Semakin mewabahnya covid-19 di Indonesia ternyata berdampak juga pada beragamnya sebaran informasi covid-19 di berbagai platform media sosial seperti whatssapp, facebook, twitter, line, youtube dan media sosial lainnnya. Informasi itupun diterima begitu cepat oleh para penggunanya, bahkan mereka memiliki hak akses untuk mengkonstruksi ulang informasi itu dan mempublikasikannya lagi di media sosial. Inilah apa yang disebut Henry Jenkins (2006) sebagai budaya partisipatori, masyarakat bukan lagi sebagai konsumen informasi tapi juga bisa berperan ganda sebagai produsen dan perekayasa informasi.
Ketika masyarakat memposisikan dirinya sebagai produsen informasi, maka informasi itu ada yang kredibel dan ada pula yang menyesatkan, bahkan berisi kebohongan (hoaks). Seperti kata Hammer (1976) bahwa informasi menjadi sebuah komoditi yang dapat didistorsikan dan disalahartikan, tergantung dari keinginan dan target si pembuat informasi. Ditambah lagi media sosial memberikan ruang yang bebas bagi siapapun untuk menyebarluaskan hoaks dan disinformasi.
Mastel (2017) pernah melakukan survey terhadap 1.146 responden, hasilnya menyebutkan 44,3 % menerima berita hoax setiap hari dan 17,2 % menerima berita hoax lebih dari satu kali dalam sehari. Selain itu Mastel juga menyebutkan bahwa 92,40 % hoax tersebar di facebook, twitter, instagram, path, dan lainnya. Sedangkan pada aplikasi chatting seperti whatsapp, line, dan telegram sebesar 62,80 %.
Meningkatnya trend media sosial di tengah wabah covid-19 membuat fenomena hoaks dan disinformasi seakan tumbuh subur. Setidaknya Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menemukan 474 kasus hoax dan disinformasi terkait covid-19 (Kominfo, 09/04/2020) yang tersebar luas di media sosial. Masifnya sebaran hoaks ditengah wabah covid-19 melebihi sebaran hoaks disaat menjelang pemilu.
Dampak Hoax dan Disinformasi Covid-19
Tanpa disadari masyarakat digital yang tidak peka dan bijak dalam memanfaatkan media sosial  seringkali ikut berkontribusi dalam penyebaran hoaks dan disinformasi terkait covid-19. Bayangkan saja setiap hari whatsapp group kita dipenuhi dengan informasi seputar covid-19. Kontennya pun beragam mulai dari isu pengobatan, wilayah dan pejabat yang terdampak virus, status pasien, dan isu lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan setidaknya ada 3 (tiga) dampak yang ditimbulkan.
Pertama, ketakutan di tengah masyarakat. Narasi hoaks terkait covid-19 yang dibalut gambar ilustrasi begitu menyentuh sisi emosional si pembaca dan tanpa disadari mereka  larut dalam ketakutan dan kecemasan. Seperti beberapa contoh hoaks dan disinformasi berikut;  "Warga Boalemo, Gorontalo Positif Corona" (Kominfo, 02/04/2020), "Kakak-Adik Relawan di RS Wisma Atlet Meninggal karena Corona" (Kominfo, 02/04/2020), "Imigran China Sengaja Membawa Virus untuk Membasmi Rakyat +62" (Kominfo, 01/04/2020), "Viral Pesan Berantai Area Bandung Lockdown" (Kominfo, 30/03/2020), "TPU Ditutup Akibat Virus Corona dan Jenazah Diminta Diletakkan Dahulu di Rumah" (Kominfo, 19/03/2020).
Eli Lebowits (Pakar Psikologi Universitas Yale Amerika Serikat) mengatakan bahwa ketakutan dan kecemasan yang tidak dikelola dan diatasi dengan baik dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Lebih lanjut Anthony de Mello (1997) mengingatkan bahwa rasa takut dan cemas terhadap wabah penyakit akan membangun sugesti negatif pada diri seseorang. Bisa jadi yang semula tidak sakit menjadi sakit karena rasa takut dan cemas yang tak terkendalikan. Tentu dampak ini akan sangat berbahaya dan memberi efek psikologis jangka panjang. Sedangkan masalah lainnya, tidak semua masyarakat mampu mengelola dan meredam ketakutan dan kecemasan yang mereka rasakan. Pada akhirnya akan membawa mereka pada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Seperti adanya kasus penolakan jenazah, penolakan pendatang, stigmatisasi terhadap pasien dan keluarga pasien covid-19.
Kedua, kepanikan yang berlebihan. Masifnya sebaran hoaks dan disinformasi di media sosial semakin mempertajam ketidakjelasan informasi yang diterima oleh masyarakat. Ditambah lagi narasi pemberitaan kasus covid-19 di media massa tidak diimbangi dengan narasi positif yang dikembangkan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat yang lainnya. Seperti kasus disinformasi terkait beberapa daerah yang akan melakukan karantina wilayah (lockdown lokal) membuat sebagian masyarakat menjadi panik dan khawatir yang berlebihan.Â
Kepanikan yang berlebihan ini justru akan menimbulkan masalah baru seperti panic buying dan tindakan kriminalitas. Masyarakat beramai-ramai membeli dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya stok makanan dan peralatan kesehatan selama karantina. Sehingga ketersediaan bahan makanan dan alat kesehatan di pasar dan supermarket menjadi habis dan langka. Ini juga yang akan memicu terjadinya tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan.
Ketiga, Krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Kelompok anti pemerintah akan memanfaatkan situasi darurat covid-19 untuk merekayasa informasi dan menyebarkan hoaks di media sosial. Tujuannya untuk mengkonstruksi sentimen negatif publik terhadap pemerintah. Semakin banyak masyarakat yang tidak percaya pada pemerintah, maka semakin mudah melancarkan propaganda.Â
Seperti beberapa contoh kasus disinformasi yang ditemukan kominfo beberapa waktu lalu (01/04/2020) "Rezim Jokowi Pertontonkan Mega Korupsi Rp 59 Triliun di Tengah Pandemi Covid-19", "Modus Menghabisi Ulama, 5000 Uztadz Akan Disuntik Covid-19 Sampai Mati" (Kominfo, 07/04/2020), Â "Obat yang Dibeli Jokowi dari Cina Komunis Sangat Berbahaya dan Berakibat Kematian" (Kominfo, 25/03/2020), "Obat Avigan yang Dipesan Jokowi adalah Obat Pembunuh Janin" (Kominfo, 24/03/2020), Â "Jokowi Minta Perbanyak Acara Wisata agar Banyak Rakyat Tewas karena Corona" (Kominfo, 24/03/2020). Â Â
Partisipasi Smart User
Data terbaru dari We are Social pada Januari 2020 menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 10 juta pengguna dari tahun sebelumnya, artinya ada 160 juta pengguna aktif media sosial saat ini. Namun tingginya akses masyarakat (user) terhadap media sosial tidak dibarengi dengan tingginya kemampuan masyarakat dalam memilah dan memilih informasi yang benar. Seperti hasil riset Ika Karlina Idris yang diterbitkan di Jurnal Behavior and Information Technology (2018) bahwa pengguna baru media sosial (internet) lebih rentan men-share informasi tanpa konfirmasi data.
Ini juga yang menjadi salah satu penyebab kenapa hoaks atau disinformasi cepat sekali tersebar di media sosial. Oleh karena itu perlu adanya gerakan antisipatif dari para smart user untuk ikut berpartisipasi dalam menangkal dan melaporkan hoaks atau disinformasi kepada Kemenkominfo. Lantas apa dan siapa smart user itu?
Smart user dapat diartikan sebagai pengguna media sosial (internet) yang memiliki kemampuan literasi digital cukup tinggi. Mereka paham bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan teknologi gawai dengan baik dan positif. Paham juga terhadap penerimaan dan pemilahan informasi yang kredibel dan invalid. Sederhananya setiap pengguna media sosial bisa dan mampu menjadi smart user, tentunya dengan syarat sebagai berikut;
- Dapat  mengidentifikasi setiap informasi yang mereka terima. Gunakan model 5W+1 H+1T (why, what, when, where, who+how+truth). Telusuri darimana sumber informasinya dan pastikan informasi itu kredibel atau dapat diterima kebenarannya.
- Gunakan pendekatan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi informasi). Pendekatan ini bersumber dari ajaran Islam yang menekankan prinsip kejelasan dan kebenaran dalam menerima informasi. Smart user dapat tabayyun dengan mengunjungi situs-situs resmi yang berkaitan dengan informasi yang diterima atau mengkonfirmasi berita ke sumber berita. Di tengah pandemi wabah ini tentu media center penanganan covid-19 menjadi rujukan informasi.
- Saring sebelum sharing. Pendekatan ini sangat populer di kampayekan di media massa dan media sosial. Setiap pengguna dituntut untuk dapat menyaring informasi sebelum membagikannya di media sosial.
- Self control (pengendalian diri). Artinya setiap pengguna media sosial bisa mengkontrol dirinya, dengan tidak mudah larut terhadap narasi yang menggugah emosi. Seringkali pengguna media sosial merasa dirinya memahami setiap masalah dari berbagai bidang.
- Laporkan hoaks dan disinformasi. Kemenkominfo sudah membuat link aduan yang bisa diakses oleh smart user yang ingin melaporkan kasus hoaks dan disinformasi yang diterimanya dan identitas pelapor akan dirahasiakan oleh pihak Kemenkominfo.
Semoga kita semua ikut terlibat dalam menangkal hoaks dan disinformasi covid-19 di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H