Mohon tunggu...
Yosef M.P Biweng
Yosef M.P Biweng Mohon Tunggu... Guru - Guru pedalaman

Musafir sebagai guru di pedalaman Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah atau Gaharu?

20 Oktober 2024   04:36 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lika-liku pendidikan di pedalaman

         (Oleh Yosef MP Biweng) 

Sekilas gambaran umum 

Bicara soal pendidikan pasti tidak akan selesai hanya di bangku sekolah saja, dimana saja kita berada entah di rumah, di pasar, di kebun, di hutan, dimana saja kita berada, kita akan berhadapan dan mengalami langsung dengan yang namanya pendidikan. Sehingga kita kenal dengan pendidikan formal dan non-formal. Jadi, jangan katakan bahwa pendidikan itu hanya di sekolah saja, diluar dari sekolah itu bukan pendidikan. Itu pernyataan yang salah? Pendidikan itu tak terbatas dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu, pada hakekatnya, pendidikan adalah sekolah kehidupan. 

Pendidikan pada umumnya di Indonesia dan lebih khusus di Papua Selatan, pedalaman kabupaten Asmat, tidak semudah yang dibayangkan seperti pendidikan di kota Agats ibukota kabupaten Asmat. Butuh kerja ekstra untuk bidang pendidikan. Kita tidak bisa saling menyalahkan antara siswa, orangtua atau guru, atau yang lebih sadis lagi sistem?

Pendidikan lebih khusus lagi, di distrik Awyu yang secara administratif memiliki enam kampung besar, yaitu kampung Sohomane, Suagai, Yerfun, Wagi, Yefu dan Sagare. Wilayah di Awyu memiliki tiga tingkat pendidikan, yakni dua pendidikan Sekolah Dasar Inpres Suagai dan Sekolah Dasar Inpres Sagare. Dan satu SMP Persiapan Negeri Awyu. 

Mata pencaharian masyarakat Awyu adalah meramu, ada juga yang berkebun. Dan berpindah menjadi mencari kayu gaharu. Pada umumnya masyarakat lebih memilih mencari kayu gaharu dari berkebun atau bertani. Alasan sederhana saja bahwa lebih mudah mendapatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Kayu gaharu membuat masyarakat lupa akan masa depan anak - cucu mereka. Tidak berpikir bahwa kayu gaharu akan susah didapat dan mungkin akan tinggal kenangan saja.

Kita kembali bicara soal pendidikan. Jumlah peserta didik secara kuantitatif sangat banyak, tetapi secara kualitas masih rendah diukur dari baca, tulis dan berhitung masih dibawah rata-rata. Sangat memprihatikan sekali, dan kenyataannya di lapangan yang terjadi seperti itu. 

Kesulitan di tingkat SMP adalah masih banyak ditemukan anak-anak yang belum bisa baca, tulis dan berhitung. Apakah mereka harus kembali ke Sekolah Dasar? Pasti tidaklah, karena tolak ukur adalah umur lagi, secara sistem tidak bisa terdaftar dalam dapodik, jika umur sudah lewat. Maju tidak, mundur juga tidak?

Kesadaran akan pentingnya pendidikan 

Bicara tentang kesadaran, kita bicara juga soal kebiasaan. Menurut saya, dua hal ini tidak bisa kita pisahkan. Antara kesadaran dan kebiasaan ini harus berjalan bersamaan. Satu hal yang saya temui adalah masyarakat (orangtua) kebanyakan kurang menyadari tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anak mereka. 

Orangtua menganggap pendidikan itu biasa-biasa saja, tidak terlalu penting juga. Faktanya bahwa ketika orangtua ke kota, pasti anak-anak juga diajak ikut ke kota. Alasan orangtua hanya sederhana saja, takut anak-anak tinggal sendiri di kampung, jadi kami harus bawa mereka juga ke kota, sekalian mereka jaga mereka punya adik. 

Kasus lain lagi, kalau orangtua pergi ke hutan untuk mencari makan, pasti anak-anak juga diajak ikut untuk mencari makan. Dan itu terjadi pada anak-anak yang tinggal di kampung yang dekat dengan sekolah, kampung wagi, kampung Yefu dan kampung Sagare. 

Sedangkan anak-anak sekolah yang berasal dari tiga kampung lain, Sohomane, Suagai dan Yerfun. Tiga kampung tersebut jaraknya jauh dari sekolah, sehingga anak-anak harus berjuang datang tinggal di ujung kantor distrik, di situ ada lahan kosong yang bisa digunakan untuk membuat rumah tempat tinggal mereka. Maka orangtua mereka berusaha untuk membuat rumah yang sederhana demi anak-anak mereka bisa tinggal dan pergi ke sekolah. 

Faktor lain adalah keterbatasan ekonomi. Kebanyakan pekerjaan orangtua rata-rata petani ( dan lebih mengandalkan hasil jualan kayu gaharu). Makanan pokok adalah sagu. Dan kebanyakan anak-anak sekolah yang Asli Orang Papua bertahan demi Sekolah dengan makan sagu setiap hari selama persediaan sagu masih ada. Kalau sagu habis, mau tidak mau mereka harus kembali ke kampung untuk ambil makanan sagu lagi. 

Anak-anak yang berasal dari tiga kampung diatas Yerfun, Suagai dan Sohomane, mereka tinggal berdasarkan keluarga dan kampung asal mereka. Mereka dengan modal nekad demi masa depan, mereka tinggal sendiri tanpa didampingi orangtua di rumah sederhana (rumah befak) yang dibuat oleh orangtua mereka dan makanan cuma sagu ( beras itu ada jika ada uang hasil jualan kayu gaharu). Jadi, jika sagu habis, mereka harus minta ijin untuk pergi kembali ke kampung ambil makanan (sagu). Dan itu bisa pergi satu sampai dua minggu baru kembali untuk masuk sekolah. 

Terkadang mereka manfaatkan kesempatan ijin itu pergi masuk lokasi hutan untuk mencari kayu gaharu. Dan itu bisa sampai dua minggu atau satu bulan baru kembali ke sekolah. Masalah utama yang menghadapi pendidikan di kampung adalah kurang kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan bagi anak dan juga makanan. 

Faktor kayu gaharu mempengaruhi pendidikan.

Pada umumnya di masyarakat Awyu mata pencahariannya peramu, beralih ke berkebun atau bertani. Dan sekarang beralih ke mencari kayu gaharu. Masyarakat lebih memilih mencari gaharu, karena dengan mendapatkan kayu gaharu, mereka bisa mendapatkan jumlah uang besar. Dan dari hasil penjualan kayu gaharu tersebut, mulai dari anak kecil sampai yang tua semua bisa pegang uang merah-biru (100.000 dan 50.0000). Mereka bisa pegang uang ratusan ribu sampai jutaan rupiah. 

 Hal ini yang menyebabkan anak-anak sekolah mungkin berpikir kalau sekolah itu tidak ada uang, maka itu lebih baik pergi ke hutan mencari untuk pergi mencari kayu gaharu, kalau dapat berarti bisa pegang uang banyak. Dan kalau anak-anak sekolah sudah pergi ikut mencari kayu gaharu, berarti mereka bisa dua minggu bahkan sampai satu atau dua bulan baru mereka bisa kembali ke kampung untuk sekolah. Akibat terlalu lama di hutan, akhirnya baca, tulis dan berhitung jadi tidak tahu. 

Ternyata kebiasaan mencari kayu gaharu sudah sejak anak-anak masih dalam kandungan, lahir dan besar karena ikut orangtua pergi ke hutan untuk mencari kayu gaharu. Akibatnya anak-anak terbiasa dengan kebiasaan orangtua, mereka juga lebih memilih masuk ke hutan untuk mencari kayu gaharu dan bisa mendapatkan uang yang banyak daripada belajar membaca, menulis dan menghitung yang sudah buat kepala pusing dan sakit serta tidak menghasilkan jumlah uang yang banyak.

Nilai jual kayu gaharu sangat fantastis. Kenapa? Dari hari penjualan kayu gaharu tersebut bisa menghasilkan uang berjuta-juta bahkan ratusan juta rupiah. Sangat fantastis bukan!. Makanya kesadaran untuk pendidikan sangat kurang. Orangtua juga sibuk dengan mencari gaharu, lupa bahwa perkembangan zaman ini akan mempengaruhi pertumbuhan anak-anak mereka, terutama pendidikan. Anak juga merasa bahwa pendidikan juga tidak terlalu penting karena lebih baik saya pergi mencari kayu gaharu, saya bisa dapat banyak uang, bisa beli makan-minum, HP baru, speaker baru, baju dan celana baru, dll.

Benar bahwa tidak semua orangtua memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Ada juga orangtua yang berjuang mencari kayu gaharu untuk pendidikan anak-anak mereka, bahkan sampai di tingkat perguruan tinggi dengan hasil penjualan kayu gaharu.  

Namun kita bisa ukur tingkatan pendidikan yang ada di kampung, terutama anak-anak yang sekolah aktif dan benar-benar datang ke sekolah untuk belajar jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang putus sekolah di usia sekolah itu lebih banyak. Banyak anak yang memilih tidak sekolah karena ikut orangtua pergi mencari kayu gaharu daripada anak-anak yang merasa sekolah itu penting untuk masa depan mereka.

Faktor lain juga adalah makanan. Kalau tidak ada makanan, pasti semua aktifitas tertunda bahkan sampai tidak bisa berjalan sama sekali.  Itu yang dialami oleh anak-anak sekolah di pedalaman. Faktor lain juga, orangtua tidak membangun nilai kesadaran pada diri anak tentang pentingnya pendidikan. Dan yang lebih paranya adalah anak-anak juga tidak mau sekolah dan tidak membangun nilai kesadaran dalam diri mereka. 

Akhirnya, anak-anak lebih memilih mencari kayu gaharu daripada pergi ke sekolah. Sulitnya untuk mendapatkan makanan yang mengandung gizi dan vitamin, karena setiap hari hanya mengkonsumsi makanan lokal yaitu sagu. Nasi itu kadang-kadang, itupun kalau ada uang.

Faktor makanan membuat anak-anak mudah sakit, kadang tidak makan baru ke sekolah. Fungsi kontrol dari orangtua tidak ada. Anak-anak juga pergi sekolah bukan karena benar-benar mau sekolah. Tetapi seperti hanya ikut rameh saja. Hasilnya adalah belajar juga tidak benar satu. 

Dari sini kita bisa ukur tentang perkembangan dan kemajuan pendidikan di daerah pedalaman. Kesadaran akan pendidikan seakan mati suri, maju tidak, mundur juga tidak. Pemerintah sudah membantu dengan menyediakan sarana pendidikan yakni sekolah di setiap pedalaman (kampung-kampung). Tenaga guru juga sudah ada. Tetapi kesadaran orangtua untuk mengajak anak ke sekolah itu masih sangat jauh dari kurang. 

Mungkin hanya sebagian orangtua yang berpikir baik untuk masa depan anaknya. Anak tidak pergi sekolah, orangtua tidak marah, tapi kalau guru terlambat naik untuk buka sekolah, orangtua marah-marah bahkan sampai ditingkat melapor ke dinas. Guru ada di tempat tugas, sebagian besar anak sekolah pemalas ke sekolah. Orangtua membiarkan anak tidak sekolah. Begitulah lika-liku jadi guru di pedalaman.

Perlu membangun kesadaran kepada masyarakat lewat sosialisasi pendidikan bahwa pendidikan itu sangat penting. Kayu gaharu yang ada saat ini, 50 tahun kedepan, pasti sudah tidak ada. Maka, anak-anak perlu disekolahkan agar mereka bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dan mungkin mereka bisa kembali untuk kelolah hasil hutan seperti kayu gaharu ini. Ingat masa depan anak, masa depan cucu dan generasi selanjutnya. Warobagio...

Awyu, 19 Oktober

 2024, pukul 13:56 WIT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun