Naik Delman
Sepanjang perjalanan Anis tak henti mengikuti gerak kuda, sampai akhirnya terdiam dalam pangkuanku, tidur.
***
Hari itu langit tampak biru cerah, secerah hatiku. Langkahku ringan meninggalkan halaman Sekolah Menengah Atas. Ingin segera ku sampai rumah dan menceritakan kabar gembira ini.
Tak ku hiraukan haus dan letihku. Terbayang wajah Ibu dan nenek mengetahui Aku, anak, cucu laki laki nya sudah lulus dari SMA dan menjadi ranking kelas.
Memang mereka tidak kaget karena  sejak dari SD sampai SMA Aku selalu ranking kelas  plus dapat beasiswa sejak SMP. Dan satu kabar yang selama ini Aku sembunyikan, Aku  berhasil  mendapatkan beasiswa masuk perguruan tinggi kedinasan STAN yang menjadi impian aku, setelah melewati test yang sangat ketat tanpa sepengetahuan orang rumah.
Biarlah ini akan menjadi surprise buat Ibu dan nenek. Sepanjang jalan Aku tersenyum girang.
Turun dari angkot di prapatan Desa. Aku bergegas melangkah cepat, pulang . Satu tikungan, Kudapati rumahku banyak orang dan tampak bendera kuning terpasang di sudut jalan masuk .
Hatiku berdebar tak sabar, pikiran kacau, siapa gerangan yang meninggal? Ibu, Nenek atau adik ku? Karena jelas bendera itu juga terpasang di sudut warung yang tertutup.
Sebelum aku mencapai pintu rumah, seseorang sudah menyambar dan memeluk tubuhku erat, mengusap punggungku dan menciumiku sambil terisak. Bulir air matanya membasahi baju seragam ku.
"Sssiiapa ..yang sudah meninggal Pakdhe?" tanyaku tercekat pada kakak Ibu.