Mohon tunggu...
Biyanca Kenlim
Biyanca Kenlim Mohon Tunggu... Pekerja Mıgran Indonesia - Yo mung ngene iki

No matter how small it is, always wants to be useful to others. Simple woman but like no others. Wanita rumahan, tidak berpendidikan, hanya belajar dari teman, alam dan kebaikan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jangan Terlambat Menabung untuk Biaya Sekolah Anak

14 Oktober 2015   14:22 Diperbarui: 14 Oktober 2015   15:14 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber ft blog kompetition kompasiana."][/caption]

PERENCANAAN,  Kata perencanaan tak lepas dari buah pemikiran yang tertata. Merencanakan sesuatu kemudian mengimplementasikan dengan mempersiapkan segala sesuatu sesuai rencana,  semisal tempat, waktu, keperluan pendukung dan yang pasti mempersiapkan biaya.

Merencanakan pendidikan sejak dini, ini adalah satu agenda yang sangat penting untuk di rancang, bahkan sebelum saat mereka masih dalam setatus sebagai pasangan yang akan menikah.  Apalagi bagi yang sudah berumah tangga dan di pastikan akan segera punya momongan.

Bagi kalangan masyarakat yang berpenghasilan tetap dan lebih dari cukup, mapan secara ekonomi,  mengatur, merencanakan segala sesuatu bukan hal yang rumit dan sulit. Apalagi merencanakan pendidikan itu sangat berhubungan erat dengan masalah finance.

Jadi mereka yang dari kalangan atas bukan masalah besar, walaupun harus tetap di rencanakan dan di pikirkan sedini mungkin. Dengan cara berpikir yang lebih maju, sudah meng alokasikan dana khusus untuk biaya pendidikan anak kelak. Dengan membeli product asuransi pendidikan, asuransi jiwa plus pendidikan, atau tabungan plus dana pendidikan yang aman yang banyak di tawarkan oleh pihak bank.

Atau di investasikan dalam bentuk lain yang semisal emas, tanah, properti, yang intinya kelak untuk biaya anak sekolah yang semakin tahun semakin mahal. Dan pastinya untuk mengantisipasi jika saat anak membutuhkan biaya masuk perguruan tinggi, kondisi keuangan keluarga sedang cekak atau bisnis usaha sedang lesu.

Berbeda dengan mereka yang bergelimang harta, bagaimana persiapan pendidikan anak di kalangan kurang mampu?

Berkaca dari pengalaman sendiri yang sedang saya lakoni. Saya pun berprinsip 'pendidikan setinggi mungkin sangat penting minimal S1".  Bukan saya yang dalam keadaan mines ini mau membual , tapi menggantungkan cita cita setinggi langit itu menjadi pelecut semangat hidup, itu yang saya tekan kan pada kedua anak saya, jangan kaya orang tuanya yang tidak berpendidikan menjadikan kami susah mencari pekerjaan dan peluang.

Saya termasuk yang terlambat merencanakan pendidikan si buah hati. Sekedar flash back...waktu sehabis kelahiran anak saya yang sulung belum ada 40 hari, saudara dari suami yang seorang manager dari perusahaan asuransi besar berkunjung menjenguk sekalian menawarkan proposal asuransi pendidikan plus.   Sebagai pemegang kendali ekonomi saat itu, mungkin suami belum sadar sebegitu penting perencanaan pendidikan sedini mungkin, jadi suami menolak drngan alasan "saya bisa nabung sendiri". 

Namun kenyataan berkata lain, takdir yang maha kuasa tak dapat di hindarkan, roda kehidupan berputar. Ketika rencana tak sesuai do'a. Untuk tetap bertahan hidup atas seijin keluarga, saya memutuskan untuk pergi kerja jauuh di negeri orang. Ikhlas saya jalani, rela berpisah dari keluarga tercinta. 

Kini urusan ekonomi keluarga ada di pundak saya, walaupun telat, tak ada kata terlambat untuk memulai rencana perbaikan. Urusan pendidikan anak saya prioritaskan, anak yang sulung sudah mulai menginjak bangku SMP kala itu, kini mereka berdua sama sama duduk di bangku SMA.  Saya bertanya pada teman, saudara juga keponakan yang sebagian besar pada kuliah. Berapa sih kira kira dana yang di persiapkan untuk kuliah?.  Jawaban mereka bervariasi karena tempat mereka menimba ilmu berbeda beda, ada yang di Akper, Kebidanan, Kedokteran tapi kalah dengan yang berkantong tebal, akhirnya masuk jurusan farmasi, ada yang di ilmu gizi, akademi seni di Solo dan Univ negeri lainya di kota kami S.

Tapi inti dari saran mereka, terutama konsultan saya salah satu dari adik suami yang menjadi pengajar di daerah Solotigo menyarankan "minimal pegang  30 juta mbak". Saya mulai berbenah , berhitung dan mulai menabung dengan segala kemampuan. Berapa saya harus rutin menyisihkan srbagian gaji saya setelah saya sisihkan pula yang 2% untuk "dana ajaib" dan untuk kedua anak saya. Dan ini hitungan juga yang saya praktekan: 

Yang sulung mulai masuk SMP dan adiknya dua tahun persis di bawahnya. Setiap bulan saya sisihkan wajib per satu anak 500 ribu X 3 thun =  18 juta

18 juta X 2 (masa SMP dan SMA) = 36 juta.  Aman.

Sedang untuk adiknya ada selisih dua tahun anggap saja buat menutup jika dua tahun ke depan biaya tambah tinggi. Jikapun kurang sedikit masih ringan untuk menutupi. Daripada tidak nabung sama sekali.

Itu hitungan sederhana saya yang saya mampu melakukanya, dan tidak boleh  di utak atik oleh siapapun bahkan saya sendiri. Di luar itu saya berusaha menabung untuk dana tak terduga. Juga persiapan biaya jika saya pulang cuti. Selain saya harus memenuhi kebutuhan hidup sehari hari yang saya kirim setiap bulan. Maka ketika gajian semua sudah masuk pos masing masing, termasuk untuk asuransi jiwa saya yang ini juga saya anggap penting, salah satu antisipasi jika saya sakit atau kenapa napa sedikit meringankan keluarga tentunya.

Perencanaan yang matang, lebih dini lebih bagus untuk pendidikan anak di masa datang, sehingga jatah menabung atau jika mengikuti asuransi pendidikan maka premi yang di bayar lebih ringan, karena memiliki waktu yang panjang dengan nilai pertanggungan nilai yang luar biasa besar kelak jika memasukan asuransi pendidikan sejak jabang bayi.

Selain itu semua, semangat dan kemauan dari si anak sendiri. Bersyukurlah saya dalam keadaan ekonomi yang pas pasan. Kedua anak saya mampu menunjukan prestasi yang menggembirakan. Di dasari dari niat mereka bercita cita untuk sekolah tinggi, merubah nasib dan niat mulia untuk membahagiakan orang tua, mereka rajin belajar, disiplin dan sederhana dalam keseharian.

Kabar gembira selalu mereka sampaikan, manakala mereka meraih prestasi selalu rangking kelas  untuk si bungsu, dan ada di tiga besar untuk si sulung, atau saat mengikuti ajang perlombaan mewakili sekolahnya dan menang selalu mereka kabarkan dengan segera. Bahkan mereka rajin browsing bagai mana cara mendapatkan beasiswa bidik misi atau beasiswa lainya. Sayapun rajin mengirim artikel inspiratif tentang perjuangan melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan sukses.

Di suatu ketika di obrolan lewat chat, si bungsu berkata " jangan khawatir ibu, jangan berkecil hati menjadi TKI, kami bangga menjadi putra putri seorang wanita TKI yang tangguh, yang patut di banggakan, jaga diri baik baik ibu sehat selalu SALAM SUKSES, SALAM SUPER"!!. Mak nyeesss.

 

Sumber bacaan: http://www.axa-mandiri.co.id/.

Dan pengalaman pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun