"Apa yang salah? Hahh apa yang salah? Kamu buta yah, kamu juga sudah pekak yah? Kamu tahu jamku sudah rusak kan? Kamu dengar aku ingin jam tangan itu kan? Kamu malah hambur hamburkan uang untuk hal yang tidak saya suka?! Â
"Aku gak punya uang, yank !
 " Masih bilang gak punya uang katamu? Terus yang kamu buat beli itu daun? Iya daun?!"  Hardiknya kasar sekali.
"Maafin aku, yank".
Dalam situasi kalut dan pasrah aku tetap memanggilnya sayang. Namun itu tidak meluluhkan hatinya. Saya tahu Bang Willy punya sifat keras tapi baik hatinya. Sambil melotot dan wajah merah padam dia cengkeram bajuku sambil berkata
"Dengar yah bodoh, jika kamu tidak nurut aku lebih baik kamu pergi dari rumah ini, pergi sana sekarang! Wanita tak guna!" Umpatnya tajam.
Serasa disambar petir aku mendengar ucapanya. Sakit, sakit sekali. Tanpa berucap apapun kecuali derai air mata yang menderas aku berlari keluar rumah .
Aku ingin segera pergi dari hadapanya, aku berlari sekuat tenaga hingga ....
Brrraakk..., sesuatu yang sangat keras dan cepat menghantam tubuhku hingga terpental menghantam jalan raya depan rumahku, kemudian gelap dan entah.
Dua sosok putih melambaikan tanganya mengisyaratkan aku untuk mengikuti mereka. Dengan langkah ringan kuikuti kedua sosok berjubah putih itu.
Sekilas kulirik suamiku yang masih terpekur memeluk batu yang tertancap diujung gundukan tanah merah itu.
Aku tersenyum, melewatinya kusempatkan berbisik ditelinganya,