Diantara jawabannya adalah para siswa mendapatkan bantuan dana pendidikan dari Kerajaan Thailand. Dana inilah yang diatur untuk sirkulasi semua yang ada di sekolah termasuk untuk gaji guru. "Kalo bangunan yang sedang dibangun itu?", tanyaku lagi. "Itu bantuan dari seorang pengusaha di Dubai, Uni Emirat Arab, termasuk masjid sekolah, juga bantuan dari beliau", jawab Cece Rina. Sekolah juga memiliki 26 kendaraan van untuk antar jemput para siswa dan makan siang gratis untuk seluruh siswanya.Â
"Ini contoh yang bagus, coba teliti kok bisa sekolah ini menggratiskan seluruh siswanya, padahal ini adalah sekolah swasta", aku memberikan masukan kepada salah satu mahasiswa UIMSYA yang ditempatkan KKN di sekolah ini. "Siapa tau kita bisa belajar dari manajemen sekolah ini dan bisa kita terapkan di sekolah yang ada di Indonesia".
Menjelang maghrib, kami kembali ke sekolah Bukit Islamiyah dan berpamitan ke anak-anak mahasiswa yang sedang KKN. Aku dan Mr. John berpamitan dan memberikan pesan kepada mereka agar selalu menjaga nama baik kampus UIMSYA dan Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, "Bagaimanapun kalian semua adalah mahasiswa dan santri Pondok Pesantren. Kalian adalah duta besar UIMSYA dan Pondok Pesantren Blokagung di luar negeri. Maka, berikan pesan dan kesan terbaik yang kalian bisa, dan semoga betah atau kerasan sampai KKN berakhir nantinya".
Selanjutnya, kami diajak ke rumah Pak Lukman. Kami menunggu Ustadz Po'o yang akan ikut mengantarkan kami dari Narathiwat menuju Hat Yai. Kami akan terbang ke Indonesia lewat bandara internasional Hat Yai. Jam 9 malam Ustadz Po'o datang dengan mebawa mobil Isuzu Dmax. Saat hendak berangkat, tiba-tiba mobil mati, tidak mau distarter. Bahkan Pak Lukman sudah mencoba menghubungkan kabel aki mobilnya ke mobil Po'o, namun tetep tidak mau hidup.
Akhirnya, kami semua mendorong mobil Dmax. Beberapa kali tetap tidak mau hidup. Ada dua pemuda desa yang menghampir dan mereka ngobrol dengan bahasa melayu Thailand, aku tidak faham apa yang mereka obrolkan. Intinya, setelah itu mereka membantu mendorong mobil dan akhirnya mobil hidup dan kami berangkat menuju Hat Yai.
Sebagaimana keberangkatan kami dari Hat Yai menuju Narathiwat kemarin. Saat kami pulang dari Narathiwat menuju Hat Yai, perjalanan tidaklah mulus. Beberapa kali kami menemui jalanan yang sedang banjir. Bahkan saat sampai di Pattani, banyak jalan yang ditutup dan kami harus memutar mencari jalan-jalan alternatif.
Sudah mencari beberapa jalan alternatif, semua ditutup karena banjir. Mau tidak mau, akhirnya Pak Lukman dan Ustadz Po'o harus menerjang jalanan yang sedang banjir. Aku melihat jalanan kanan kiri banjir sampai menuju ban mobil kami. Kami berjalan perlahann. "Untungnya kita bawa mobil minibus double kabin, jadi insya Allah aman", ujar Pak Lukman. Lebih dari 2 KM, perkiraanku, kami melewati jalanan yang tertutupi banjir, karena sudah tidak menemukan jalur alternatif yang bebas dari banjir. Itupun semua listrik mati total.
Kanan kiri banyak kami temui tenda-tenda pengungsian dari masyarakat Pattani yang terkena banjir. Banyak lalu lalang mobil yang sedang stand by menjaga wilayah dan menjaga jalan memberikan informasi mobil yang akan berjalan menembus banjir. Mobil-mobil sedan dilarang oleh mereka. Tapi mobil kami karena tinggi, dipersilakan untuk maju menembus banjir-banjir itu.
Dari Narathiwat ke Hat Yai kami tempuh 5 jam, jika jalanan normal, seharusnya ada sekitar 3 jam. Tetapi ini sudah bagus, saat berangkat kemarin, kami berjalan selama 8 jam dari Hat Yai ke Narathiwat karena harus melewati hutan-hutan dari jalur alternatif yang bebas dari banjir.
Sampai hotel di Hat Yai tepat jam 1 lebih pada dinihari. Kami istirahat di hotel sampai pagi. Pagi hari saat kami hendak cek out dari hotel. Mobil tidak bisa hidup lagi. Petugas hotel membantu kami dengan mendekatkan mobilnya dan menarik kabel dari aki mobilnya ke mobil yang hendak kami tumpangi dan tidak sukses. Mobil tetap tidak mau hidup, akhirnya untuk kedua kalinya kami harus mendorong lagi dan tidak langsung hidup. Setelah beberapa kali didorong, mobil mau hidup.
Sebelum sampai bandara. Kami mencari sarapan di pinggir jalan raya. Mobil tetap dihidupkan dan tidak dimatikan, takut tidak mau distarter. Kami pesan nasi goreng Thailang, "Di Indonesia, menu seperti ini biasanya untuk makan malam", ucapku kepada Pak Lukman dan Ustadz Po'o.