Sumber Foto: Dokumentasi PribadiKoreksi Data
Pembenaran data paspor yang dilakukan KJRI Hong Kong sebagai bentuk perlindungan dan edukasi terhadap WNI terutama para BMI Hong Kong, menuai kisruh. Pasalnya saat ini ada dua  BMI yang dipenjara, dan dua masih dalam tahap sidang, gegara process koreksi data yang sedang menjadi program dari KJRI HK.
Sejak diberlakukannya Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) untuk pelayanan penerbitan paspor, Â yakni agar data BMI terkoneksi dengan Imigrasi Jakarta. KJRI Hong Kong sejak tahun 2015, sudah menerbitkan 23.825 paspor. Dari jumlah itu, ada 25 paspor yang terindikasi ada perbedaan data. Antara data diri di paspor dengan data kependudukan yang merujuk pada akta kelahiran.
Perbedaan data itu meliputi, nama  yang tidak sesuai asli, perbedaan tahun lahir, entah dituakan atau dimudakan. Beda tanggal lahir atau justru keduanya, tidak sesuai nama dan tahun lahir.
Dari 25 paspor yang telah di lakukan pembenaran data oleh KJRI HK Â tersebut, pihak Imigrasi Hong Kong hanya memberikan visa baru bagi 14 pemegang paspor perubahan data. Dari 11 sisanya justru ada empat BMI yang dituntut pidana di pengadilan Hong Kong, bahkan salah satunya atas nama SR telah dijatuhi hukuman pidana 18 bulan.
Kasus ini menuai protes keras dari kalangan organisasi BMI HK. Mereka menuntut agar proses koreksi data ditangguhkan sebelum adanya Memorandum of Agreement (MoA) kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Hong kong. Agar para BMI yang datanya tidak sesuai dan mau melakukan perubahan/koreksi data, akan terlindungi. Tidak dikriminal kan, dideportasi atau malah masuk penjara dan diblacklist, karena pemalsuan data itu bukan murni kesalahan BMI sendiri.
Menurut penuturan salah seorang korban koreksi data yang sekarang sedang menghadapi sidang, berinisial DM (nama sesuai paspor dan HK ID) melalui sambungan telepon dengan penulis, dia tidak berniat bahkan sudah menolak dengan tegas ketika dalam proses pembuatan paspor, namanya diubah menjadi DM. Namun dari pihak PJTKI waktu itu sempat mengintimidasi agar menurut apa kata mereka untuk melancarkan proses keberangkatan DM bekerja ke Hong Kong .
Di dua tahun kontrak pertama, semua berjalan aman, karena semua dokumen dipegang majikan, dan DM tidak diberi jatah libur, bahkan saat itu ia mendapatkan gaji di bawah standart (under pay). Namun karena tidak pernah libur dan baru pertama kalinya bekerja di HK, DM tidak mempermasalahkan keadaan yang dia terima.
Kasus bermula saat DM mau memperbarui passport. Bagaimanapun, data diri, nama tanggal tahun lahir akan selalu melekat tajam dalam ingatan. Terlebih nama. Apa lagi DM juga selalu mengenalkan diri dengan nama asli tentu saja, yakni NA.
Apes bagi DM, saat pengisian data formulir paspor, nama yang tercantum adalah nama aslinya NA, karena pada saat itu kebetulan yang membantu mengisi adalah temanya, tanpa DM menyadari kekeliruan teman tersebut.
Dan ketika paspor sudah di proses, pihak KJRI yang menemukan kejanggalan tersebut segera memberitahu DM serta langkah-langkah yang harus dilakukan. KJRI memberi surat pengantar yang resmi dan terjamin keabsahannya pada DM, untuk diberikan pada IMIGRASI HK agar mempermudah proses koreksi tersebut.
Namun pemerintah HK punya cara dan kebijakan sendiri dalam memandang masalah ini. Pemerintah HK yang tidak mudah diintervensi, tidak akan begitu saja memberikan kemudahan koreksi data, jika tidak ada bukti pendukung yang kuat. Juga adanya kesaksian meyakinkan dari BMI sendiri jika dia adalah korban pemalsuan data oleh oknum. Alhasil DM di anggap oleh Imigrasi Hong Kong telah melakukan tindak pidana pemalsuan data.
Masih menurut penuturan DM, sampai saat ini dalam menjalani sidang di pengadilan, dari pihak pemerintah yang diwakili oleh pak Andri Indrady sebagai konsul Imigrasi KJRI Hong Kong selalu mendampingi tiap DM atau BMI lain menjalani sidang. Karena sudah seharusnya pemerintah membantu dan membela BMI yang sedang tersangkut masalah secara maksimal.
Sejatinya masalah ini bukan sesuatu yang mengagetkan. Sudah jamak dan menjadi rahasia umum urusan palsu memalsu dokumen di Indonesia, terutama untuk para BMI. PJTKI dengan sepihak memalsukan ijasah, meloloskan syarat medis, memalsukan status, mengubah alamat tinggal, memudakan usia, dan yang lebih dominan adalah menuakan usia. Pada konteks ini BMI tidak berdaya karena mendapat tekanan dari PJKTI
Menuakan usia ini berhubungan dengan tingkat jumlah pengangguran yang sangat tinggi. Di mana lapangan pekerjaan sangat minim, tidak sebanding dengan tingkat kelulusan Sekolah Menengah Atas yang tidak mampu melanjutkan kuliah. Kebutuhan hidup sudah membayangi. Secara fisik sudah layak kerja di tambah semangat jiwa muda yang menggebu.
Batas usia yang masih belum mencukupi untuk kerja di luar negeri, tidak menjadi halangan untuk mendaftar ke PJTKI. Bahkan para makelar (calo) yang pandai memanfaatkan peluang dengan system jemput bola, mendatangi wanita muda yang baru lulus sekolah. Mereka begitu aktif berkeliling mencari calon TKI, karena bonus yang mereka dapatkan begitu menggiurkan.
Setelah mendapatkan calon TKI tadi, segala urusan surat dan lain sebagainya menjadi urusan calo, PJTKI dan aparat birokrasi tentu saja. Tidak tahu detailnya bagaimana cara mereka memanipulasi data. Karena untuk menuakan usia minimal kerja menjadi 21 tahun, pasti sudah punya KTP (palsu), akte, ijasah, KK semua diubah. Upaya menuakan usia di lakukan guna meloloskan calon BMI di bawah umur agar memenuhi syarat sebagaimana di atur dalam UU 39 tahun 2014. Yakni bagi sektor formal usia serendah rendahnya 18 tahun dan usia 21 tahun bagi sektor BMI informal atau rumah tangga.
Di sini apakah calo kerja sendiri? Sudah pasti tidak. Walaupun pihak PJTKI tidak terlibat secara langsung, pasti secara psikologi mereka bisa melihat wajah-wajah polos anak perempuan yang baru lulus sekolah. Apakah mereka berusaha mencegah?. Tidak juga! karena bisnis is bisnis. Yang mereka pikirkan adalah keuntungan sebesar besarnya. Dan situasi ini tentu melibatkan oknum petugas Imigrasi. Mereka para oknum itu tidak pernah peduli dengan nasib para calon TKI selanjutnya. Dengan dalih mereka menolong dan sudah turut memberi solusi mengurangi pengangguran baru.
Sampai disini siapa yang patut disalahkan dalam lingkaran persoalan yang rumit dan kompleks ini?
BMI, CALO, PJTKI, atau aparat BIROKRASI?
Semua punya andil kesalahan, tapi yang terjadi di lapangan BMI lah yang jadi korban pertama dan pihak yang dirugikan. Terlebih jika sampai masuk penjara.
Padahal jika kita menengok ke belakang, dari keempat elemen yang sudah di jelaskan di atas, sebenarnya pihak aparat birokrasilah yang patut disalahkan. Dari ketua RT, RW , Kelurahan/Desa, bagian Imigrasi, adalah perangkat pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan aturan Undang Undang dan hukum. Jika UU menyebutkan harus "begini" maka tidak ada siapapun warga masyarakat yang bisa mengubah menjadi "begitu". Peraturan adalah peraturan!
Apa Lagi hanya karena sogokan, iming-iming nominal rupiah demi kepentingan pribadi atau golongan. Kesenangan sesaat. Namun imbasnya sangat merugikan secara peribadi bagi seluruh BMI yang terkena masalah pemalsuan data. Dan yang lebih luas lagi, masalah dokumen, data diri dari masyarakat Indonesia yang rancu dan tumpang tindih, dilihat dari pihak negara lain, betapa bobrok dan tidak becusnya birokrasi Indonesia dalam menerapkan peraturannya. Mudah cincai-cincai dan "gauge". (kerja asal).
Sejujurnya pihak Imigrasi di Indonesia yang berhubungan langsung dengan calon TKI, Calo, calo sudah tahu akan fenomena pemalsuan data tersebut. Bahkan merekapun tahu konsekuensi dari aturan yang mereka langgar sendiri. Ketentuan Pidana data paspor tidak benar dalam UU Keimigrasian Indonesia, pejabat Imigrasi terancam pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (a) dan ©. Dan juga Pasal 133.
Pasal 126 (a): Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia untuk masuk atau keluar wilayah Indonesia , tetapi di ketahui atau patut di duga bahwa dokumen itu palsu atau di palsukan di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak 500,000,000,00 (Lima ratus juta rupiah)
Pasal 126 (c ): Memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Dokumen Perjalanan Republic Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima tahun) dan denda paling panyak 500,000,000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Jadi untuk masalah koreksi data, walaupun berniat baik. Sebaiknya KJRI HK menunda dulu. Sampai ada kerjasama yang jelas G to G. Kemudian Juga mensosialisasikan peraturan tersebut kepada BMI secara gamblang maksud dan tujuan dari pembetulan data secara massal. Agar pemerintah HK pun mau mengerti kebijakan pemerintah Indonesia yang sedang membenahi seluruh data masyarakat Indonesia yang selama ini tidak terkoneksi dengan baik dari daerah sampai ke pusat. Dan agar jangan ada lagi BMI korban koreksi data.
Namun kabar terakhir yang saya dapatkan dari Konsul Imigrasi  Andry Indrady melalui pesan whatsapp, bahwa kebijakan koreksi data akan ditangguhkan sampai ada arahan dari. direktorat jenderal Imigrasi Jakarta. Dan beliau tetap kooperatif membantu,  mendampingi BMI yang sedang bersidang terkait korekai data, ujarnya menutup perbincangan .
 ---
Salam Damai Anak NegeriÂ
Biken 03/05/16 Saiwanho-HKÂ
Tulisan ini juga saya posting di VOM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H