Mohon tunggu...
Ari Wibowo
Ari Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Tulisan

Belajar Terus Menerus

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jangan Diam, Hadapi Hoaks dan Disinformasi Covid-19

14 April 2020   10:06 Diperbarui: 14 April 2020   10:40 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dari Kominfo: salahsatu bentuk disinformasi terkait covid-19

Semakin mewabahnya covid-19 di Indonesia ternyata berdampak juga pada beragamnya sebaran informasi covid-19 di berbagai platform media sosial seperti whatssapp, facebook, twitter, line, youtube dan media sosial lainnnya. Informasi itupun diterima begitu cepat oleh para penggunanya, bahkan mereka memiliki hak akses untuk mengkonstruksi ulang informasi itu dan mempublikasikannya lagi di media sosial. Inilah apa yang disebut Henry Jenkins (2006) sebagai budaya partisipatori, masyarakat bukan lagi sebagai konsumen informasi tapi juga bisa berperan ganda sebagai produsen dan perekayasa informasi.

Ketika masyarakat memposisikan dirinya sebagai produsen informasi, maka informasi itu ada yang kredibel dan ada pula yang menyesatkan, bahkan berisi kebohongan (hoaks). Seperti kata Hammer (1976) bahwa informasi menjadi sebuah komoditi yang dapat didistorsikan dan disalahartikan, tergantung dari keinginan dan target si pembuat informasi. Ditambah lagi media sosial memberikan ruang yang bebas bagi siapapun untuk menyebarluaskan hoaks dan disinformasi.

Mastel (2017) pernah melakukan survey terhadap 1.146 responden, hasilnya menyebutkan 44,3 % menerima berita hoax setiap hari dan 17,2 % menerima berita hoax lebih dari satu kali dalam sehari. Selain itu Mastel juga menyebutkan bahwa 92,40 % hoax tersebar di facebook, twitter, instagram, path, dan lainnya. Sedangkan pada aplikasi chatting seperti whatsapp, line, dan telegram sebesar 62,80 %.

Meningkatnya trend media sosial di tengah wabah covid-19 membuat fenomena hoaks dan disinformasi seakan tumbuh subur. Setidaknya Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menemukan 474 kasus hoax dan disinformasi terkait covid-19 (Kominfo, 09/04/2020) yang tersebar luas di media sosial. Masifnya sebaran hoaks ditengah wabah covid-19 melebihi sebaran hoaks disaat menjelang pemilu.

Dampak Hoax dan Disinformasi Covid-19

Tanpa disadari masyarakat digital yang tidak peka dan bijak dalam memanfaatkan media sosial  seringkali ikut berkontribusi dalam penyebaran hoaks dan disinformasi terkait covid-19. Bayangkan saja setiap hari whatsapp group kita dipenuhi dengan informasi seputar covid-19. Kontennya pun beragam mulai dari isu pengobatan, wilayah dan pejabat yang terdampak virus, status pasien, dan isu lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan setidaknya ada 3 (tiga) dampak yang ditimbulkan.

Pertama, ketakutan di tengah masyarakat. Narasi hoaks terkait covid-19 yang dibalut gambar ilustrasi begitu menyentuh sisi emosional si pembaca dan tanpa disadari mereka  larut dalam ketakutan dan kecemasan. Seperti beberapa contoh hoaks dan disinformasi berikut;  "Warga Boalemo, Gorontalo Positif Corona" (Kominfo, 02/04/2020), "Kakak-Adik Relawan di RS Wisma Atlet Meninggal karena Corona" (Kominfo, 02/04/2020), "Imigran China Sengaja Membawa Virus untuk Membasmi Rakyat +62" (Kominfo, 01/04/2020), "Viral Pesan Berantai Area Bandung Lockdown" (Kominfo, 30/03/2020), "TPU Ditutup Akibat Virus Corona dan Jenazah Diminta Diletakkan Dahulu di Rumah" (Kominfo, 19/03/2020).

Eli Lebowits (Pakar Psikologi Universitas Yale Amerika Serikat) mengatakan bahwa ketakutan dan kecemasan yang tidak dikelola dan diatasi dengan baik dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Lebih lanjut Anthony de Mello (1997) mengingatkan bahwa rasa takut dan cemas terhadap wabah penyakit akan membangun sugesti negatif pada diri seseorang. Bisa jadi yang semula tidak sakit menjadi sakit karena rasa takut dan cemas yang tak terkendalikan. Tentu dampak ini akan sangat berbahaya dan memberi efek psikologis jangka panjang. Sedangkan masalah lainnya, tidak semua masyarakat mampu mengelola dan meredam ketakutan dan kecemasan yang mereka rasakan. Pada akhirnya akan membawa mereka pada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Seperti adanya kasus penolakan jenazah, penolakan pendatang, stigmatisasi terhadap pasien dan keluarga pasien covid-19.

Kedua, kepanikan yang berlebihan. Masifnya sebaran hoaks dan disinformasi di media sosial semakin mempertajam ketidakjelasan informasi yang diterima oleh masyarakat. Ditambah lagi narasi pemberitaan kasus covid-19 di media massa tidak diimbangi dengan narasi positif yang dikembangkan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat yang lainnya. Seperti kasus disinformasi terkait beberapa daerah yang akan melakukan karantina wilayah (lockdown lokal) membuat sebagian masyarakat menjadi panik dan khawatir yang berlebihan. 

Kepanikan yang berlebihan ini justru akan menimbulkan masalah baru seperti panic buying dan tindakan kriminalitas. Masyarakat beramai-ramai membeli dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya stok makanan dan peralatan kesehatan selama karantina. Sehingga ketersediaan bahan makanan dan alat kesehatan di pasar dan supermarket menjadi habis dan langka. Ini juga yang akan memicu terjadinya tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan.

Ketiga, Krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Kelompok anti pemerintah akan memanfaatkan situasi darurat covid-19 untuk merekayasa informasi dan menyebarkan hoaks di media sosial. Tujuannya untuk mengkonstruksi sentimen negatif publik terhadap pemerintah. Semakin banyak masyarakat yang tidak percaya pada pemerintah, maka semakin mudah melancarkan propaganda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun