengan tubuh Sunis di atas kain dan akhirnya kulipat.
Sebelum pulang, segera kubayar kopiku dan kopi orang-orang yang tadi bersamaku di warung. Namun pemilik warung menolak pembayaranku, termasuk orang-orang di warung juga tidak mau aku bayari.
Sampai di rumah tubuh Sunis kurebahkan di RANJANG balai-balai di belakang rumah. Kemudian kugali tanah seukuran tubuh Sunis. Selesai menggali kukubur Sunis dengan kupanjatkan doa. Di atas kuburan Sunis kutabur bunga-bunga seadanya yang ada di belakang rumahku, kuperciki air, kutaruh piala dan piagam di atas kuburan Sunis. Lima lembar uang Soekarno-Hatta akan kuberikan ke Yayasan Yatim Piatu esok hari.
" Damailah kamu Sunis. Ngekek terus kamu di sana ya. Terima kasih dan maafkan aku," bisikku parau sebelum kutinggalkan kuburan Sunis.
Sore menjadi terasa berat berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H