Mohon tunggu...
Biyanca Kenlim
Biyanca Kenlim Mohon Tunggu... Pekerja Mıgran Indonesia - Yo mung ngene iki

No matter how small it is, always wants to be useful to others. Simple woman but like no others. Wanita rumahan, tidak berpendidikan, hanya belajar dari teman, alam dan kebaikan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

SaMaRa, K'ners ini Mau Nikah

18 Februari 2016   07:18 Diperbarui: 14 Juli 2016   06:16 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Clipboard

[caption caption="Sumber foto:www.alansaar.org.uk"][/caption]

Air mata akan mengalir deras kala hati susah, pun akan menetes ketika hati bahagia. Itulah yang terjadi pada satu penggal hariku. Kabar malam itu telah membuat dadaku sesak. Tapi bahagia tak terkira. Hingga tak terasa bulir-bulir bening itu membasahi pipi. Dan kuucap Alhamdulillah, sembari kedua telapak tangan menempel pada wajah.

Adikku. Adikku memberitahuku, bahwa ia mantap berencana menikah. “Aku sudah siap segala sesuatunya. Tinggal kita membicarakan dengan keluarga besar,” katanya.

Kupandangi sebuah potret yang telah buram warnanya, menyisakan siluet tiga sosok dalam gambar yang bagiku masih sangat jelas: Emak duduk di tengah, aku berdiri di sebelah kanan, dan adiku berada di sisi kiri Emak, sambil berdiri miring: nglendot.

Hanya itu kenangan dua puluh tahun silam, tatkala seorang tukang potret keliling menyusuri kampung, membuat langkah demi langkah, kemudian melintas di gang kecil rumah kami. Aku lebih senang menyebut gubug untuk hunian kami. Setidaknya, itu lebih tepat daripada mempermanis diri dengan istilah rumah sederhana.

Aku akan sedikit cerita tentang saat itu. Entah bisikan dari mana, tetiba Emak memanggil lelaki muda yang mencangklong tas hitam pada bahu kirinya, saat hampir mendekati ujung pohon tehtehan, pemagar rumah kami.

Dia bertopi bareta, sebagaimana Pak Tino Sidin, sang pelukis terkenal itu. Ia pun lantas mengangguk.  Bergegas membelokkan langkah kaki menuju pintu rumah, yang Emak tengah mematung di sana.

Dengan suara kencang, aku dan adikku dipanggilnya. “Cepat kalian ke sini!”

"Kita foto bersama. Untuk kenangan kalian jika sudah dewasa, kelak," ujar Emak kala itu sambil tersenyum. Ia ambil sisir di atas meja. Dan dengan itu, ia merapikan rambut kami.

“Nah, sudah rapi. Sekarang siap-siap kalian dipotrek.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun