Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Doktor UIN Malang. Ketua Umum JATMAN Banyuwangi. Dosen UIMSYA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dunia Media Dakwah

28 Desember 2020   05:46 Diperbarui: 28 Desember 2020   06:04 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
STON, Seed The One Nabi. Genteng, Banyuwangi (Foto : ElHa Abdullah)

"Tidak setiap orang bisa berbicara urusan dakwah di tempat umum. Dai harus punya sertifikasi dari pihak Al-Azhar yang menjadi lembaga yang bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan di Mesir. Sehingga kegaduhan yang ditimbulkan dari para dai yang tidak kompeten bisa diminimalisir", seperti inilah yang aku utarakan ketika Gus Lukman bertanya tentang bagaimanakah realitas dakwah di luar negeri, khususnya Mesir yang aku tau ketika mengisi sharing di acara STON (Seed The One Nabi) di Genteng, Banyuwangi pada hari Minggu, 27 Desember 2020.

Saat aku sedang berkumpul bersama keluarga di Melik, Parijatah Kulon, tiba-tiba ada pesan WA baru masuk. Tidak ada nama. Tidak ada perkenalan. Dia langsung mengucapkan salam. Karena begitu seringnya hal seperti ini terjadi, biasanya aku jawab salamnya secara lisan saja, tidak dengan Wanya, ketika yang bersangkutan mulai memperkenalkan diri, maka aku jawab Wa-nya.

Rupanya, saat aku membuka Facebook, ada pesan masuk juga di Messenger, dari Elha Abdullah. Beliau meminta nomor saya dan memberikan nomornya. Aku masih belum tahu apa maksud beliau menghubungi selain shilaturahim.

"Ustadz, kami akan mengadakan acara STON, temanya adalah Dunia Media Dunia Dakwah. Pemateri pertama sudah ada berbicara tentang Media, tapi belum menemukan pemateri kedua untuk Dakwah. Jika berkenan, Ustadz bisa menjadi pembicara kedua", beliau mengirimkan pesan WA lanjutan.

Aku tidak langsung mengiyakannya dan balik bertanya, "Kapan waktunya Gus?". "Minggu pagi jam 08.30". Gus Lukman menghubungiku pada malam jum'at sebelumnya, dua hari sebelum acara dilaksanakan. "Apa harus memakai PPT untuk presentasi?", "Oh tidak, kita konsepnya ngobrol santai", jawabnya lagi. "Siap".

Beliau meminta foto yang pantas dipajang untuk dibuatkan meme dari acara STON yang berarti Seed The One Nabi yang sudah berjalan sekian puluh kali. Aku meminta kepadanya untuk mencari foto-fotoku di FB biar bisa memilih mana yang kiranya pas menurut selera pribadi beliau. 

Tidak berselang lama, meme tentang acara STON sudah beliau kirim kepadaku. Temanya adalah "Dunia Media Dunia Dakwah" yang akan dilaksanakan pada hari Minggu, 27 Desember 2020, bertempat di Rumah Ta'lim Ababil yang beralamatkan di Genteng, Banyuwangi. Pembicara pertama dari jurnalis Times Indonesia; Mas Rizwan. Aku menjadi pembicara kedua.

Seketika, aku ikut menyebarkan meme informasi dari acara ini ke beberapa media sosial yang aku miliki, mulai dari FB, IG, status WA hingga WA group yang aku ikuti, berharap dengan tersebarkanya informasi, akan banyak pula yang hadir ikut dalam acara nantinya.

Malam Jum'at di hari yang sama, tiba-tiba Gus Rizki dari Kedunggebang juga menelepon, biasanya kami hanya komunikasi via WA saja, sudah lama sekali tidak telepon, namun kali ini beliau menelepon dan langsung bertanya, "Malam Sabtu kosong Gus?", "Ada apa Gus", tanya saya balik. "Saya ke Bojonegoro, teman-teman sedang mengadakan MAKESTA IPNU IPPNU. Jika kosong dan berkenan. Anda diminta untuk mengisi". Ketika dibutuhkan dan aku punya waktu, berat rasanya untuk mengatakan tidak. "Siap Gus".

Aku teringat dengan sebuah kata hikmah dari kisah kehidupan dua bersaudara yakni Sayyidina Hasan RA. dan Sayyidina Husein RA. Pernah satu ketika Sayyidina Hasan lewat ke depan rumah adiknya; Sayyidina Husen. Beliau melihat begitu banyak kerumunan manusia yang sedang menunggu antri untuk shilaturahim ke rumah beliau.

"Sedang apa kalian semua di rumah adikku?", tanya beliau ke mereka. "Kami sedang menunggu Sayyidina Husen untuk mengutarakan segala kebutuhan yang kami inginkan agar diberikan solusi oleh beliau. Kami mengharap keberkahan dari beliau", jawab mereka dengan bahasa yang berbeda, tetapi intinya adalah mereka ingin dibantu oleh Sayyidina Husen yang menjadi tokoh masyarakat dan cucu dari Baginda Nabi.

Hingga lama mereka menunggu dan Sayyidina Husen belum juga muncul untuk menemui dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Hingga Sayyidina Hasan menjadi iba terhadap kerumunan orang yang sedang lama menunggu ini. Beliau meminta secarik kertas dan meminjam polpen kepada satu dari mereka, lalu menuliskan sebuah kalimat pendek dalam bahasa arab yang kurang lebih jika artikan adalah "Butuhnya manusia kepada dirimu adalah sebuah nikmat yang Allah berikan kepadamu, maka jangan kau sia-siakan, jika tidak ingin berubah menjadi musibah".

Kata itu oleh Sayyidina Hasan diselipkan di bawah pintu masuk rumah Sayyidina Husen. Ketika Sayyidina Husen hendak keluar dari rumahnya, beliau melihat kertas itu dan membacanya. Seketika apa yang ditulis oleh kakaknya itu menjadi pedoman selama hidupnya. Beliau tidak pernah lagi mengabaikan setiap orang yang butuh kepadanya. Hidup beliau senantiasa untuk Khidmah, melayani masyarakat. Sungguh pesan yang sangat mulia, selaras dengan sebuah ungkapan yang berarti, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka".

Minggu pagi, aku berangkat dari Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Sumberberas untuk memenuhi undangan dari Gus Lukman mengisi kajian sharing STON. Jadwalnya adalah jam 08.30, aku berangkat jam 08.00, secara jadwal pasti telat, karena perjalanan dari Sumberberas ke Genteng, jika menggunakan mobil, mestinya lebih dari 30 menit.

Sampai di lokasi acara hampir jam 09.00, tempat sudah ramai. Para peserta sedang menunggu. "Assalamu'alaikum", aku mengucap salam dan bersalaman kepada mereka yang sedang asyik mengobrol bersama teman-temannya. "Silahkan, silahkan Ustadz", tampak seseorang keluar dari dalam rumah dan bergegas mempersilahkan kepadaku untuk duduk bareng bersama seorang tamu.

"Saya Irul", "Saya Rizwan", keduanya memperkenalkan diri setelah aku juga berkenalan. Mas Irul dari Tegalsari, teman dari Gus Lukman. Mas Rizwan, aku mengetahuinya dari meme acara ini yang tersebar dan sekarang aku bisa bertemu bertatap muka secara langsung, beliau rumahnya di dekat Ponpes Aswaja, depan kampus UBI di Cluring. Jurnalis dari Times Indonesia di Banyuwangi.

Gus Lukman sendiri, aku sudah lama mengenalnya, tapi sebatas dari media sosial Facebook saja, ini adalah pertama kalinya aku bertatap muka secara langsung. Alhamdulillah, berkah shilaturahim.

Jam 09.30 kami memulai acara. Gus Lukman sebagai pembawa acara dan memberikan prolog. Kami menyanyikan bersama lagu Indonesia Raya sebagai bentuk kecintaan sejati kepada tanah air tercinta dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci al-qur'an surat Asy-Syams secara tartil. Secara sekilas Gus Lukman memperkenalkan dua pembicara yang duduk disamping beliau, lalu memberikan waktunya kepadaku untuk berbicara sharing tentang dunia dakwah terlebih dahulu sebelum dilanjutkan oleh Mas Rizwan yang akan berbicara tentang dunia media.

Aku memperkenalkan diri lagi, menambahkan apa yang sudah dimulai barusan oleh Gus Lukman. Teorinya tetap klasik, "tak kenal maka tak sayang". Dengan baghround jurusan Tafsir Al-qur'an yang pernah aku pelajari di Universitas Al-Azhar Mesir, aku tertarik untuk mengulas kandungan makna dari Surat Asy-Syams yang barusan dibacakan oleh salah satu santri dari Gus Lukman.

Aku juga menjelaskan tentang pentingnya berdakwah sesuai dengan konteks yang dibutuhkan oleh masyarakat, sesuatu yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan. Kepo, ingin tau dengan kondisi yang ada di sekitar, sehingga apa yang disampaikan bisa memberikan solusi permasalahan yang ada.

Namun, semua tetap ada aturannya. Tidak setiap orang berhak untuk berdakwah menyampaikan ajaran agama. Walaupun konsep umumnya adalah hadits yang sering sekali kita dengarkan dan sering diulang-ulang oleh para dari, "sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat" yang sering menjadi pedoman agar setiap orang menjadi dai.

Aku menyampaikan bahwa, dai itu yang disampaikan adalah kitab suci dari Tuhan, mulai dari Al-qur'an hingga hadits. Seperti halnya kita tidak berani bermain listrik, karena tidak punya keahlian untuk itu.

Kita tidak bisa menjadi guru TK, SD, bahkan SMP kalau tidak punya SK menjadi guru. Kenapa banyak dari kita berani berucap tentang al-qur'an hingga hadits, padahal tidak punya keahlian dan izin untuk menyampaikan itu?!. Sehingga yang terjadi, akibatnya adalah terkadang kesalahfahaman akan arti dan menyebabkan kegaduhan karena salah faham gara-gara pemahaman yang salah.

Selanjutnya Mas Rizwan berbicara tentang Dunia Media. Beliau adalah lulusan psikologi, namun tertarik untuk menjadi jurnalis dan berkarya bersama Times Indonesia yang menjadi media yang memiliki jaringan di seluruh dunia.

Fakta yang mencengangkan ketika Mas Rizwan menyebutkan bahwa pengguna aktif internet di Indonesia hampir menyentuh 175 juta jiwa, yang berarti bahwa hampir separo penduduk di Indonesia sudah merasakan yang namanya internet. Bahkan hp android yang dulunya hanya dipakai dan dinikmati oleh para intelejen, sekarang bisa dinikmati oleh semua orang.

Ini tantangan, sekaligus sebagai peluang. Apakah terbukanya informasi ini akan dimanfaatkan untuk hal positif seperti halnya dakwah atau hal-hal negative seperti untuk provokatif, pornograpi, untuk memecah belah bangsa dan lain sebagainya. Ini adalah PR buat kita semua.

Bahkan hingga saat ini Mas Rizwan masih aktif menjadi policy cyber. Membantu pemerintah untuk melaporkan situs-situs yang melanggar UU ITE. Pernah timnya Mas Rizwan melakukan sebuah penelitian tentang situs-situs yang berisi konten yang melanggar undang-undang dan waktu itu ditemukan sekitar satu juta tiga ratus situs yang terindikasi telah melakukan pelanggaran. Itu bukan jumlah yang sedikit.

Setelah kami memaparkan materi masing-masing. Gus Lukman memberikan waktu kepada perwakilan dari peserta yang hadir untuk membacakan puisi. Tema puisi yang dibaca adalah tentang "Kepalsuan Media Sosial". Lalu diiringi dengan pembacaan puisi tentang "Pandemi Covid" dari Uma Lia yang menjadi istri dari Gus Lukman. Ada lagu Osing yang dibawakan oleh teman mahasiswa yang hadir juga, hal ini menambah kesan kajian pada pagi menjelang siang ini menjadi semakin hidup.

Kami terus berdiskusi, ada beberapa yang bertanya dan seperti biasa, ketika menjelaskan apapun, aku selalu tertarik untuk menghubungkannya dengan tasawwuf, dengan adab dan akhlak.

Hingga adzan dhuhur berkumandang, Gus Lukman memberikan waktu kepadaku untuk memberikan statemen penutup, aku bercerita secara singkat perjalanan hidupku yang tidak mulus. Aku mencari ke mana aku harus melabuhkan hati dan fikiranku? Untuk berkhidmah.

Pada akhirnya aku memilih NU (Nahdlatul Ulama'), bagiku NU adalah organisasi yang indah. Semua yang hadir bertepuk tangan merasa bangga. Usai acara ditutup, kami foto bersama. Aku memberikan hadiah buku "Umroh Koboy" dan kami mengobrol santai bersama hingga sekitar jam 1 siang, aku mohon pamit diri.

Hari ini adalah luar biasa. Aku bisa belajar bersama dan sharing bersama orang-orang yang haus untuk terus mencari ilmu dan jatidiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun