Mohon tunggu...
Bitorian Arsyad
Bitorian Arsyad Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

Berusaha dan yakin adalah kunci keberhasilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya Pencatatan Perkawinan di Indonesia

20 Februari 2024   21:21 Diperbarui: 20 Februari 2024   21:30 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Anggota Kelompok 9 

1.Siti Nurafifah(222121107)

2.Zahroyus sadiyah (222121172)

3.Bitorian Arsyad Yanuar (222121183)

4.Wachida Hanum Sukma (222121195)

1. Sejarah Pencatatan Perkawinan Di Indonesia

Pencatatan perkawinan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan bervariasi.Sebelum masa kolonial, pencatatan tradisi perkawinan di Indonesia umumnya dilakukan secara lisan atau melalui upacara adat yang diakui oleh masyarakat setempat. Namun, dengan masuknya penjajah Belanda pada abad ke-17, praktik pencatatan perkawinan mulai diatur secara formal.

    Pada masa kolonial Belanda, sistem pencatatan perkawinan di Indonesia diatur berdasarkan hukum adat dan hukum kolonial Belanda. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh gereja-gereja Kristen yang berperan sebagai catatan sipil, sementara masyarakat non-Kristen diatur oleh hukum adat setempat. Hal ini menciptakan disparitas dalam pencatatan perkawinan antara masyarakat Kristen dan non-Kristen.

    Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai mengatur ulang sistem pencatatan perkawinan untuk menciptakan keadilan dan keadilan bagi seluruh warga negara. Undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur tata cara pencatatan perkawinan secara resmi dan sah.Dengan perkembangan informasi teknologi, proses pencatatan perkawinan di Indonesia semakin modern dan efisien. Pemerintah telah meluncurkan sistem pencatatan perkawinan secara online untuk memudahkan masyarakat dalam melaporkan dan mencatat perkawinan mereka. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data perkawinan di Indonesia. Secara keseluruhan, sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia mencerminkan evolusi sistem hukum dan administrasi negara dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat serta menjamin perlindungan hukum bagi setiap individu yang menjalani ikatan pernikahan.

2. Mengapa Pencatatan Perkawinan Diperlukan?

Pada hakekatnya tujuan dari pencatatan perkawinan antara lain :
a. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
b. Agar lebih terjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
c. Agar ketentuan Undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif.
d. Agar nilai-nilai norma keagamaan dan adat serta kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.
e. Agar menjaga hak- hak dan kepastian hukum bagi wanita dan anak. pencatatan perkawinan juga penting untuk melindungi hak-hak individu, terutama hak perempuan dan anak-anak. Dengan adanya catatan resmi, pemerintah dapat memantau dan mengawasi perkawinan yang dilakukan, sehingga dapat mencegah praktik pernikahan anak, poligami yang tidak sah, atau kekerasan dalam rumah tangga.
f. pencatatan perkawinan juga membantu dalam mengatur administrasi kependudukan dan statistik penduduk. Data perkawinan yang tercatat dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan, kebijakan sosial, dan analisis demografi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan yang lebih efektif.
g. Pencatatan perkawinan juga memudahkan proses administrasi dan legalitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki catatan resmi, pasangan suami istri dapat dengan mudah mengurus berbagai dokumen resmi seperti kartu identitas, akta kelahiran anak, dan dokumen keimigrasian.

3.  Analisis makna filosofis, sosiologis, religious, dan yuridis pencatatan perkawinan
     Pencatatan pernikahan melibatkan aspek makna filosofis, sosiologis, religius, dan yuridis yang kompleks. Dari sudut pandang filosofis, ini terkait dengan pemahaman mendalam mengenai hubungan antarindividu, di mana pernikahan dianggap sebagai perjanjian moral dan etis yang membangun dasar untuk pembangunan keluarga dan masyarakat yang kokoh.

     Dalam perspektif sosiologis, pencatatan pernikahan mencerminkan struktur sosial masyarakat, termasuk norma-norma yang mengatur interaksi antarindividu dan peran keluarga dalam mengelola pola hubungan sosial. Pencatatan ini juga dapat berperan dalam memperkuat kohesi sosial dan identitas kelompok masyarakat.

     Secara religius, pencatatan pernikahan memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai keagamaan. Berbagai agama mengajarkan bahwa pernikahan merupakan institusi suci yang terkait dengan rencana ilahi, sehingga pencatatan ini dianggap sebagai tindakan penghormatan terhadap norma agama dan peneguhan atas janji yang diucapkan di hadapan Tuhan.

    Dari perspektif yuridis, pencatatan pernikahan menjadi landasan hukum untuk hubungan pasangan, mencakup hak dan kewajiban hukum seperti hak properti, dukungan finansial, dan hak asuh anak. Selain itu, pencatatan ini berperan dalam melindungi hak-hak anak yang lahir dari pernikahan, memberikan dasar hukum untuk pembagian harta, serta menetapkan kewajiban dan hak-hak pasangan dalam konteks hukum negara Secara keseluruhan, pencatatan pernikahan tidak hanya bersifat administratif semata, melainkan melibatkan dimensi yang mencakup nilai-nilai mendalam dari berbagai perspektif kehidupan manusia.

4. Bagaimana menurut pendapat kelompok anda tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious dan yuridis?
     Menurut pendapat kelompok kami, setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan kesahan suatu perkawinan, yang memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas kesahannya, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak yang lainnya. Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum.

     Pentingnya pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pihak yang melakukan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya jika pencatatan perkawinan tidak dilakukan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki bukti yang autentik dari negara sebagai suatu perkawinan.

    Dari segi sosiologi, dampak negatif dari nikah siri adalah tidak diakuinya perkawinan tersebut oleh masyarakat, namun juga dapat berdampak pada kesehatan mental para pelakunya karena secara tidak langsung dicemooh oleh masyarakat sekitar.

   Dampak secara religius dari sudut pandang agama, Al-Quran menyatakan bahwa akad nikah adalah  perjanjian yang kuat dan tidak boleh disamakan dengan perjanjian biasa. QS.An-Nisa Ayat 21 Allah SWT menjelaskan bahwa suatu perjanjian  yang adil dan benar (termasuk akad nikah) adalah  yang disertai dengan bukti. Bukti utama adalah bukti rekaman.

   Dan yang terakhir yaitu dampak yuridis dari segi hukum, seorang perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah dan tidak berhak menerima nafkah atau warisan dari suaminya jika terjadi perceraian  atau meninggal dunia, dan di luar itu seorang istri tidak berhak atas harta warisan bersama, tidak ada haknya juga, harta benda atau harta bersama apabila terjadi pemisahan.

Oleh karena perkawinan itu secara sah dianggap tidak pernah terjadi, maka anak yang dilahirkan itu sah dianggap sebagai anak tidak sah  dan  mempunyai hubungan perdata hanya dengan ibu dan keluarganya. Kalaupun suatu perkawinan dilangsungkan berdasarkan agama atau kepercayaan, maka perkawinan itu tidak akan diakui oleh negara kecuali jika dicatatkan oleh Biro Agama. Para pihak kemudian mengalami kesulitan administratif dan tidak memiliki surat nikah resmi  yang dapat digunakan sebagai  bukti di pengadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun