Namun pemerintah HK punya cara dan kebijakan sendiri dalam memandang masalah ini. Pemerintah HK yang tidak mudah diintervensi, tidak akan begitu saja memberikan kemudahan koreksi data, jika tidak ada bukti pendukung yang kuat. Juga adanya kesaksian meyakinkan dari BMI sendiri jika dia adalah korban pemalsuan data oleh oknum. Alhasil DM di anggap oleh Imigrasi Hong Kong telah melakukan tindak pidana pemalsuan data.
Masih menurut penuturan DM, sampai saat ini dalam menjalani sidang di pengadilan, dari pihak pemerintah yang diwakili oleh pak Andri Indrady sebagai konsul Imigrasi KJRI Hong Kong selalu mendampingi tiap DM atau BMI lain menjalani sidang. Karena sudah seharusnya pemerintah membantu dan membela BMI yang sedang tersangkut masalah secara maksimal.
Sejatinya masalah ini bukan sesuatu yang mengagetkan. Sudah jamak dan menjadi rahasia umum urusan palsu memalsu dokumen di Indonesia, terutama untuk para BMI. PJTKI dengan sepihak memalsukan ijasah, meloloskan syarat medis, memalsukan status, mengubah alamat tinggal, memudakan usia, dan yang lebih dominan adalah menuakan usia. Pada konteks ini BMI tidak berdaya karena mendapat tekanan dari PJKTI
Menuakan usia ini berhubungan dengan tingkat jumlah pengangguran yang sangat tinggi. Di mana lapangan pekerjaan sangat minim, tidak sebanding dengan tingkat kelulusan Sekolah Menengah Atas yang tidak mampu melanjutkan kuliah. Kebutuhan hidup sudah membayangi. Secara fisik sudah layak kerja di tambah semangat jiwa muda yang menggebu.
Batas usia yang masih belum mencukupi untuk kerja di luar negeri, tidak menjadi halangan untuk mendaftar ke PJTKI. Bahkan para makelar (calo) yang pandai memanfaatkan peluang dengan system jemput bola, mendatangi wanita muda yang baru lulus sekolah. Mereka begitu aktif berkeliling mencari calon TKI, karena bonus yang mereka dapatkan begitu menggiurkan.
Setelah mendapatkan calon TKI tadi, segala urusan surat dan lain sebagainya menjadi urusan calo, PJTKI dan aparat birokrasi tentu saja. Tidak tahu detailnya bagaimana cara mereka memanipulasi data. Karena untuk menuakan usia minimal kerja menjadi 21 tahun, pasti sudah punya KTP (palsu), akte, ijasah, KK semua diubah. Upaya menuakan usia di lakukan guna meloloskan calon BMI di bawah umur agar memenuhi syarat sebagaimana di atur dalam UU 39 tahun 2014. Yakni bagi sektor formal usia serendah rendahnya 18 tahun dan usia 21 tahun bagi sektor BMI informal atau rumah tangga.
Di sini apakah calo kerja sendiri? Sudah pasti tidak. Walaupun pihak PJTKI tidak terlibat secara langsung, pasti secara psikologi mereka bisa melihat wajah-wajah polos anak perempuan yang baru lulus sekolah. Apakah mereka berusaha mencegah?. Tidak juga! karena bisnis is bisnis. Yang mereka pikirkan adalah keuntungan sebesar besarnya. Dan situasi ini tentu melibatkan oknum petugas Imigrasi. Mereka para oknum itu tidak pernah peduli dengan nasib para calon TKI selanjutnya. Dengan dalih mereka menolong dan sudah turut memberi solusi mengurangi pengangguran baru.
Sampai disini siapa yang patut disalahkan dalam lingkaran persoalan yang rumit dan kompleks ini?
BMI, CALO, PJTKI, atau aparat BIROKRASI?
Semua punya andil kesalahan, tapi yang terjadi di lapangan BMI lah yang jadi korban pertama dan pihak yang dirugikan. Terlebih jika sampai masuk penjara.
Padahal jika kita menengok ke belakang, dari keempat elemen yang sudah di jelaskan di atas, sebenarnya pihak aparat birokrasilah yang patut disalahkan. Dari ketua RT, RW , Kelurahan/Desa, bagian Imigrasi, adalah perangkat pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan aturan Undang Undang dan hukum. Jika UU menyebutkan harus "begini" maka tidak ada siapapun warga masyarakat yang bisa mengubah menjadi "begitu". Peraturan adalah peraturan!